Islamedia - Imam asal Indonesia Shamsi Ali akhirnya buka suara atas
kunjungan tokoh NU Yahya Cholil Staquf yang menjadi pembicara dalam forum AJC
(American Jewish Committee) di Israel.
Menurut Shamsi, kehadiran Yahya dalam forum tersebut sangat
tidak tepat dan kontraproduktif dengan spirit perjuangan Bangsa Palestina yang
hingga detik ini masih mengalami ketidak-adilan akibat penjajahan Israel.
Bahkan secara tegas, Shamsi mengungkapkan bahwa kunjungan Yahya ke Israel merupakan sebuah “blunder” besar yang sangat berdampak
destruktif bagi kepentingan umat, khususnya perjuangan warga Palestina.
Berikut ini pendapat lengkap Shamsi Ali yang dimuat di situs
kumparan.com, rabu 13 Juni 2018.
------------------------------------------------
Jika berbicara tentang hubungan Yahudi-Muslim, saya berani
mengklaim sebagai salah seorang pioneernya. Bahkan hubungan Yahudi-Muslim yang
kami gagas sejak tahun 2001 di Amerika Serikat menjadi salah satu Pilar dialog
Yahudi-Muslim di berbagai negara saat ini.
Membangun hubungan dengan siapa saja, dan dengan agama apa
saja, bahkan dengan yang tidak beragama sekalipun merupakan bagian dari ajaran
Islam yang mendasar. Keyakinan adalah sesuatu yang ditentukan oleh satu hal
yang mendasar; pilihan. Pilihan sendiri (kesadaran) dan tentunya karena dipilih
oleh Allah SWT (hidayah).
Karenanya perbedaan keyakinan itu tidak menghalangi
seseorang untuk membangun dialog, saling memahami, menghormati, dan kerjasama.
Bagi kami umat Islam di dunia Barat, khususnya pascaperistiwa
9/11, realita ini menjadi semakin jelas di hadapan mata kami. Bahwa menjadi
kewajiban kami untuk melakukan segala yang memungkinkan bagi terbangunnya sikap
saling memahami (mutual understanding) dan kerjasama (partnership) ini.
Tentu tujuan terutama kami adalah untuk mengurangi stigma
yang telah lama berkembang di dunia Barat bahwa Islam itu adalah biang
permusuhan, kekerasan dan konflik. Kami ingin membalik stigma tersebut menjadi
pemahaman umum (publik knowledge) bahwa Islam adalah perdamaian dan sumber
ketentraman hidup manusia.
Intinya adalah bahwa dengan dialog dan kerjasama antar umat
beragama itu kita bertujuan untuk membangun dunia yang lebih damai, aman,
makmur, dan memiliki keadilan.
Di Amerika Serikat salah satu bentuk dialog antar agama yang
saya lakukan, bahkan belakangan menjadi “trademark” tersendiri adalah dialog
Yaudi-Muslim. Dialog yang unik dan menantang ini telah kami mulai sejak tahun
2001. Tapi intensifikasi dialog ini terjadi di penghujung tahun 2005.
Inisiatif dialog yang kami mulai di kota New York itulah
yang melahirkan ragam bentuk kegiatan bersama antara Yahudi dan Muslim.
Termasuk berdirinya beberapa organisasi atau kelompok kerjasama antara Yahudi
dan Muslim di Amerika dan berbagai belahan dunia.
Kerjasama ini juga telah nampak dalam hal membela hak
masing-masing komunitas dalam menghadapi tantangannya. Sebagai misal, di
Amerika Serikat Islamofobia dan anti Semitism (Anti Yahudi) sama-sama mengalami
peningkatan yang luar biasa sejak terpilihnya Donald Trump.
Untuk Yahudi, sebagai contoh, peristiwa kekerasan yang
mereka alami di Eropa dalam bentuk Holocaust adalah hal yang paling
menyeramkan. Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika
simbol-simbol Nazis menjadi semakin semarak.
Bagi kami umat Islam tentu tidak perlu lagi disebutkan
tantangan-tantangan yang kami hadapi. Singkatnya, jika tahun-tahun sebelumnya
Islamofobia ada di pinggir-pinggir jalan, kini Islamophobia dan sentimen anti
Muslim itu keluar dari Gedung Putih. Seolah Islamofobia saat ini menjadi bagian
dari sistem itu sendiri.
Realita itulah menjadikan kami bekerjasama, membangun
solidaritas satu sama lain. Bahkan motto kami dalam dialog dan kerjasama itu
adalah “fighting for the rights of the other” (memperjuangkan hak-hak orang
lain). Sebab kami yakin, Islamofobia dan anti Semitism adalah dua sisi dari
koin yang sama. Beda nama namun satu hakikat.
Atau kerap kali saya sebutkan di mana-mana: “an attack on
any is an attack on all”. (Serangan kepada seseorang atau sekelompok hakekatnya
adalah serangan kepada semua orang dan kelompok).
Menentang ketidakadilan
Walaupun kedekatan antara kami dan beberapa komunitas Yahudi
di Amerika, saya tetap konsisten dan tidak akan goyah dengan realita lainnya.
Bahwa masalah ketidakadilan, kezholiman dan penjajahan tidak akan pernah
ditolerir oleh keadaan apapun.
Karenanya ketika sudah bersentuhan dengan masalah Palestina,
Jerusalem dan masjidil Aqsa, prinsip dasar tidak akan berubah. Strategi mungkin
dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan umum, tapi prinsip dasar
keadilan dan kemerdekaan tidak akan pernah bergeser.
Inilah alasan utama sehingga dari tahun ke tahun undangan
Kedutaan Israel di Washington DC maupun Konsulat Jenderal Israel di kota New
York untuk berbuka puasa (iftar) selalu saya tolak dengan seribu alasan.
Termasuk tahun ini.
Kunjungan blunder
Langsung saja saya ingin menyatakan bahwa kunjungan dan
kehadiran Sekjen NU ke Israel, menghadiri undangan AJC (American Jewish
Committee) adalah sebuah “blunder” besar yang sangat berdampak destruktif bagi
kepentingan umat, khususnya perjuangan saudara-saudara kita di Palestina.
Kenapa demikian? Berikut saya sampaikan beberapa alasannya:
1. Sangat tidak tepat waktu dan keadaan. Kita tahu bahwa
baru saja Donald Trump secara sepihak memberikan keabsahan bagi Israel untuk
mencaplok Jerusalem dan mengakuinya sebagai ibukota Israel. Tentu kehadiran
seorang tokoh Muslim, pemimpin sebuah organisasi Islam terbesar dunia dari
negara Muslim terbesar di dunia seolah menjadi justiifkasi tersendiri.
2. Walaupun menyatakan bahwa kehadirannya bersifat personal,
kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota “Dewan Pertimbangan Presiden” RI
memberikan signal seolah Indonesia telah bergeser dari Fondasi dasarnya
“menentang semua bentuk penjajahan di atas dunia ini” (UUD).
3. Acara tersebut memang diadakan oleh sebuah organisasi non
pemerintah (NGO) bersama AJC. Tapi yang pasti pemerintah Israel kental berada
di belakangnya. Hal ini jelas bahwa acara itu sangat bernuansa politik, untuk
kepentingan Public Diplomacy Israel. Dengannya Israel ingin bersembunyi dari
berbagai pelanggaran hak-hak kemanusiaan, khususnya terhadap warga Palestina.
4. AJC atau American Jewish Committee itu sendiri adalah
organisasi non pemerintah yang memang nuansanya sangat kental dalam
memperjuangkan kepentingan Israel. Awal berdirinya memang untuk memperjuangkan
hak-hak Yahudi di Amerika. Tapi setelah beridirnya negara Israel tujuan AJC
berubah haluan untuk membela dan membantu Israel dalam melobi dunia. Maka wajar
jika organisasi ini memilih networking Internasional yang sangat luar biasa.
Bahkan sangat mendirikan cabangnya di Indonesia.
Mengenal AJC
Setelah dialog dan kerjasama Yahudi-Muslim menjadi sangat
intens di Amerika Serikat, AJC tidak ingin ketinggalan kendaraan. Sekitar 2-3
tahun lalu mereka mendirikan sebuah koalisi Yahudi-Muslim dengan nama
“Muslim-Jewish Advisory Council”.
Di awal pendirian itu saya termasuk yang dikontak dan
diminta masukan untuk pendiriannya. Bahkan saya kemudian mengusulkan agar
pendirian koalisi itu jangan bersifat individu. Tapi melalui dua organisasi
Yahudi dan Islam yang berkaliber nasional. Disetujuilah kemudian AJC dan ISNA
(Islamic Society of North America) sebagai induk organisasi yang membangun
kerjasama.
Dari situlah koalisi itu terbentuk. Tidak main-main karena anggota
koalisi itu adalah anggota komunitas yang memilki pengaruh besar di masyarakat.
Baik dari kalangan tokoh agama (Imam dan Rabbi) maupun kalangan mantan
politisi. Salah satunya adalah mantan senator dari Connecticut, Joe Lieberman.
Saya sendiri diminta jadi anggota dari kalangan tokoh Islam
Amerika bersama tokoh-tokoh Islam lainnya, termasuk Imam Magid (mantan Presiden
ISNA). Saya bahkan sempat mengikuti beberapa pertemuan koalisi ini.
Belakangan saya semakin tahu sepak terjang AJC sebagai
organisasi induk dari Muslim-Jewish Advisory Council. Sejujurnya saya menerima
tawaran menjadi anggota di MJAC (Muslim-Jewish Advisory Council) itu awalnya
karena pertimbangan kepentingan bersama di bumi Amerika.
Belakangan saya semakin sadar ternyata koalisi ini banyak
dipakai sebagai bagian dari upaya untuk membangun simpati dan imej positif bagi
negara Israel. Sementara ketika saya menanyakan posisi koalisi terhadap
berbagai kekerasan di dunia Islam, termasuk Palestina, ditanggapi secara dingin.
Akhirnya Semangat untuk ikut berpartisipasi semakin
menghilang, dan akhirnya saya hanya menjadi anggota pasif.
Puncaknya ketika saya mengangkat suara mengkritik sikap
Gubernur Jakarta ketika itu, Ahok, dalam berbagai pernyataannya yang cukup
menggealitik sensitifitas umat. Oleh Direktur kerjasama Yahudi-Muslim AJC,
seorang mantan diplomat Amerika, saya diminta mundur dari keanggotan
Muslim-Jewish Advisory Council.
Saya cukup lama berpikir apa hubungan AJC dan Ahok? Kenapa
saya sampai diminta mundur dari keanggotaan Advisory Council tadi karena
kristis dengan Ahok? Saya menemukan jawaban lain bahwa AJC ingin partnernya di
berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, aman dalam meredam suara Islam.
Dan karenanya saya memutuskan untuk memutuskan segala bentuk
kerjasama saya dengan AJC. Ini bukan berarti memutuskan kerjasama dengan
Yahudi. Karena sampai saat ini saya masih dekat dengan banyak tokoh-tokoh
Yahudi Amerika.
Tapi dengan AJC saya tidak ingin lagi terjatuh ke dalam
lobang yang sama. Seolah dialog dengan komunitas agama. Tapi kenyataannya
dialog dengan tangan kanan penjajah saudara sendiri.
Intinya adalah membangun dialog dan kerjasama dengan Yahudi
itu bukan masalah. Bahkan masanya umat Islam pro aktif untuk itu demi
terbangunnya dunia yang lebih aman, damai, dan sejahtera.
Tapi melakukannya tanpa pertimbangan matang boleh jadi
menjadi blunder dan bumerang bagi kepentingan umat. Apalagi kalau itu dilakukan
tanpa mengetahui secara matang dengan siapa yang menjadi partner dalam dialog
dan kerjasama itu. Pastinya adalah AJC
itu sebuah organisasi non pemerintah yang tidak saja sangat politis. Tapi
merupakan perpanjangan tangan Israel untuk mengelabui dunia, termasuk dunia
Islam.
Kunjungan ini bagi Indonesia khususnya saya kira merupakan
kemunduran diplomasi yang selama ini tegas menolak Israel dengan berbagai
pelanggaran HAM dan penjajahannya terhadap bangsa Palestina. Apalagi dalam
kapasitasnya sebagai Penasehat Presiden, yang jika dipahami dalam konteks
Amerika memiliki kedudukan yang sejajar dengan anggota kabinet. Sehingga dengan
sendirinya seolah kunjungan ini adalah kunjungan resmi pemerintahan.
Tapi yang terpenting adalah bahwa kunjungan ini dalam
berbagai konteksnya nyata menginjak-injak Konstitusi negara yang tegas
menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia ini karena tidak sesuai dengan
prikemanusiaan dan prikeadilan.
Lalu bagaiamana pemerintah menyikapinya? Kita lihat saja.
New York, 12 Juni 2018
Shamsi Ali
Imam dan aktifis Dialog antar agama di AS.
[islamedia].