Islam edia - Tahun 1948, Ikhwanul Muslimin baru saja pulang dari perang melawan Zionis Israel, mereka ditangkapi dan dipenjara di Jabal ...
Islamedia - Tahun 1948, Ikhwanul Muslimin baru saja pulang dari perang melawan Zionis Israel, mereka ditangkapi dan dipenjara di Jabal Thur, Sinai. Kini, setelah mendapatkan 5 hasil pemilihan umum, Ikhwan pun kembali ke penjara, dan jamaahnya kembali dilarang.
Hari Senin (23/9) pengadilan Kairo yang mengurus perkara-perkara insidental memutuskan Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan terlarang. Ini bukanlah yang pertama, tapi adalah kali ketiga sepanjang sejarah Ikhwan. Walaupun ini adalah kali pertama Ikhwan dilarang dengan menggunakan keputusan dari kehakiman. Dua pelarangan sebelumnya hanya menggunakan keputusan pemerintah.
Kasus pertama yang dibuat untuk menjerat Ikhwan terjadi pada tahun 1942 ketika Mesir berbentuk kerajaan. Ikhwan dituduh melakukan upaya mengkudeta pemerintah. Saat itu, yang menjalani persidangan adalah Muhammad Abdussalam Fahmi dan Jamaluddin Fakih. Keduanya adalah anggota jamaah yang disidang selama 8 bulan dan berakhir dengan vonis bebas.
Pada tahun 1948, dimulailah sejarah sebenarnya bagaimana Ikhwan ditindas pemerintah. Saat itu perdana menteri Mesir, Mahmud Fahmi Nuqrasyi mengeluarkan keputusan dibubarkannya Ikhwanul Muslimin. Tuduhan yang dikenakan adalah Ikhwan melakukan provokasi yang mengancam keamanan negara. Padahal saat itu Ikhwan sangat berperan dalam memerangi geng-geng Zionis di Palestina bersama negara-negara Arab sebelum negara-negara tersebut menyetujui genjatan senjata. Saat itu kantor-kantor Ikhwan ditutup, asetnya disita, dan hampir seluruh anggota Ikhwan dipenjara. Hanya Hasan Al Banna yang masih dibiarkan bebas. Bahkan Al Banna berkali-kali meminta kepada penguasa kala itu agar ikut ditangkap juga, namun permintaan itu tak digubris.
Dua puluh hari setelah keputusan pembubaran tersebut, Nuqrasyi mati dibunuh oleh salah seorang mahasiswa bernama Abdul Majid Hasan. Kejadian itu dikecam oleh Hasan Al Banna. Beliau mengatakan bahwa yang membunuh bukanlah Ikhwan, bahkan dia juga bukan muslim. Walaupun demikian, Hasan Albanna tetap menjadi korban pembunuhan para 12 Februari 1949.
Pada tahun 1949, puluhan anggota Ikhwan dijatuhi vonis dengan 6 kasus, yaitu pembunuhan Hakim Ahmad Khazandar, pembunuhan Nuqrasyi, upaya meledakkan pengadilan banding di Kairo, kasus mobil jeep (mobil yang didapati membawa berkas-berkas dan persenjataan milik Nizham Khas yang bertugas melawan penjajah Inggris) dan upaya pembunuhan ketua parlemen Hamid Jaudah.
Pada bulan Juli 1952 terjadi revolusi yang juga diikuti oleh beberapa orang perwira dari Ikhwan. Satu tahun setengah berikutnya, yaitu bulan Januari 1954, mulai terlihat perselisihan antara Majelis Pimpinan Revolusi dengan Ikhwanul Muslimin. Tak lama setelah itu anggota Ikhwan kembali ditangkapi. Kebanyakan ditangkap dengan tuduhan kepemilikan senjata api. Pada bulan Oktober 1954, Majelis Pimpinan Revolusi mengumumkan pembubaran Ikhwanul Muslimin untuk yang kedua kalinya. Keputusan pembubaran ini, menurut Ikhwan tidak ada bukti yang menguatkannya.
Selanjutnya para tahanan mulai dibebaskan kembali dalam beberapa tahap. Tahap terakhir dibebaskan pada tanggal 25 Maret 1954. Namun pada bulan Oktober di tahun yang sama, dimulai penangkapan baru dengan menggunakan isu kasus yang terkenal dengan sebutan Mansyiah, sebuah daerah di Alexandria.
Dalam kejadian itu dibuat sandiwara Gamal Abdul Naser ditembak saat sedang menyampaikan pidatonya. Pemerintah langsung menuduh Ikhwan berada di balik kejadian tersebut. Tuduhan ini sampai sekarang tidak terbukti, masih diperdebatkan para ahli sejarah. Walaupun demikian, tuduhan ini berhasil digunakan untuk melakukan aksi penangkapan besar-besaran. Hampir semua anggota Ikhwan dimasukkan penjara saat itu. Bahkan ada 6 tokoh Ikhwan yang dihukum mati, di antaranya Abdul Qadir Audah, seorang hakim dan ulama yang karyanya sangat terkenal dalam dunia hukum.
Pada tahun 1954 puluhan persidangan dilakukan terhadap anggota Ikhwan. Banyak di antara mereka divonis hukuman seumur hidup. Di antaranya tokoh yang nantinya menjadi Mursyid ‘Am Ikhwan yang ke-7, beliau adalah Mahdi ‘Akif. Banyak buku-buku Ikhwan yang ditulis untuk merekam bagaimana kejahatan penjara saat itu. Di antara penjara yang terkenal kekejamannya adalah penjara Qal’ah (di benteng Shalahuddin).
Masih di rezim Abdul Naser pada tahun 1956, pemerintah mencium adanya usaha untuk kembali menghidupkan aktifitas Ikhwanul Muslimin. Maka secepat kilat dilakukan aksi penangkapan dan pengejaran kepada anggota-anggota Ikhwan yang masih bebas. Pada masa inilah kaum wanita mulai menjadi korban penangkapan.
Pada tahun inilah 3 orang tokoh Ikhwan dieksekusi mati. Mereka adalah Sayid Qutub (pengarang tafsir fenomenal “Fi Zhilalil Qur’an), Yusuf Hawasy, dan Abdul Fattah Ismail. Puluhan tokoh lainnya divonis penjara seumur hidup. Selain itu, ada sekitar 55 orang wanita yang ditahan, namun vonis hanya dijatuhkan kepada dua orang tokoh, yaitu Zainab Ghazali dan Hamidah Qutub.
Gamal meninggal dan digantikan oleh Anwar Sadat pada tahun 1970. Sadat membebaskan para tahanan Ikhwan, hingga pada tahun 1974 tidak ada tahanan Ikhwan dipenjara-penjara Mesir. Saat itu kamp-kamp penahanan secara resmi ditutup dan mulai dibuka kran kebebasan berpendapat. Tujuan Sadat mengeluarkan Ikhwan dari penjara adalah untuk memerangi saingan politiknya yang berasal dari golongan kiri peninggalan Gamal. Kebebasan yang diberikan Sadat mulai menguap ketika Mesir melakukan perundingan-perundingan dengan Zionis tahun 1977 yang berakhir pada bulan September 1981. Saat itulah lebih dari 1500 orang oposan ditangkap dan ditahan, termasuk di dalamnya para anggota Ikhwanul Muslimin dan pemimpinnya saat itu, Umar Tilmisani.
Pada akhir tahun 1981 Anwar Sadat mati terbunuh di Nasr City, digantikan dengan Husni Mubarak. Di awal kekuasaannya terjadi masa damai antara Ikhwan dan pemerintah. Namun antara tahun 1995 hingga 2008 terjadi rentetan persidangan terhadap para pimpinan Ikhwan, diselingi dengan aksi-aksi penangkapan terhadap para pemimpin barisan tengah jamaah. Aksi penangkapan marak menjelang pemilu legislatif, pemilihan ketua BEM di berbagai universitas, pemilihan ketua persatuan profesi, musim-musim prime time aktifitas Ikhwan seperti masa-masa liburan panjang sekolahan dan sebagainya. Aksi penangkapan ini dilakukan untuk membatasi perkembangan Ikhwan.
Dalam rentetan persidangan tersebut yang populer adalah persidangan terhadap wakil Mursyid, Kherat Syathir. Biasanya tuduhan yang diajukan kepada mereka adalah keanggotaan sebuah gerakan terlarang.
Setelah Revolusi Januari 2011 sukses menggulingkan rezim Mubarak, Ikhwanul Muslimin kembali menghirup kebebasan. Mesir berada di masa transisi di bawah kendali Dewan Militer selama satu setengah tahun. Selama masa tersebut Ikhwanul Muslimin kembali memainkan perannya menyelamatkan revolusi Mesir dari berbagai upaya beberapa pihak yang ingin menggagalkan revolusi.
Masa transisi adalah masa-masa yang penuh perdebatan terkait haluan ideologis negara, antara kubu Islamis, liberal-sosialis dan sisa-sisa rezim Mubarak yang mencoba untuk kembali. Namun pada pemilu parlemen Ikhwanul Muslimin sukses mendapatkan kursi terbanyak di Majelis Shaab (DPR) dan Majelis Shoura (MPR).
Kondisi ini menimbulkan kecemburuan dari kubu liberal-sosialis dan pro rezim Mubarak. Pro Mubarak yang masih memiliki basis kuat di militer dan lembaga peradilan ketika itu kembali merancang skenario menghadapi arus kebangkitan yang diusung Ikhwanul Muslimin. Juli 2012 Dewan Militer mengumimkan pembubaran Majelis Shaab dengan alasan sepertiga keanggotaan dewan dinyatakan cacat hukum. Ketegangan kembali terjadi antara pro revolusi dan militer.
Masa transisi berakhir dengan diserahkannya kekuasaan kepada presiden Mesir pertama yang dihasilkan dengan pemilihan umum, Muhammad Mursi yang dicalonkan oleh Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin. Mursi berhasil mengungguli pesaingnya Ahmed Syafik yang diudung oleh kubu militer dan pro Mubarak.
Selama setahun pemerintahan berkuasa Mursi dan Ikhwanul Muslimin banyak mendapat tekanan politik dan ekonomi sehingga beberapa kalangan dan media-media Mesir mengkampanyekan kegagalan Ikhwan. Pada April 2013 koalisi oposisi Mesir menggelar kampanye pemberontakan "Tamarrud" dengan mengumpulkan tanda tangan menarik kepercayaan terhadap Mursi dan Ikhwan. Massa oposisi menggelar demonstrasi di beberapa tempat dan merusak kantor-kantor Ikhwanul Muslimin dan FJP.
Pada tanggal 3 Juli 2013, menteri pertahanan Abdul Fattah As-Sisi menggulingkan Mursi, menutup chanel-chanel televisi pro Ikhwan dan melakukan penangkapan terhadap beberapa petinggi gerakan tersebut, termasuk menahan Presiden Muhammad Mursi.
Ikhwanul Muslimin kemudian bergabung dengan Koalisi Nasional Pro Legitimasi dan Anti Kudeta yang tadinya diprakarsai oleh Jamaah Islamiyah dan beberapa parpol serta ormas Islam, kecuali partai salafy "An-Nur" yang memilih bekerjasama dengan pemerintahan kudeta militer. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di bundaran Rab'ah Adawiyah dan Nahdah selama 45 hari hingga kemudian dibubarkan paksa oleh militer dan kepolisian pada tanggal 14 Agustus 2013. Ribuan dmeonstran yang menggelar aksi damai dibantai secara sporadis, lokasi demonstrasi dibakar habis, termasuk masjid Rabi'ah Al Adawiyah. Sementara petinggi dan anggota Ikhwan yang selamat dari pembantaian dikejar, ditangkap dan dipenjarakan. Mursyid 'Am Muhammad Badi' dan beberapa petinggi Ikhwan lainnya ikut ditahan dan harta mereka dibekukan.
Tanggal 23 September 2013 pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus insidentil akhirnya mengeluarkan keputusan pelarangan seluruh aktivitas Jamaah Ikhwanul Muslimin berikut berbagai organisasi yang ada di bawahnya serta menyita seluruh aset milik Ikhwan termasuk kantor-kantor dan yayasan-yayasan. [dktna/Snai/IM]
Hari Senin (23/9) pengadilan Kairo yang mengurus perkara-perkara insidental memutuskan Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan terlarang. Ini bukanlah yang pertama, tapi adalah kali ketiga sepanjang sejarah Ikhwan. Walaupun ini adalah kali pertama Ikhwan dilarang dengan menggunakan keputusan dari kehakiman. Dua pelarangan sebelumnya hanya menggunakan keputusan pemerintah.
Kasus pertama yang dibuat untuk menjerat Ikhwan terjadi pada tahun 1942 ketika Mesir berbentuk kerajaan. Ikhwan dituduh melakukan upaya mengkudeta pemerintah. Saat itu, yang menjalani persidangan adalah Muhammad Abdussalam Fahmi dan Jamaluddin Fakih. Keduanya adalah anggota jamaah yang disidang selama 8 bulan dan berakhir dengan vonis bebas.
Pada tahun 1948, dimulailah sejarah sebenarnya bagaimana Ikhwan ditindas pemerintah. Saat itu perdana menteri Mesir, Mahmud Fahmi Nuqrasyi mengeluarkan keputusan dibubarkannya Ikhwanul Muslimin. Tuduhan yang dikenakan adalah Ikhwan melakukan provokasi yang mengancam keamanan negara. Padahal saat itu Ikhwan sangat berperan dalam memerangi geng-geng Zionis di Palestina bersama negara-negara Arab sebelum negara-negara tersebut menyetujui genjatan senjata. Saat itu kantor-kantor Ikhwan ditutup, asetnya disita, dan hampir seluruh anggota Ikhwan dipenjara. Hanya Hasan Al Banna yang masih dibiarkan bebas. Bahkan Al Banna berkali-kali meminta kepada penguasa kala itu agar ikut ditangkap juga, namun permintaan itu tak digubris.
Dua puluh hari setelah keputusan pembubaran tersebut, Nuqrasyi mati dibunuh oleh salah seorang mahasiswa bernama Abdul Majid Hasan. Kejadian itu dikecam oleh Hasan Al Banna. Beliau mengatakan bahwa yang membunuh bukanlah Ikhwan, bahkan dia juga bukan muslim. Walaupun demikian, Hasan Albanna tetap menjadi korban pembunuhan para 12 Februari 1949.
Pada tahun 1949, puluhan anggota Ikhwan dijatuhi vonis dengan 6 kasus, yaitu pembunuhan Hakim Ahmad Khazandar, pembunuhan Nuqrasyi, upaya meledakkan pengadilan banding di Kairo, kasus mobil jeep (mobil yang didapati membawa berkas-berkas dan persenjataan milik Nizham Khas yang bertugas melawan penjajah Inggris) dan upaya pembunuhan ketua parlemen Hamid Jaudah.
Pada bulan Juli 1952 terjadi revolusi yang juga diikuti oleh beberapa orang perwira dari Ikhwan. Satu tahun setengah berikutnya, yaitu bulan Januari 1954, mulai terlihat perselisihan antara Majelis Pimpinan Revolusi dengan Ikhwanul Muslimin. Tak lama setelah itu anggota Ikhwan kembali ditangkapi. Kebanyakan ditangkap dengan tuduhan kepemilikan senjata api. Pada bulan Oktober 1954, Majelis Pimpinan Revolusi mengumumkan pembubaran Ikhwanul Muslimin untuk yang kedua kalinya. Keputusan pembubaran ini, menurut Ikhwan tidak ada bukti yang menguatkannya.
Selanjutnya para tahanan mulai dibebaskan kembali dalam beberapa tahap. Tahap terakhir dibebaskan pada tanggal 25 Maret 1954. Namun pada bulan Oktober di tahun yang sama, dimulai penangkapan baru dengan menggunakan isu kasus yang terkenal dengan sebutan Mansyiah, sebuah daerah di Alexandria.
Dalam kejadian itu dibuat sandiwara Gamal Abdul Naser ditembak saat sedang menyampaikan pidatonya. Pemerintah langsung menuduh Ikhwan berada di balik kejadian tersebut. Tuduhan ini sampai sekarang tidak terbukti, masih diperdebatkan para ahli sejarah. Walaupun demikian, tuduhan ini berhasil digunakan untuk melakukan aksi penangkapan besar-besaran. Hampir semua anggota Ikhwan dimasukkan penjara saat itu. Bahkan ada 6 tokoh Ikhwan yang dihukum mati, di antaranya Abdul Qadir Audah, seorang hakim dan ulama yang karyanya sangat terkenal dalam dunia hukum.
Pada tahun 1954 puluhan persidangan dilakukan terhadap anggota Ikhwan. Banyak di antara mereka divonis hukuman seumur hidup. Di antaranya tokoh yang nantinya menjadi Mursyid ‘Am Ikhwan yang ke-7, beliau adalah Mahdi ‘Akif. Banyak buku-buku Ikhwan yang ditulis untuk merekam bagaimana kejahatan penjara saat itu. Di antara penjara yang terkenal kekejamannya adalah penjara Qal’ah (di benteng Shalahuddin).
Masih di rezim Abdul Naser pada tahun 1956, pemerintah mencium adanya usaha untuk kembali menghidupkan aktifitas Ikhwanul Muslimin. Maka secepat kilat dilakukan aksi penangkapan dan pengejaran kepada anggota-anggota Ikhwan yang masih bebas. Pada masa inilah kaum wanita mulai menjadi korban penangkapan.
Pada tahun inilah 3 orang tokoh Ikhwan dieksekusi mati. Mereka adalah Sayid Qutub (pengarang tafsir fenomenal “Fi Zhilalil Qur’an), Yusuf Hawasy, dan Abdul Fattah Ismail. Puluhan tokoh lainnya divonis penjara seumur hidup. Selain itu, ada sekitar 55 orang wanita yang ditahan, namun vonis hanya dijatuhkan kepada dua orang tokoh, yaitu Zainab Ghazali dan Hamidah Qutub.
Gamal meninggal dan digantikan oleh Anwar Sadat pada tahun 1970. Sadat membebaskan para tahanan Ikhwan, hingga pada tahun 1974 tidak ada tahanan Ikhwan dipenjara-penjara Mesir. Saat itu kamp-kamp penahanan secara resmi ditutup dan mulai dibuka kran kebebasan berpendapat. Tujuan Sadat mengeluarkan Ikhwan dari penjara adalah untuk memerangi saingan politiknya yang berasal dari golongan kiri peninggalan Gamal. Kebebasan yang diberikan Sadat mulai menguap ketika Mesir melakukan perundingan-perundingan dengan Zionis tahun 1977 yang berakhir pada bulan September 1981. Saat itulah lebih dari 1500 orang oposan ditangkap dan ditahan, termasuk di dalamnya para anggota Ikhwanul Muslimin dan pemimpinnya saat itu, Umar Tilmisani.
Pada akhir tahun 1981 Anwar Sadat mati terbunuh di Nasr City, digantikan dengan Husni Mubarak. Di awal kekuasaannya terjadi masa damai antara Ikhwan dan pemerintah. Namun antara tahun 1995 hingga 2008 terjadi rentetan persidangan terhadap para pimpinan Ikhwan, diselingi dengan aksi-aksi penangkapan terhadap para pemimpin barisan tengah jamaah. Aksi penangkapan marak menjelang pemilu legislatif, pemilihan ketua BEM di berbagai universitas, pemilihan ketua persatuan profesi, musim-musim prime time aktifitas Ikhwan seperti masa-masa liburan panjang sekolahan dan sebagainya. Aksi penangkapan ini dilakukan untuk membatasi perkembangan Ikhwan.
Dalam rentetan persidangan tersebut yang populer adalah persidangan terhadap wakil Mursyid, Kherat Syathir. Biasanya tuduhan yang diajukan kepada mereka adalah keanggotaan sebuah gerakan terlarang.
Setelah Revolusi Januari 2011 sukses menggulingkan rezim Mubarak, Ikhwanul Muslimin kembali menghirup kebebasan. Mesir berada di masa transisi di bawah kendali Dewan Militer selama satu setengah tahun. Selama masa tersebut Ikhwanul Muslimin kembali memainkan perannya menyelamatkan revolusi Mesir dari berbagai upaya beberapa pihak yang ingin menggagalkan revolusi.
Masa transisi adalah masa-masa yang penuh perdebatan terkait haluan ideologis negara, antara kubu Islamis, liberal-sosialis dan sisa-sisa rezim Mubarak yang mencoba untuk kembali. Namun pada pemilu parlemen Ikhwanul Muslimin sukses mendapatkan kursi terbanyak di Majelis Shaab (DPR) dan Majelis Shoura (MPR).
Kondisi ini menimbulkan kecemburuan dari kubu liberal-sosialis dan pro rezim Mubarak. Pro Mubarak yang masih memiliki basis kuat di militer dan lembaga peradilan ketika itu kembali merancang skenario menghadapi arus kebangkitan yang diusung Ikhwanul Muslimin. Juli 2012 Dewan Militer mengumimkan pembubaran Majelis Shaab dengan alasan sepertiga keanggotaan dewan dinyatakan cacat hukum. Ketegangan kembali terjadi antara pro revolusi dan militer.
Masa transisi berakhir dengan diserahkannya kekuasaan kepada presiden Mesir pertama yang dihasilkan dengan pemilihan umum, Muhammad Mursi yang dicalonkan oleh Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin. Mursi berhasil mengungguli pesaingnya Ahmed Syafik yang diudung oleh kubu militer dan pro Mubarak.
Selama setahun pemerintahan berkuasa Mursi dan Ikhwanul Muslimin banyak mendapat tekanan politik dan ekonomi sehingga beberapa kalangan dan media-media Mesir mengkampanyekan kegagalan Ikhwan. Pada April 2013 koalisi oposisi Mesir menggelar kampanye pemberontakan "Tamarrud" dengan mengumpulkan tanda tangan menarik kepercayaan terhadap Mursi dan Ikhwan. Massa oposisi menggelar demonstrasi di beberapa tempat dan merusak kantor-kantor Ikhwanul Muslimin dan FJP.
Pada tanggal 3 Juli 2013, menteri pertahanan Abdul Fattah As-Sisi menggulingkan Mursi, menutup chanel-chanel televisi pro Ikhwan dan melakukan penangkapan terhadap beberapa petinggi gerakan tersebut, termasuk menahan Presiden Muhammad Mursi.
Ikhwanul Muslimin kemudian bergabung dengan Koalisi Nasional Pro Legitimasi dan Anti Kudeta yang tadinya diprakarsai oleh Jamaah Islamiyah dan beberapa parpol serta ormas Islam, kecuali partai salafy "An-Nur" yang memilih bekerjasama dengan pemerintahan kudeta militer. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di bundaran Rab'ah Adawiyah dan Nahdah selama 45 hari hingga kemudian dibubarkan paksa oleh militer dan kepolisian pada tanggal 14 Agustus 2013. Ribuan dmeonstran yang menggelar aksi damai dibantai secara sporadis, lokasi demonstrasi dibakar habis, termasuk masjid Rabi'ah Al Adawiyah. Sementara petinggi dan anggota Ikhwan yang selamat dari pembantaian dikejar, ditangkap dan dipenjarakan. Mursyid 'Am Muhammad Badi' dan beberapa petinggi Ikhwan lainnya ikut ditahan dan harta mereka dibekukan.
Tanggal 23 September 2013 pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus insidentil akhirnya mengeluarkan keputusan pelarangan seluruh aktivitas Jamaah Ikhwanul Muslimin berikut berbagai organisasi yang ada di bawahnya serta menyita seluruh aset milik Ikhwan termasuk kantor-kantor dan yayasan-yayasan. [dktna/Snai/IM]