Oleh : Kholili Hasib Tulisan Sebelumnya : Mewujudkan Indonesia Ideal Menurut K.H. Hasyim Asy’ari (Bag 1) Dalam buku Intelektual Pesantren, d...
Oleh : Kholili Hasib
Tulisan Sebelumnya : Mewujudkan Indonesia Ideal Menurut K.H. Hasyim Asy’ari (Bag 1)
Dalam buku Intelektual Pesantren, ditulis bahwa Kyai Hasyim dikenal sebagai ahli strategi. Beliau berkeinginan mengubah sturktur masyarakat dengan pesantren sebagai pintu atau hulu. Pesantren, menurutnya bukan sekedar tempat pendidikan atau lembaga moral religius. Namun sebagai sarana untuk membuat perubahan mendasar dalam masyarakat Indonesia secara luas. Yang diinginkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dari semua sikapnya ini adalah supaya bangsa Indonesia bisa hidup mandiri, bebas dari intervensi asing, dan membangun negara yang adil dan beradab. Untuk mewujudkan cita-cita itu, bagi kiai Hasyim, pesantren adalah sarana yang baik.
Dalam mendirikan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari memperhitungkan tempat secara cermat. Pesantren yang ia dirikan misalnya berada di dekat pabrik gula, dimana pabrik gula pada zaman itu biasanya menjadi tempat berkumpulnya kemaksiatan dan budaya tidak bermoral. Di tempat itu justru KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren. Tujuannya tiada lain untuk mengubah pola hidup masyarakatnya. Jika pusat kemaksiatan hilang, maka secara otomatis kebaikan cepat menyebar ke masyarakat.
Demikianlah, cita-cita besar KH. Hasyim Asy’ari, mengubah bangsa Indonesia dari keburukan menjadi kebaikan dengan cara mendirikan pesantren. Pola hidup santri pesantren yang dikenal mengedepankan tradisi adab, akhlak mulia, tawadhu, taat ibadah dan lain-lain ingin disebarkan ke masyarakat secara umum. Dengan sistem pesantren yang didirikannya, telah mampu mencetak banyak intelektual Islam dimana sebagian besar dari mereka mampu merintis pesantren baru dan berkembang.
Di antara kelebihan lain Kyai Hasyim adalah kemampuan menyampaikan keilmuan dan membuat jaringan intelektual terutama di pula Jawa. Jaringan intelektual yang dibangun mampu membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual Muslim sebagai penggerak. Bagi Kyai Hasyim, para intelektual Muslim, jangan sampai terpecah tapi harus menyatu. Indonesia akan lemah jika intelektual Muslim lemah. Pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam mengangkat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.
Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari pada zaman dahulu adalah supaya syariah membumi di tanah Indonesia. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ (NU) – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tetapi, dalam berdakwah, KH. Hasyim Asy’ari memperhitungkan keadaan sosial dan masyarakat pada saat itu. Berdakwah sesuai kebutuhan dan keperluan dengan tetap mempertimbangkan aspek tradisi keagamaan. Misalnya penekanan masalah ukhuwah dan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketika keadaan umat Islam Indonesia terjadi perpecahan pada masa penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari tetap mengusahakan untuk membuat persatuan di antara mereka. Jika umat Islam -- sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia -- terpecah, maka akan berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Apalagi Indonesia masih sedang dalam cengkeraman penjajah. Jadi persatuan Indonesia, harus diasaskan terlebih dahulu oleh persatuan umat Muslim Indonesia.
Persatuan menurut KH. Hasyim Asy’ari harus dibangun di atas dasar keikhlasan dan kesadaran individu. Selain itu, perlu adanya kesadaran berdasarkan agama yang satu yaitu Islam. Daerah yang dihuni juga satu yaitu Jawa, dan madzhab fikih yang dianut yaitu al-Syafi’i (KH. Hasyim Asy’ari, al-Tibyan, hal. 35). Maksudnya adalah, dalam persatuan Indonesia perlu memperhatikan Islam. Begitu pula dalam persatuan umat Muslim Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu al-Syafi’i.
Dari perjalanan perjuangannya selama tiga zaman itu, KH. Hasyim Asy’ari terlihat ia membangun pola-pola yang strategis menuju Indonesia yang ideal. Yaitu dengan menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan; menjadikan pesantren sebagai ‘miniatur’ Indonesia, mandiri tidak mudah dibujuk atau ditipu penjajah asing, mengutamakan persatuan umat Muslim sebagai landasan menuju persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia itu wujud atas dasar adanya persatuan kaum Muslimin Indonesia.
Selain pesantren, ia menjadikan organisasi NU sebagai ‘wasilah’. Nahdlatul Ulama yang berarti ‘Kebangkitan Ulama’, dimaksudkan untuk kebangkitan ilmuwan Muslim. Jika ulama bangkit, maka rakyat juga bangkit. Jika rakyat bangkit maka negara Indonesia ikut bangkit.
Pemikiran dan kiprah Kyai Hasyim Asy’ar
Tulisan Sebelumnya : Mewujudkan Indonesia Ideal Menurut K.H. Hasyim Asy’ari (Bag 1)
Dalam buku Intelektual Pesantren, ditulis bahwa Kyai Hasyim dikenal sebagai ahli strategi. Beliau berkeinginan mengubah sturktur masyarakat dengan pesantren sebagai pintu atau hulu. Pesantren, menurutnya bukan sekedar tempat pendidikan atau lembaga moral religius. Namun sebagai sarana untuk membuat perubahan mendasar dalam masyarakat Indonesia secara luas. Yang diinginkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dari semua sikapnya ini adalah supaya bangsa Indonesia bisa hidup mandiri, bebas dari intervensi asing, dan membangun negara yang adil dan beradab. Untuk mewujudkan cita-cita itu, bagi kiai Hasyim, pesantren adalah sarana yang baik.
Dalam mendirikan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari memperhitungkan tempat secara cermat. Pesantren yang ia dirikan misalnya berada di dekat pabrik gula, dimana pabrik gula pada zaman itu biasanya menjadi tempat berkumpulnya kemaksiatan dan budaya tidak bermoral. Di tempat itu justru KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren. Tujuannya tiada lain untuk mengubah pola hidup masyarakatnya. Jika pusat kemaksiatan hilang, maka secara otomatis kebaikan cepat menyebar ke masyarakat.
Demikianlah, cita-cita besar KH. Hasyim Asy’ari, mengubah bangsa Indonesia dari keburukan menjadi kebaikan dengan cara mendirikan pesantren. Pola hidup santri pesantren yang dikenal mengedepankan tradisi adab, akhlak mulia, tawadhu, taat ibadah dan lain-lain ingin disebarkan ke masyarakat secara umum. Dengan sistem pesantren yang didirikannya, telah mampu mencetak banyak intelektual Islam dimana sebagian besar dari mereka mampu merintis pesantren baru dan berkembang.
Di antara kelebihan lain Kyai Hasyim adalah kemampuan menyampaikan keilmuan dan membuat jaringan intelektual terutama di pula Jawa. Jaringan intelektual yang dibangun mampu membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual Muslim sebagai penggerak. Bagi Kyai Hasyim, para intelektual Muslim, jangan sampai terpecah tapi harus menyatu. Indonesia akan lemah jika intelektual Muslim lemah. Pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam mengangkat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.
Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari pada zaman dahulu adalah supaya syariah membumi di tanah Indonesia. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ (NU) – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tetapi, dalam berdakwah, KH. Hasyim Asy’ari memperhitungkan keadaan sosial dan masyarakat pada saat itu. Berdakwah sesuai kebutuhan dan keperluan dengan tetap mempertimbangkan aspek tradisi keagamaan. Misalnya penekanan masalah ukhuwah dan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketika keadaan umat Islam Indonesia terjadi perpecahan pada masa penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari tetap mengusahakan untuk membuat persatuan di antara mereka. Jika umat Islam -- sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia -- terpecah, maka akan berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Apalagi Indonesia masih sedang dalam cengkeraman penjajah. Jadi persatuan Indonesia, harus diasaskan terlebih dahulu oleh persatuan umat Muslim Indonesia.
Persatuan menurut KH. Hasyim Asy’ari harus dibangun di atas dasar keikhlasan dan kesadaran individu. Selain itu, perlu adanya kesadaran berdasarkan agama yang satu yaitu Islam. Daerah yang dihuni juga satu yaitu Jawa, dan madzhab fikih yang dianut yaitu al-Syafi’i (KH. Hasyim Asy’ari, al-Tibyan, hal. 35). Maksudnya adalah, dalam persatuan Indonesia perlu memperhatikan Islam. Begitu pula dalam persatuan umat Muslim Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu al-Syafi’i.
Dari perjalanan perjuangannya selama tiga zaman itu, KH. Hasyim Asy’ari terlihat ia membangun pola-pola yang strategis menuju Indonesia yang ideal. Yaitu dengan menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan; menjadikan pesantren sebagai ‘miniatur’ Indonesia, mandiri tidak mudah dibujuk atau ditipu penjajah asing, mengutamakan persatuan umat Muslim sebagai landasan menuju persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia itu wujud atas dasar adanya persatuan kaum Muslimin Indonesia.
Selain pesantren, ia menjadikan organisasi NU sebagai ‘wasilah’. Nahdlatul Ulama yang berarti ‘Kebangkitan Ulama’, dimaksudkan untuk kebangkitan ilmuwan Muslim. Jika ulama bangkit, maka rakyat juga bangkit. Jika rakyat bangkit maka negara Indonesia ikut bangkit.
Pemikiran dan kiprah Kyai Hasyim Asy’ar