Harga Menebus Waktu

Islam edia - Allah yang memegang kendalinya. Kita hanya berusaha sekuat tenaga patuh terhadap keinginan penguasanya. Durasi jatah yang di...

Islamedia - Allah yang memegang kendalinya. Kita hanya berusaha sekuat tenaga patuh terhadap keinginan penguasanya. Durasi jatah yang diberikan pun tidak lama. Ya.. hanya sekejab mata. Atau sesengal satu tarikan nafas kita. Atau sekedar mampir minum bagi si musafir dalam kembaranya. “Mampir Ngombe” begitu kata pepatah jawa. Atau dalam istilah hadits Nabi bersabda : “kun fid dunya ka annaka gharibun au 'abiri sabil” (H.R. Bukhori) Hiduplah di dunia seperti orang asing atau yang sedang dalam perjalanan panjang.

Umur kita hanya berkisar 60 (enam puluh) tahun saja. Sabda Rasulullah SAW : “Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun.” (H.R Tirmidzi) Dengan begitu, kita harus introspeksi diri selalu “dengan apa kita sudah mengisi waktu?”  Agar tidak sia-sia, agar tidak menyesal nantinya. Ibnu Mas’ud selalu menyesal di ujung hari, di setiap matahari sudah menuju peraduannya : “Tidaklah aku menyesali atas sesuatu seperti penyesalanku atas berlalunya hai-hariku. Saat matahari terbenam, berkurang umurku, tetapi tidak bertambah amalanku pada hari itu.”

Waktu itu sangatlah berharga. Tak ada yang bisa menebus harganya, bahkan segala isi dunia. Tapi sayang tidak semua orang tau tentang seberapa berharganya nilai waktu yang ada. Sekali pun hanya Sedetik saja, tak mungkin bisa berulang sampai hari kiamat tiba. Dia akan selalu berbeda setiap waktu. Detik demi detiknya selalu baru. Amir bin Abdul Qais pernah melewati orang-orang yang duduk berbincang-bincang : “Wahai Amir Kemarilah, duduklah bersama kami.” Dengan tegas dan jelas Amir bin Qais membalas :  

“Tahanlah matahari agar ia tidak bergerak, baru aku akan bergabung duduk berbincang berkelakar bersama kalian.” (Shaidul Khatir) 

Sangking berharganya dia, Allah selalu bersumpah di setiap waktu datang menyeru. Saat fajar menjelang, Allah bersumpah dengan lantang : “wal Fajr” demi fajar, demi subuh. Saat matahari telah terbit, Dia pun bersumpah dengannya : “wad Dhuha” demi dhuha. Saat siang menjelang diatas teriknya yang memanggang : “Wan Nahari idza Jallaha”. saat siang hendak hengkang, datanglah sore menjelang : “wal ashr” demi waktu ashar. Belum cukup, Allah terus bersumpah kembali, saat malam gelap nan mulai pekat : “wal laili idza yaghsya” demi malam yang mehilangkan siang. Isya’ pun hampir menyapa saat mega merah merekah : “Falaa uqsimu bisy syafaq”  maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja.

Begitulah Allah menekankan kepada kita tentang waktu yang terus berlalu. Berjalan tanpa ada satu pun kekuatan yang dapat menghentikan lajunya yang terus menderu. Sumpah demi sumpah itu adalah penekanan bahwa “ini sudah pagi. Ini sudah malam hari, ini sudah bukan kemarin lagi, harinya sudah berganti”.

Sekali pun emas kita sebesar gunung uhud, atau sebesar langit, tidak juga menjadi apa-apa bila waktunya sudah tiba. Sudah habis masa jatah dirinya. Inilah makna sang pujangga berkata : “al-waktu atsmanu minadz dzahab”  waktu itu lebih berharga tinimbang emas, harta dan segalanya. Terlalu banyak kita terhimpit dengan sempitnya rizki harta tapi kita gunakan waktu dengan sia-sia belaka. As-Sirri bin Muflis berpesan kepada kita : “Jika engkau bersedih karena berkurangnya harta, maka seharusnya kamu menangis kerana berkurangnya usia”. Harta yang paling berharga adalah waktu kita. Waktu yang masih tersisa. Jangan sampai ini sia-sia. Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru : "Wahai anak Adam, aku ini waktu. Aku tercipta baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat berlalu."

Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata  : "Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok. Tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok hari."  Dan ini senada dengan pesan Nabi : “Dua nikmat yang sering disia-siakan oleh banyak orang : kesehatan dan dan waktu luang.” (HR. Bukhori)

Sahabat…  

                                      

Sekali lagi bahwa waktu kita hanya sekejab. Karena nanti masih ada akhirat. Dan di dunia ini hanya beberapa saat, masih ada hari pertanggungan jawab. Waktu kita terus berlari dengan begitu cepat. Mungkin seperti kilat bahkan lebih cepat ketimbang kilat. Allah bertanya : “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab : “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung”. 

Allah berfirman : “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu mengetahuinya” (Q.S. Al-Mu’minuun : 112-114) kalau 1000 tahun dunia itu bagai sehari akhirat (Q.S. Al-Hajj : 47) maka di dunia ini kita hanya beberapa menit.

: “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa. Membangkitkan semangat atau melalaikan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Walaupun segala sesuatu  tidak akan mampu melepaskan diri darinya.” Begitu Malik bin Nabi berkata. 

Siapa pun orangnya; rakyat atau penguasa, miskin atau kaya, budak maupun tuannya, tidak akan bisa mengulang setiap waktu yang sudah dilaluinya. Tidak peduli seberapa kekayaanya, seberapa penting dan tinggi jabatannya, waktu tidaklah peduli. Ia akan terus berjalan bahkan berlari. Tidak peduli apakah orang-orang mampu melewatinya dengan menyenangkan hari-harinya, atau sebaliknya. Setiap orang, dimanapun ia berada, memiliki waktu 24 jam saja. Tidak ada manusia istimewa di hadapan waktu yang perkasa. Meskipun sedetik lebihnya!

Jika waktu bisa terulang, tentu kita semua mengharap melakukan hal-hal yang baik untuk menyongsong kemenangan. Memperbaiki kesalahan yang pernah kita lakukan. Sayangnya, waktu memang tidak akan pernah bisa pulang.

Sahabat…

Jika kemarin atau hari ini kita melakukan kesalahan, kita cari kesempatan untuk memperbaiki yang telah hilang. Jika kita gagal melakukan sesuatu kebaikan, bukan berarti itu akhir segalanya kehidupan. Kita belajar dari kesalahan, dan berusaha untuk tidak mengulang. Belajarlah memaafkan diri sendiri & memaafkan orang lain, karena tidak ada manusia yang sempurna di dalam kehidupan! Yang lalu biarlah berlalu. Mungkin akan menjadi pengalaman untuk masa mendatang. Bagaimanapun diri kita di masa lalu yang usang, itu tidaklah penting untuk dikenang. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana diri kita di masa depan yang akan menyongsong!

Patut dan seharusnya kita selalu isi waktu ini dengan ibadah pada Ilahi Rabbi, untuk bekal nanti kita kembali : “Wahai anak Adam, gunakan waktumu hanya untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku menjadikan dadamu penuh dengan rasa kecukupan dan Aku akan menutup kefakiranmu. Tapi jika engkau tidak melakukannya, Aku akan memenuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutup kefakiranmu.” (H.R. Tirmidzi)

Kita ini sedang dalam perjalanan yang nanti pasti pulang! Celaka kita yang main-main di negri orang!