Islamedia - Penulis Muda yang juga Master of International Relations Monash University Australia Fahd Pahdepie mengkritisi narasi yang dibangun dengan men-teroris-kan ormas Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan Muhammadiyah.
Respon Fahd dituliskan langsung di Fanspage Facebook pribadinya Fahd Pahdepie dan dipublikasikan di portal inspirasi.co pada hari senin, 28 Mei 2018.
"Pagi ini saya terkejut membaca sebuah tautan berita dari suaraislam.co dengan judul yang sangat provokatif, “Pengamat Terorisme: Mantan Napi Teroris 99 Persen Memiliki Background Muhammadiyah” demikian paragraf awal yang ditulis oleh Fahd Pahdepie.
Berikut ini tulisan lengkap Fahd Pahdepie dengan judul "Narasi Gegabah Men-teroris-kan Muhammadiyah".
------------------------------------
Ada dua hal yang mengganjal dari berita itu. Pertama, jika benar pernyataan In’am Amin demikian, yang konon berangkat dari sebuah riset, ia mengandung kesimpulan yang problematis. 99% dalam riset sama dengan menawarkan sebuah kesimpulan absolut untuk populasi survey yang tak mungkin dijangkau sepenuhnya. Jika periset bersikukuh pada kesimpulan itu, katakanlah dengan argumen atau klaim bahwa ia telah menjangkau dan mengamati seluruh sampel dari populasi, ia perlu menjelaskan terlebih dahulu desain dan metodologi risetnya—paling tidak, bagaimana ia merumuskan pertanyaan ihwal Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah itu. Apakah memang sama sekali tidak ada warna organisasi lain? Apalagi jika warna itu menjadi yang paling dominan mengubah pemahaman pelaku tentang legitimasi moral (moral judgement) untuk tindakannya.
Problem berikutnya adalah soal otoritas dan akses. Jika ia benar-benar mengambil data dari seluruh sampel napi terorisme yang ada di Indonesia, siapa yang yang memberinya akses pada 100% napi yang berhubungan dengan kasus terorisme? Lalu, apakah riset ini cukup otoritatif untuk melampaui lembaga negara, misalnya, sehingga bisa ditarik pada satu kesimpulan riset yang valid dan layak dipublikasikan? Atas pertanyaan-pertanyaan itu, tentu kita tunggu jawaban mendetail dan penjelasan dari In’am Amin dan lembaga yang dipimpinnya.
Kedua, saya kira, pemberitaan suaraislam.co mengandung sentimen yang kurang baik karena terjebak pada narasi ‘men-teroris-kan Muhammadiyah’. Narasi yang sebenarnya tidak sama sekali baru, karena kerap diembuskan banyak pihak untuk memberi garis demarkasi bahwa Muhammadiyah itu ‘keras’ dan lebih potensial melahirkan radikalisme dibandingkan organisasi Islam besar yang lain. Apalagi, di berita itu, terbaca jelas bahwa penyelenggara acara diskusi tersebut berkait kelindan dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang kerap di-branding sebagai satu-satunya ormas yang tak mungkin melahirkan teroris atau radikalis.
Di sini, ada dua kemungkinan yang bisa kita baca. Bisa jadi masalahnya tidak terletak pada siapa penyelenggara dan di mana acara tersebut diadakan, yang mengesankan kontradiksi, tetapi pada pengisi acara yang secara gegabah memberikan kesimpulan yang mengabsolutkan kesalahan satu pihak, dalam hal ini Muhammadiyah, sekaligus menihilkan kesalahan pihak lain, non-Muhammadiyah. Angka 99% dari sebuah riset adalah upaya mengabsolutkan kebenaran dan ia pasti problematis karena pada saat bersamaan sekaligus menihilkan kebenaran yang lain. 1% dalam sebuah riset sosial adalah angka yang menggelikan.
Namun, kemungkinan kedua adalah media atau paling tidak jurnalis yang menulis berita itu. Cara berita ini ditulis bagi saya sangat bermasalah. Jika tidak dimaksudkan dengan sengaja melakukan contrasting, penulisnya terjebak pada struktur narasi yang hitam-putih. Terlepas dari apa yang disampaikan oleh dua narasumber utama (seperti tertulis di berita itu), yakni In’am Amin dan Santoso, isi berita sangat terasa diarahkan untuk memunculkan pengontrasan logika (logical contrasting) dengan penekanan (stressing) yang sungguh-sungguh untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah tempat berseminya ide-ide radikal.
Hal ini bertentangan dengan semangat portal berita itu sendiri yang mendaku sebagai media yang berusaha menampilkan wajah Islam yang rahmat bagi semesta, memerangi hoaks dan menangkal citra buruk Islam. Pemberitaan ini justru potensial menciptakan polemik dan pemahaman yang mis-leading di tengah masyarakat.
Muhammadiyah Perlu Berintrospeksi
Terlepas dari semua itu, di tengah berbagai narasi yang mencoba menunjuk hidung Muhammadiyah dan membenturkannya dengan NU dalam isu radikalisme atau terorisme, saya kira Muhammadiyah tetap perlu mawas diri. Fakta di lapangan bahwa ada beberapa pelaku aksi terorisme yang berlatar belakang Muhammadiyah tetap tak bisa ditolak. Meski banyak argumen untuk menjawab semua itu, termasuk soal sekolah Muhammadiyah yang memang terbuka untuk siapa saja dan berjumlah ribuan di seluruh Indonesia.
Paling tidak, ada tiga langkah yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah. Langkah pertama bersifat politis, Ketua Umum PP Muhammadiyah secara serius perlu melakukan persuasi dan dialog kepada pimpinan ormas Islam yang lain, terutama NU, mengenai adanya narrative yang mengkambinghitamkan Muhammadiyah. Langkah yang sama juga perlu dilakukan kepada pihak pemerintah, POLRI dan BNPT misalnya. Lalu secara simbolis dilakukan sejumlah seremoni yang menunjukkan komitmen Muhammadiyah memerangi radikalisme dan terorisme. Bahwa tak ada ruang tolerasi apapun di Muhammadiyah untuk paham-paham yang menjurus pada radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
Langkah kedua, Muhammadiyah perlu merangkul LSM, peneliti, atau lembaga riset yang fokus pada isu-isu ini untuk mendengarkan berbagai masukan mereka. Melibatkan mereka dalam sejumlah inisiatif juga akan memberikan kontribusi yang positif untuk Muhammadiyah. Sebagai organisasi, Muhammadiyah bisa menjalankan sejumlah program deredikalisasi dan kontra-terorisme dengan basis riset akademik yang lebih kuat. Hal ini juga penting dalam rangka menunjukkan inklusivisme Muhammadiyah di era ‘open-source movement’ seperti sekarang ini.
Langkah terakhir, Muhammadiyah perlu serius menggarap upaya kontra-narasi terhadap radikalisme dan terorisme, terlebih di jejaring Muhammadiyah sendiri. Kontra-narasi semacam ini pada saat bersamaan juga akan mengikis narasi yang berupaya ‘men-teroris-kan’ Muhammadiyah tadi.
Kontra-Narasi?
Kontra-narasi saya kira menjadi kata kunci dalam menanggapi isu-isu semacam ini. Jika tak dilakukan secara serius dan sistematis, sampai kapanpun akan ada narasi yang mendudukkan Muhammadiyah satu bangku dengan para pelaku teror—serta pada saat bersamaan mengkontraskannya dengan organisasi lain. Kita perlu melawan upaya adu domba semacam ini.
Narasi semacam ini tentu saja tak bisa dianghap sepele dan angin lalu belaka, sebab jika persepsi ini terlanjur tertanam di benak publik, ini akan menjadi kerugian besar untuk Muhammadiyah. Sekaligus akan sulit untuk memberikan klarifikasi atau penjernihan opini publik. Sekarang adalah momentum yang tepat, menyusul disahkannya revisi UU Antiterorisme.
Akhirnya, membangun kontra-narasi adalah sebuah keniscayaan. Agar jangan ada lagi kesan bahwa Muhammadiyah merupakan tempat yang nyaman bagi tidur dan berkembangnya sel-sel terorisme. Juga agar berhenti aneka narasi yang mencoba membangun opini tentang Muhammadiyah yang tidak mewakili marwah Islam Indonesia yang damai, inklusif, dan rahmat bagi semesta. Dalam hal ini, Muhammadiyah perlu melakukan rebranding yang lebih serius.
Jakarta, 28 Mei 2018
FAHD PAHDEPIE
[islamedia].
Respon Fahd dituliskan langsung di Fanspage Facebook pribadinya Fahd Pahdepie dan dipublikasikan di portal inspirasi.co pada hari senin, 28 Mei 2018.
"Pagi ini saya terkejut membaca sebuah tautan berita dari suaraislam.co dengan judul yang sangat provokatif, “Pengamat Terorisme: Mantan Napi Teroris 99 Persen Memiliki Background Muhammadiyah” demikian paragraf awal yang ditulis oleh Fahd Pahdepie.
Berikut ini tulisan lengkap Fahd Pahdepie dengan judul "Narasi Gegabah Men-teroris-kan Muhammadiyah".
------------------------------------
Pagi ini saya terkejut membaca sebuah tautan berita dari suaraislam.co dengan judul yang sangat provokatif, “Pengamat Terorisme: Mantan Napi Teroris 99 Persen Memiliki Background Muhammadiyah”.
Berita itu mengacu pada pernyataan seorang pengamat bernama Muhammad In’am Amin, Direktur Program Yayasan Lingkar Perdamaian, pada sebuah acara bertajuk “Terorisme dan Hate Speech: Tragedi Kemanusiaan dan Bayang-bayang Politik” yang diselenggarakan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU).
Ada dua hal yang mengganjal dari berita itu. Pertama, jika benar pernyataan In’am Amin demikian, yang konon berangkat dari sebuah riset, ia mengandung kesimpulan yang problematis. 99% dalam riset sama dengan menawarkan sebuah kesimpulan absolut untuk populasi survey yang tak mungkin dijangkau sepenuhnya. Jika periset bersikukuh pada kesimpulan itu, katakanlah dengan argumen atau klaim bahwa ia telah menjangkau dan mengamati seluruh sampel dari populasi, ia perlu menjelaskan terlebih dahulu desain dan metodologi risetnya—paling tidak, bagaimana ia merumuskan pertanyaan ihwal Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah itu. Apakah memang sama sekali tidak ada warna organisasi lain? Apalagi jika warna itu menjadi yang paling dominan mengubah pemahaman pelaku tentang legitimasi moral (moral judgement) untuk tindakannya.
Problem berikutnya adalah soal otoritas dan akses. Jika ia benar-benar mengambil data dari seluruh sampel napi terorisme yang ada di Indonesia, siapa yang yang memberinya akses pada 100% napi yang berhubungan dengan kasus terorisme? Lalu, apakah riset ini cukup otoritatif untuk melampaui lembaga negara, misalnya, sehingga bisa ditarik pada satu kesimpulan riset yang valid dan layak dipublikasikan? Atas pertanyaan-pertanyaan itu, tentu kita tunggu jawaban mendetail dan penjelasan dari In’am Amin dan lembaga yang dipimpinnya.
Kedua, saya kira, pemberitaan suaraislam.co mengandung sentimen yang kurang baik karena terjebak pada narasi ‘men-teroris-kan Muhammadiyah’. Narasi yang sebenarnya tidak sama sekali baru, karena kerap diembuskan banyak pihak untuk memberi garis demarkasi bahwa Muhammadiyah itu ‘keras’ dan lebih potensial melahirkan radikalisme dibandingkan organisasi Islam besar yang lain. Apalagi, di berita itu, terbaca jelas bahwa penyelenggara acara diskusi tersebut berkait kelindan dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang kerap di-branding sebagai satu-satunya ormas yang tak mungkin melahirkan teroris atau radikalis.
Di sini, ada dua kemungkinan yang bisa kita baca. Bisa jadi masalahnya tidak terletak pada siapa penyelenggara dan di mana acara tersebut diadakan, yang mengesankan kontradiksi, tetapi pada pengisi acara yang secara gegabah memberikan kesimpulan yang mengabsolutkan kesalahan satu pihak, dalam hal ini Muhammadiyah, sekaligus menihilkan kesalahan pihak lain, non-Muhammadiyah. Angka 99% dari sebuah riset adalah upaya mengabsolutkan kebenaran dan ia pasti problematis karena pada saat bersamaan sekaligus menihilkan kebenaran yang lain. 1% dalam sebuah riset sosial adalah angka yang menggelikan.
Namun, kemungkinan kedua adalah media atau paling tidak jurnalis yang menulis berita itu. Cara berita ini ditulis bagi saya sangat bermasalah. Jika tidak dimaksudkan dengan sengaja melakukan contrasting, penulisnya terjebak pada struktur narasi yang hitam-putih. Terlepas dari apa yang disampaikan oleh dua narasumber utama (seperti tertulis di berita itu), yakni In’am Amin dan Santoso, isi berita sangat terasa diarahkan untuk memunculkan pengontrasan logika (logical contrasting) dengan penekanan (stressing) yang sungguh-sungguh untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah tempat berseminya ide-ide radikal.
Hal ini bertentangan dengan semangat portal berita itu sendiri yang mendaku sebagai media yang berusaha menampilkan wajah Islam yang rahmat bagi semesta, memerangi hoaks dan menangkal citra buruk Islam. Pemberitaan ini justru potensial menciptakan polemik dan pemahaman yang mis-leading di tengah masyarakat.
Muhammadiyah Perlu Berintrospeksi
Terlepas dari semua itu, di tengah berbagai narasi yang mencoba menunjuk hidung Muhammadiyah dan membenturkannya dengan NU dalam isu radikalisme atau terorisme, saya kira Muhammadiyah tetap perlu mawas diri. Fakta di lapangan bahwa ada beberapa pelaku aksi terorisme yang berlatar belakang Muhammadiyah tetap tak bisa ditolak. Meski banyak argumen untuk menjawab semua itu, termasuk soal sekolah Muhammadiyah yang memang terbuka untuk siapa saja dan berjumlah ribuan di seluruh Indonesia.
Paling tidak, ada tiga langkah yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah. Langkah pertama bersifat politis, Ketua Umum PP Muhammadiyah secara serius perlu melakukan persuasi dan dialog kepada pimpinan ormas Islam yang lain, terutama NU, mengenai adanya narrative yang mengkambinghitamkan Muhammadiyah. Langkah yang sama juga perlu dilakukan kepada pihak pemerintah, POLRI dan BNPT misalnya. Lalu secara simbolis dilakukan sejumlah seremoni yang menunjukkan komitmen Muhammadiyah memerangi radikalisme dan terorisme. Bahwa tak ada ruang tolerasi apapun di Muhammadiyah untuk paham-paham yang menjurus pada radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
Langkah kedua, Muhammadiyah perlu merangkul LSM, peneliti, atau lembaga riset yang fokus pada isu-isu ini untuk mendengarkan berbagai masukan mereka. Melibatkan mereka dalam sejumlah inisiatif juga akan memberikan kontribusi yang positif untuk Muhammadiyah. Sebagai organisasi, Muhammadiyah bisa menjalankan sejumlah program deredikalisasi dan kontra-terorisme dengan basis riset akademik yang lebih kuat. Hal ini juga penting dalam rangka menunjukkan inklusivisme Muhammadiyah di era ‘open-source movement’ seperti sekarang ini.
Langkah terakhir, Muhammadiyah perlu serius menggarap upaya kontra-narasi terhadap radikalisme dan terorisme, terlebih di jejaring Muhammadiyah sendiri. Kontra-narasi semacam ini pada saat bersamaan juga akan mengikis narasi yang berupaya ‘men-teroris-kan’ Muhammadiyah tadi.
Kontra-Narasi?
Kontra-narasi saya kira menjadi kata kunci dalam menanggapi isu-isu semacam ini. Jika tak dilakukan secara serius dan sistematis, sampai kapanpun akan ada narasi yang mendudukkan Muhammadiyah satu bangku dengan para pelaku teror—serta pada saat bersamaan mengkontraskannya dengan organisasi lain. Kita perlu melawan upaya adu domba semacam ini.
Narasi semacam ini tentu saja tak bisa dianghap sepele dan angin lalu belaka, sebab jika persepsi ini terlanjur tertanam di benak publik, ini akan menjadi kerugian besar untuk Muhammadiyah. Sekaligus akan sulit untuk memberikan klarifikasi atau penjernihan opini publik. Sekarang adalah momentum yang tepat, menyusul disahkannya revisi UU Antiterorisme.
Akhirnya, membangun kontra-narasi adalah sebuah keniscayaan. Agar jangan ada lagi kesan bahwa Muhammadiyah merupakan tempat yang nyaman bagi tidur dan berkembangnya sel-sel terorisme. Juga agar berhenti aneka narasi yang mencoba membangun opini tentang Muhammadiyah yang tidak mewakili marwah Islam Indonesia yang damai, inklusif, dan rahmat bagi semesta. Dalam hal ini, Muhammadiyah perlu melakukan rebranding yang lebih serius.
Jakarta, 28 Mei 2018
FAHD PAHDEPIE
[islamedia].