Islamedia - Malam semakin larut, aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Baru saja, kau pamit untuk rehat. Sebab hari-harimu juga amat melelahkan. Aku sadari itu, maka, maafkan aku sebab belum bisa merehatkanmu dari kerja sebagai abdi negara.
Dalam hitungan menit, hari akan
berganti, tanggal akan berubah. Esok pagi, pernikahan kita genap 10
bulan, istriku. Iya, baru sepuluh bulan. Sebuah bilangan yang amat
singkat, jika ukurannya adalah Rasulullah Saw yang membersamai Ummu
Khadijah, dua puluh lima tahun.
Aku tak punya banyak pinta.
Hanya saja, jika diijinkan, aku ingin hidup selama mungkin bersamamu
dalam taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.
Dan, jika ternyata kebersamaan kita tak lama di dunia ini, moga berlanjut dalam reuni akbar di surga-Nya, aamiin.
Istriku,
ijinkan aku menulis beberapa rasa yang memang ingin kugubah. Maaf, di
sini tak kugunakan sapaan kesayangan yang biasanya digunakan saat
bersama. Ini hanya sebentuk hormat dan empati, bilasaja di sana ada yang
tak berkenan dengan sapaan itu. Sebab, ini adalah ruangan terbuka.
Istriku, terimakasih atas penerimaanmu.
Aku amat menyadari, aku hanyalah
manusia biasa. Tak ada sedikit pun kelebihan yang kumiliki kecuali baru
tersadar ketika kau menyampaikannya. Itulah yang kemudian membuatku
menjadi seperti sekarang ini.
Kau menerimaku saat aku tengah
bimbang di persimpangan jalan. Wajar sebenarnya. Dan itu adalah siklus
yang dihadapi oleh semua remaja. Makanya, Allah Swt memerintahkan
menikah. Karena dengan itu, ada ketenangan yang sama sekali tak bisa
digambarkan dengan kata, sebanyak dan sebaik apa pun.
Saat kau menerimaku, sejatinya
aku setengah tak percaya. Bagaimana mungkin, dirimu yang sudah beranak
banyak menerimaku sebagai ayah bagi anak-anakmu? Sementara mengurus
diriku saja, aku tak kuasa?
Apalagi, dari riwayat
keluargamu, ada lebih dari satu orang yang nyata melamarmu sebab ingin
hidup bersama dengan membiayai kebutuhan anak-anakmu. Dan, mereka itu,
amat jauh dari kata mampu jika ukurannya aalah finansial.
Maka terhenyaklah diriku saat
kau ucap, “Aku menerima. Karena kutemukan separuh jiwaku ada di dalam
dirimu.” Kau bilang, kita cocok. Sevisi, semisi, dan mungkin; senasib.
Semoga, inilah jodoh.
Istriku, aku amat sadar. Ini
bukanlah keputusan yang biasa; bagiku juga bagimu. Bisa saja, ini amat
aneh bagi kita, dilihat dari sisi mana pun; usia, status, kedewasaan,
dan seterusnya. Meskipun, sejatinya, semua itu akan selesai dengan satu
kalimat; Islam tak melarangnya.
Aku juga hendak sampaikan
terimakasih untuk semuanya. Untuk taatmu, persetujuanmu, cintamu,
sayangmu, baktimu, perhatianmu, dan semuanya. Sepuluh bulan bersamamu,
aku menjadi semakin mengerti, mengapa dulu Rasulullah berkata selepas
Khadijah wafat, “Adakah yang lebih baik dari Khadijah?”
Meski kusadar penuh, kita amat
sangat jauh dari keduanya. Aku pun berkali-kali menyampaikan, kita
bukanlah keduanya. Keduanya adalah kemuliaan, sedang kita penuh dengan
dosa dan salah yang harus terus diperbaiki.
Maaf, aku tak mungkin menulis
satu persatu jasamu hingga aku harus ucapkan terimakasih. Sebab itu akan
amat panjang, dan kukira, tak akan selesai dalam bilangan hari untuk
menyusunnya. Terimakasih itu, kusingkat dalam empat kata; aku
mencintaimu karena Allah.
Istriku, maafkan aku. Aku
mengerti, tak mungkinlah kesempurnaan itu ada dalam diriku. Siapalah
aku? Banyak salah, sering lupa, mudah luput dan tak jarang; lalai dalam
kebaikan.
Maka, hadirmu adalah anugerah.
Aku akan selalu ingat nasihatmu, ketika muadzin sudah menyiarkan
panggilan-Nya. Katamu, “Mas, shalat dulu. Kerjanya lanjut nanti saja.”
Maka, hadirmu adalah nikmat.
Apalagi, ketika lelahku menjadi, dengan piawai kau datangi diriku,
kemudian bertanya lembut, “Mas, mau minum apa?” Kau pun berikan opsi;
susu, teh, kopi, air putih hangat. Dan, apa yang kusebut akan terhadir
dalam hitungan menit setelah tawaranmu itu. Kemudian berlanjut dengan
mendaratnya pijitmu di pundak, kepala, punggung dan anggota badan yang
kupinta.
Istriku, saat ini kulihat
wajahmu lelap dalam lelah-pejam matamu. Aku melihat ketulusan itu, aku
menyaksikan cinta itu, aku seksamai sayang itu. Dan aku, siap
menyampaikannya jika kelak ditanya Tuhanku, “Rabbi, aku ridha
dengannya.” Moga dengan saksiku, kau akan berhak masuk dan menghuni di
dalam surga-Nya.
Istriku, perjuangan kita akan
semakin berat. Banyak agenda yang harus kita selesaikan. Maka, semoga
Allah menguatkan kita dalam taat kepada-Nya. Moga Dia senantiasa berikan
keberkahan dalam biduk rumah tangga yang tengah kita bangun-raksasakan.
Harapku, kau akan diberikan
kesehatan fisik, kecerdasan fikir dan kejernihan ruhani. Sehingga bisa
melanjutkan hidup dengan penuh stamina prima dalam taat.
Istriku, kusudahi dulu episode
sepuluh bulan kebersamaan kita. Barangkali, dan semoga, ini menjadi
wakil bagi semua suami yang hendak mengungkapkan apa yang ada dalam
hatinya. Berharap, ini menjadi semangat bagi mereka yang ragu, penerang
bagi siapa yang bimbang, pengingat bagi diri yang lalai dan pelecut bagi
siapa yang loyo.
Sungguh, tak ada maksud lebay
dalam tulisan ini. Tak pula bermaksud riya’ atas semua jasamu, istriku.
Ini hanyalah salah satu tafsir agar kita saling mengingatkan. Ini adalah
makna berbagi dalam kebaikan.
Sebab, jika ini membawa manfaat,
kau pula akan teraliri pahalanya. Dan, andai dari tulisan ini timbul
keburukan, maka hal itu bukanlah tujuan; semoga Allah Swt mengampuni apa
yang luput dan tak terpikirkan oleh kita yang serba terbatas ini.
Istriku, sekarang sudah tanggal
13. Tepat sepuluh bulan kita bersama. Semoga Allah berikan sakinah,
mawaddah dan rahmah dalam keluarga kita. Semoga kau semakin disayang
Allah, selalu dan selamanya.
"Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Qs. al-Furqan [25]: 74)
Pirman