Islamedia - Salah seorang tim
kemanusiaan ACT, Suster Metty menuturkan pengalamannya selama bertugas di
perbatasan Suriah. Sehari-hari Metty harus menangani ratusan pasien yang terluka, bayi, balita, remaja
hinga lanjut usia, jenis lukanyapun sangat bervariasi dari luka ringan hingga
luka berat akibat ledakan bom.
Metty menceritakan ada
seorang ibu sedang menemani anak-anaknya yang terluka parah, “anak pertama
laki-lakinya berusia 23 tahun sama seperti usia saya, anak keduanya wanita
kira-kira usianya 21 tahun tampak sangat cantik dengan hijab biru kehijauan dan
anak bungsunya usia 10 tahun.” Tutur Metty
Sungguh mengharukan,
menyaksikan semua anak yang telah dilahirkan dengan perjuangan antara hidup dan
mati, dididik dan dibesarkan, tiba-tiba tewas seketika di depan mata secara
bersamaan. Rasa empati saya sebagai seorang manusia dan rasa empati sebagai
perawat berbenturan saat menyaksikan hal ini.
Seorang perawat diharuskan
mencarikan jalan keluar untuk permasalahan pasiennya dan tidak boleh menangis
didepan pasien, namun rasa empati saya yang dalam menimbulkan gejolak hebat yang
menstimulasi hipofisis dan kelenjar
lakrimal untuk memproduksi “air mata”. Air mata yang tidak bisa tertahan saya
biarkan jatuh. Dan saya hanya bisa berkata “ ishbir ya ummi ishbir ”.
Saya tahu kata-kata ini tidak bisa menghentikan
kesedihan. Saya lanjutkan lagi dengan ayat yang saya ingat “Ishbiru
Washobiru Warobithu”. Ayat terakhir dalam surat Ali Imran yang artinya
bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga
(diperbatasan negeri ). Saya hanya bisa menggenggam tangan beliau sedangkan
ummi semakin menangis karena kata-kata saya. “ Ya Allah berikanlah mereka semua
kekuatan atas semua cobaan ini.” (suriadi
ACT)