Pandangan Islam Terhadap Vaksinasi , Semoga kegalauan masyarakat karena isu tidak bertanggungjawab dari para pegiat antivaksinasi
Islamedia - Beberapa waktu belakangan ini marak seruan antivaksinasi bermotifkan isu
agama. Isu yang dihembuskan adalah menyangkut kehalalan dan keamanan
vaksin. Apalagi kelompok antivaksinasi ini sangat giat menyebarkan
pemahamannya baik di ranah media sosial seperti twitter dan facebook
maupun di pelosok-pelosok melalui berbagai forum, seperti majelis taklim
di masjid-masjid kampung.
Masyarakat awam pun mudah mengikuti
seruan ini karena sensitifnya isu halal dan haram vaksin. Selain itu isu
bahwa vaksin mengandung zat kimia beracun pun dihembuskan kencang. Hal
ini diakhiri dengan himbauan agar masyarakat kembali menggunakan
pengobatan ala nabi (tibbun-nabawy) dan melarang penggunaan obat kimia
dan vaksin yang merupakan buatan manusia. Umat dihimbau agar menggunakan
zat alamiah seperti herbal dan tidak lagi memakai obat-obatan modern.
Alasannya karena herbal itu buatan dan racikan Allah SWT sendiri
sedangkan obat modern dan vaksin itu murni buatan manusia.
Terjadi
dikotomi antara herbal dengan obat modern, tibbun-nabawy dengan
vaksinasi, yang satu diposisikan sebagai berasal dari Allah dan yang
lain berasal dari manusia, yang satu benar mutlak yang lain salah total.
Mereka menuduh ada bisnis besar di balik penjualan obat modern
dan vaksin yang menggunakan dokter dan tenaga kesehatan lain sebagai
agen-agennya. Ditambah dengan bumbu teori konspirasi, bahwa vaksin
adalah senjata Yahudi untuk melumpuhkan generasi muslim, maka lengkaplah
sudah kegalauan masyarakat terhadap vaksinasi ini.
Tulisan ini
akan membahas secara ringkas tentang pandangan agama dalam hal ini Islam
terhadap vaksinasi dan imunisasi. Semoga tulisan ini dapat membantu
menjernihkan persoalan seputar isu agama dan vaksinasi yang beredar di
masyarakat.
Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan Al Qur'an banyak menyebutkan keharusan seorang muslim mengeksplorasi alam semesta.
Dalam
surat Ali Imran 190-191 misalnya disebutkan kriteria ulil albab
(cendekiawan), "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu
orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, dan
berbaring dan senantiasa bertafakkur (berpikir mendalam) tentang
penciptaan langit dan bumi seraya berkata ya Tuhan kami tidaklah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari
siksa neraka."
Dalam ayat tersebut di atas dan ayat-ayat sejenis
yang banyak dijumpai dalam Al Qur’an tampaklah bahwa seorang
cendekiawan atau ulil albab itu adalah orang yang mampu melakukan
harmonisasi kegiatan dzikir dan fikir.
Di dalam Islam tidak
terdapat pemisahan antara aktifitas berdzikir dan bertafakkur atau
berfikir secara mendalam (deep thinking). Aktifitas berfikir mendalam
tentang penciptaan Allah di langit dan bumi akan meningkatkan keimanan
seseorang dan menguatkan kegiatan dzikirnya kepada Allah SWT. Jadi
ringkasnya Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk mengeksplorasi alam
semesta ini, baik alam makrokosmos dan mikrokosmosnya. Hasil eksplorasi
alam semesta itu ditujukan untuk kebaikan manusia itu sendiri di dunia
dan sekaligus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam
sudut pandang lain kita bisa melihat dari perspektif diturunkannya ilmu
Allah kepada manusia. Secara garis besar ilmu Allah ini diturunkan
kepada manusia melalui dua jalur. Pertama jalur resmi (formal) yaitu
ilmu yang diturunkan melalui para Nabi dan Rasul berupa wahyu/firman
Allah dan petunjuk nabi. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu qauliyah.
Yang kedua adalah jalur tidak resmi (non-formal) berupa ilham yang
diberikan langsung kepada manusia (apa pun agama dan rasnya) yang
mengeksplorasi alam semesta ini sesuai anjuran pada ayat Al Qur'an di
atas. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu kauniyah.
Ilmu qauliyah
kebenarannya mutlak, bersifat umum, berfungsi sebagai way of life bagi
manusia. Sedangkan ilmu kauniyah kebenarannya relatif, bersifat
spesifik, dan untuk melengkapi sarana kehidupan manusia. Kedua macam
ilmu tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan agar kehidupan
manusia harmonis dan seimbang. Gagal memahami persoalan di atas atau
menolak salah satunya akan membuat seorang muslim bersikap ekstrim
bahkan terjebak ke dalam dikotomi ilmu islam non-islam, ilmu Allah dan
ilmu manusia, dan seterusnya.
Vaksinasi sebagai salah satu ilmu
kauniyah terbesar abad ini, diawali dengan tradisi masyarakat muslim
Turki pada awal abad-18 yang memiliki kebiasaan menggunakan nanah dari
sapi yang menderita penyakit cacar sapi (cowpox) untuk melindungi
manusia dari penyakit cacar (smallpox, variola) kemudian tradisi ini
dibawa ke Inggris dan diteliti serta dipublikasikan oleh Edward Jenner
tahun 1798.
Sejak saat itu konsep vaksinasi terus berkembang
demikian pesat. Beragam jenis vaksin telah ditemukan selama dua abad.
Dan masih akan banyak lagi jenis vaksin yang ditemukan. Penelitian untuk
membuat vaksin merupakan penelitian yang panjang, sangat memperhatikan
aspek keamanan dan keakuratan data. Satu jenis vaksin bisa memerlukan
belasan tahun untuk membuatnya.
Diawali dengan uji
laboratorium, kemudian uji pada hewan coba, relawan, orang dewasa, baru
kemudian diterapkan pada bayi dan anak setelah terbukti produk vaksin
tersebut aman dipakai. Bila terbukti sebuah vaksin menimbulkan efek
simpang atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat dan fatal
maka vaksin akan segera ditarik dari peredaran untuk diteliti ulang.
Berbagai
prestasi vaksinasi pun telah dapat kita lihat dalam catatan sejarah
kemanusiaan. Di antara prestasi terbesar vaksinasi adalah lenyapnya
penyakit cacar pada tahun 1979. Inilah salah satu bukti manfaat ilmu
kauniyah yang dipelajari manusia (apa pun agama dan rasnya).
Hasil
dari eksplorasi alam semesta di antaranya ilmu tentang vaksin
(vaksinologi) telah menghasilkan manfaat yang luar biasa dalam bidang
pencegahan penyakit pada manusia (dan juga hewan). Adalah amat keliru
bila hasil penelitian selama dua abad itu kemudian ditolak dengan alasan
amat sederhana: itu produk buatan manusia.
Pendikotomian buatan
Allah dan buatan manusia seperti pemahaman sebagian kelompok muslim
yang antivaksinasi pada hakikatnya adalah pemahaman yang amat sekuler.
Pemahaman yang jauh menyimpang dari intisari ajaran Islam yang
sebenarnya.
Bila kita memahami dengan baik posisi ilmu kauniyah
maupun ilmu qauliyah adalah bersumber dari Allah SWT yang Maha Berilmu,
maka tidak perlu lagi terjadi hal seperti di atas.
Pandangan
Islam terhadap aspek pencegahan penyakit Islam mengutamakan aspek
pencegahan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh dalam
menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit menular seksual, Islam dengan
tegas melarang ummatnya untuk mendekati zina. Dalam surat al Isra 32 :
"Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan keji dan jalan yang buruk”. Coba perhatikan, bukan larangan
berzina tapi larangan untuk mendekati zina. Suatu aspek preventif yang
luar biasa karena jauh lebih mudah menghindari mendekati zina daripada
menghindari berzina. Bandingkan dengan program kondomisasi yang
akhir-akhir ini ramai dibicarakan masyarakat karena justru memfasilitasi
zina secara tidak langsung.
Panduan terhadap pencegahan
penyakit dalam al Qur'an maupun al Hadits (petunjuk Nabi saw) dapat
dilihat pada beberapa ayat dan hadits berikut:
Jagalah lima keadaan sebelum datang lima keadaan, di antaranya: jagalah kesehatanmu sebelum datang masa sakitmu. (Al Hadits).
Bila terjadi wabah di suatu tempat, maka penduduk setempat dilarang meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berkunjung sampai wabah berlalu (Al Hadits). Inilah konsep isolasi daerah wabah yang sudah diajarkan oleh Nabi SAW sejak dahulu.Mukmin yang kuat lebih disukai Allah SWT daripada mukmin yang lemah ( Al Hadits). Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi musuh-musuhmu... (QS 8:60)Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah maka ia tidak akan terkena pengaruh sihir atau racun (Al Hadits).
Dari
beberapa hadits dan ayat Qur'an tersebut di atas kita dapat melihat
bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit.
Karena biaya yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih
murah dibandingkan dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan
kebenarannya oleh ilmu kedokteran modern.
Islam memberi
kebebasan dalam hal teknik pencegahan sesuai dengan perkembangan
teknologi yang ada saat itu. Islam tidak pernah membatasi kemajuan
teknologi, namun hanya memberi batasan atau rambu-rambu yang tidak boleh
dilanggar. Ini terbukti dengan pernyataan Nabi SAW ketika ada yang
bertanya kepada beliau mengenai perkawinan pohon kurma. Saat itu beliau
memberi nasehat dan ternyata kurma menjadi tidak berbuah saat
dilaksanakan nasehat tersebut. Akhirnya beliau SAW bersabda: Antum
a'lamu bi umuri addunyakum artinya kamu lebih mengetahui tentang urusan
duniamu.
Islam hanya mengajarkan rambu-rambu yang bersifat umum
dan baku, seperti larangan berobat dengan yang haram, larangan berobat
ke dukun atau ahli sihir namun mengenai hal-hal yang bersifat teknis
sepenuhnya diserahkan kepada perkembangan ilmu sains sesuai perkembangan
zamannya. Dengan prinsip ini tidak heran bahwa para ilmuwan muslim
pernah mencapai puncak kejayaannya dalam hal sains tidak berapa lama
setelah Nabi SAW wafat.
Bila ditanyakan adakah dalil dari Al
Qur'an atau Hadits Nabi yang spesifik menyebutkan perlunya vaksinasi?
Jawabannya tentu tidak ada.
Namun tidak adanya dalil qauliyah
bukan berarti vaksinasi bertentangan dengan ajaran Nabi SAW. Hal ini
adalah karena vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah ilmu pengetahuan
modern yang diperoleh berdasarkan pencarian oleh manusia. Berdasarkan
penelitian yang tekun dan seksama, sebagaimana sudah disebutkan di atas.
Oleh karena itu pakar mengenai vaksinasi tentu saja adalah para dokter
dan peneliti di bidang vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, ahli
statistik, atau yang lainnya.
Kita perlu tahu bahwa vaksinasi
bukan hanya dilaksanakan di Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih
dari 190 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai
saat ini tidak pernah terdengar seorang pun dari ulama-ulama di
negara-negara muslim itu yang melarang diberikannya vaksinasi kepada
bayi dan anak di negaranya.
Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin
Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al
Qaradhawy seorang ulama mujtahid yang berdomisili di Qatar pun
membolehkan imunisasi. Bahkan beliau banyak menyerahkan masalah ini
kepada para dokter yang menguasai ilmu vaksinologi secara mendalam dan
kemudian beliau berikan fatwa terhadap apa yang diungkapkan para dokter.
Kalau para ulama di tingkat internasional saja membolehkan
vaksinasi lalu mengapa ada orang yang bukan ulama malah mempermasalahkan
bolehnya vaksinasi dalam Islam.
Adapun pendapat sebagian
kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi dilarang dalam Islam karena
menggunakan kuman yang disuntikkan ke dalam tubuh sehingga berpotensi
membahayakan tubuh, adalah pendapat yang tidak berlandaskan ilmu. Hanya
berdasarkan zhan atau prasangka belaka. Padahal Islam melarang umatnya
untuk berprasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa.
Saat
ini ada sebagian orang yang bukan ahlinya namun seringkali berkomentar
mengenai sesuatu yang tidak difahaminya secara mendalam. Hanya
berdasarkan bacaan dari internet, bersumber dari tokoh-tokoh fiktif yang
tidak pernah ada atau berdasarkan teori konspirasi. Hal ini amat
disayangkan karena bertentangan dengan anjuran dan tradisi Islam yang
sangat menekankan aspek kejujuran dan obyektifitas ilmiah.
Salah
satu contoh tradisi ilmiah dalam Islam yang tidak ada bandingannya
adalah pada proses penyeleksian ketat terhadap hadits hadits nabi.
Mungkin orang-orang yang hobi menyadur rumor, berita fiktif, hoax,
gosip, khususnya tentang kampanye negatif terhadap vaksinasi perlu
meniru tradisi Islam dalam menyeleksi hadits shahih.
Masalah
enzym babi dalam proses pembuatan vaksin Salah satu persoalan yang
sering dipermasalahkan mengenai kehalalan vaksin adalah digunakannya
enzym tripsin dari babi selama pembuatan beberapa jenis vaksin tertentu.
Seringkali masalahnya ada pada perbedaan persepsi. Sebagian
besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu seperti orang
membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk
yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Hal semacam
ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin di era
modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi
haram. Namun sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini
amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti
menggerus puyer tadi.
Enzym tripsin babi digunakan sebagai
katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang
menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian
dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan
pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai
pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin.
Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang
mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak
bersinggungan dengan babi baik secara langsung maupun tidak.
Dengan
demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan
dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan
proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan
fatwa halal terhadap vaksin meningitis yang pada proses pembuatannya
menggunakan katalisator dari enzym tripsin babi. Hal serupa terjadi pula
pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga menggunakan
tripsin babi sebagai katalisator proses.
Sebagai para dokter kita perlu memahami konteks ini agar dapat
berdiskusi dengan pasien yang mempunyai kesalah-pahaman terhadap vaksinasi
dengan informasi keliru khususnya yang berkaitan dengan ajaran agama (Islam).
Diharapkan dengan diskusi intensif dengan pasien yang masih
ragu kita bisa meyakinkan bahwa vaksinasi itu halal dan aman dan tidak ada
seorang pun ulama di negara-negara muslim melarang program vaksinasi ini.
Semoga
kegalauan masyarakat karena isu tidak bertanggungjawab dari para pegiat
antivaksinasi bisa terlokalisir bila para dokter juga mampu berdiskusi
dengan lebih baik.
Daftar Kepustakaan
Al Qur'an dan
terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia, 1971. Ranuh IGNG,
Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko.
Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4.
Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
Al Qaradhawy Y. Halal dan haram dalam Islam. Jakarta, PT Bina Ilmu 1993.
Center for Disease Control http://www.cdc.gov http://www.binbaz.org.sa/mat/238 diunduh 1 Juli 2012.
Fatwa
MUI, 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M. Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang
penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah. Jenie UA. Obat
sebagai produk rekayasa biokimiawi dan rekayasa genetika serta
kaitannya dengan masalah kehalalannya. Disampaikan pada Lokakarya dampak
RUU Jaminan Produk Halal terhadap obat dan vaksin bagi kesehatan
masyarakat. Jakarta, Bidakara, 04 Juni 2012.
[islamedia]