Di sudut perkampungan kecil kota Gaza, warga berusaha menyalakan secercah harapan. Dengan bantuan lembaga lokal, komunitas warga membuat din...
Di sudut perkampungan kecil kota Gaza, warga berusaha menyalakan secercah harapan.
Dengan bantuan lembaga lokal, komunitas warga membuat dinding-dinding, rumah-rumah, dan lorong-lorong perkampungan mereka berubah menjadi penuh warna cerah, memperindah lingkungan mereka dengan cat warna-warni dan pesan-pesan positif. Demikian seperti laporan jurnalis AlJazeera Rabu (15/7) kemarin.
Di perkampungan kecil bernama Al-Zaytoun, dinding-dinding rumah disulap dengan cat warna ungu, oranye, dan hijau cerah, beberapa juga disertai hiasan bebungaan dan grafiti kata-kata.
Inisiatif tersebut dipandang menghadirkan keunikan tersendiri, terlebih bagi masyarakat yang terkena trauma akibat perang.
Sembari duduk di teras rumah penuh pot-pot dan bunga-bunga, tempat di mana warga menanam warung hidup berisi tomat, melon, terung, dan salad hijau; gadis remaja usia 19 tahun, Mais Naief, menceritakan efek positif yang dibawa perubahan warna-warni tersebut.
"Jika Anda datang berkunjung pada malam hari, Anda bakal melihat terang cahaya dan permainan Ramadhan dimainkan anak-anak di jalan-jalan. Sungguh suasana yang luar biasa," cerita Mais.
"Situasi di sini begitu tegang tahun lalu. Kamiu menyaksikan pembantaian Al-Shujaiyah dari jendela-jendela rumah kami," tambahnya. "Masyarakat kini hendak mengganti memori tersebut dengan perayaan, wewarna, dan kegembiraan. Kami bersikap untuk merayakan Ramadhan dengan cara kami sendiri."
Lingkungan rukun warga yang penuh hiasan warna itu terletak di area berjumlah penduduk paling padar di Jalur Gaza. Bagia banyak pihak, proyek tersebut dirasakan sebagai pesan akan harapan dan kebaikan.
Inisiatif tersebut jika ditelusuri bermula dari seorangw arga usia 58 tahun, Abu Abdullah. Ia memutuskan untuk mengecat rumahnya dengan ragam warna cerah, pada awal tahun 2015 ini.
Keputusannya mengubah penampilan rumahnya itu menjadi bahan pembicaraan, sehingga tiga rumah tetangganya mengikuti jejaknya, melukisi dinding rumahnya juga.
Secara berangsur-angsur, keempat rumah tangga tersebut bergerak meyakinkan warga lainnya untuk bergabung, hingga "orang tua, kaum muda, lelaki, dan wanita semuanya ikut berpartisipasi," kata Abu Abdullah menjelaskan.
Menurut Emad Nayef (44 tahun), tim yang dibentuk bertugas mengumpulkan urunan dana daris etiap rumah untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan.
Emad meyakini bahwa lingkungan rukun warga yang penuh warna dapat berperan sebagai terapi pelega bagi trauma psikologis yang diakibatkan perang di sepanjang Jalur Gaza, di mana 90 persen orang tua melaporkan bahwa anak-anak mereka mengalami ketakutan, seperti dikemukakan lembaga bantuan Save the Children.
"Kami memilih untuk keluar dari keadaan muram," ujar Emad, "Kami tidak ingin hidup di bawah keadaan yang dipaksakan kepada kami oleh penjajah Israel."
Warga Al-Zaytoun juga mendapatkan bantuan dari Tamer Institute for Community Education untuk mewujudkan inisiatif proyek tersebut.
Pihak Institut menyediakan cat, kuas, dan bahan lainnya, juga mengirimkan sekelompok seniman untuk membantu warga mendekor dinding tembok rumah mereka.
Mereka mengerjakan semuanya tepat beberapa waktu sebelum bulan suci Ramadhan tiba.
Dalia Abdel Rahman, seorang koordinator dari pihak Institut bercerita kepada Al Jazeera bahwa proyek ini bukan yang pertama dalam memperindah kota Gaza. Pihak Institut sebelumnya sudah melakukan pengecatan batu-batu di pelabuhan Gaza dan juga mempercantik karavan-karavan yang menjadi tempat penampungan pengungsi di daerah Khuzaa.
"Kami memandang bahwa dengan menebar wewarna dan keindahan kepada warga, serta membuat mereka mewarnai rumah-rumah mereka sendiri, adalah sebuah keberhasilan bagi kami," ujar Dalia. "[Lingkungan rukun warga] memaparkan ide mereka dan kami suka serta bertekad untuk membantu.. Ini tidak akan berhenti sebatas rumah-rumah mereka saja."
Pada tanggal 11 Juli lalu, pihak Institut juga mewujudkan proyek grafiti di sudut lain kota Gaza, termasuk di bangunan tetaer luar ruang dan taman di distrik timur Shijaiya, yang pada tahun lalu menderita serangan tank dan gempuran artileri dari militer Zionis Israel sehingga menyebabkan 72 orang gugur.
Inisiatif mewarnai lingkungan rumah itu mendapat sambutan positif dari para ibu. Salah satunya Faten Al-Haddad (24 tahun), ibu dari 4 orang anak. Menurutnya, inisiatif itu secara khusus menimbulkan efek mendalam bagi anak-anak. "Membuat mereka jadi lebih mau untuk bermain, bersih, dan pergi keluar rumah," ujarnya.
Orang tua lainnya, Mohammed Nayef (30 th), menambahkan bahwa bulan suci Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk proyek tersebut. "Kami membuat lampu-lampu dan mendekorasinya dengan lampion dan penerangan temaram khas Ramadhan." Pada saat hari-hari bulan Ramadhan seperti sekarang, kata Mohammed menambahkan, para drummer tradisional Ramadhan, yang disebut misaharati dalam bahasa Arab, berkeliling untuk membangunkan orang untuk sahur dan juga bermain dengan anak-anak.
"Pemandangan di sini dulunya mencekam, mengingatkan kami kepada kehancuran," ujarnya. "Maka dari itu kami membuat zona positif kami sendiri." (aljazeera/ismed)
Dengan bantuan lembaga lokal, komunitas warga membuat dinding-dinding, rumah-rumah, dan lorong-lorong perkampungan mereka berubah menjadi penuh warna cerah, memperindah lingkungan mereka dengan cat warna-warni dan pesan-pesan positif. Demikian seperti laporan jurnalis AlJazeera Rabu (15/7) kemarin.
Di perkampungan kecil bernama Al-Zaytoun, dinding-dinding rumah disulap dengan cat warna ungu, oranye, dan hijau cerah, beberapa juga disertai hiasan bebungaan dan grafiti kata-kata.
Inisiatif tersebut dipandang menghadirkan keunikan tersendiri, terlebih bagi masyarakat yang terkena trauma akibat perang.
Sembari duduk di teras rumah penuh pot-pot dan bunga-bunga, tempat di mana warga menanam warung hidup berisi tomat, melon, terung, dan salad hijau; gadis remaja usia 19 tahun, Mais Naief, menceritakan efek positif yang dibawa perubahan warna-warni tersebut.
"Jika Anda datang berkunjung pada malam hari, Anda bakal melihat terang cahaya dan permainan Ramadhan dimainkan anak-anak di jalan-jalan. Sungguh suasana yang luar biasa," cerita Mais.
"Situasi di sini begitu tegang tahun lalu. Kamiu menyaksikan pembantaian Al-Shujaiyah dari jendela-jendela rumah kami," tambahnya. "Masyarakat kini hendak mengganti memori tersebut dengan perayaan, wewarna, dan kegembiraan. Kami bersikap untuk merayakan Ramadhan dengan cara kami sendiri."
Lingkungan rukun warga yang penuh hiasan warna itu terletak di area berjumlah penduduk paling padar di Jalur Gaza. Bagia banyak pihak, proyek tersebut dirasakan sebagai pesan akan harapan dan kebaikan.
Inisiatif tersebut jika ditelusuri bermula dari seorangw arga usia 58 tahun, Abu Abdullah. Ia memutuskan untuk mengecat rumahnya dengan ragam warna cerah, pada awal tahun 2015 ini.
Keputusannya mengubah penampilan rumahnya itu menjadi bahan pembicaraan, sehingga tiga rumah tetangganya mengikuti jejaknya, melukisi dinding rumahnya juga.
Secara berangsur-angsur, keempat rumah tangga tersebut bergerak meyakinkan warga lainnya untuk bergabung, hingga "orang tua, kaum muda, lelaki, dan wanita semuanya ikut berpartisipasi," kata Abu Abdullah menjelaskan.
Menurut Emad Nayef (44 tahun), tim yang dibentuk bertugas mengumpulkan urunan dana daris etiap rumah untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan.
Emad meyakini bahwa lingkungan rukun warga yang penuh warna dapat berperan sebagai terapi pelega bagi trauma psikologis yang diakibatkan perang di sepanjang Jalur Gaza, di mana 90 persen orang tua melaporkan bahwa anak-anak mereka mengalami ketakutan, seperti dikemukakan lembaga bantuan Save the Children.
"Kami memilih untuk keluar dari keadaan muram," ujar Emad, "Kami tidak ingin hidup di bawah keadaan yang dipaksakan kepada kami oleh penjajah Israel."
Warga Al-Zaytoun juga mendapatkan bantuan dari Tamer Institute for Community Education untuk mewujudkan inisiatif proyek tersebut.
Pihak Institut menyediakan cat, kuas, dan bahan lainnya, juga mengirimkan sekelompok seniman untuk membantu warga mendekor dinding tembok rumah mereka.
Mereka mengerjakan semuanya tepat beberapa waktu sebelum bulan suci Ramadhan tiba.
Dalia Abdel Rahman, seorang koordinator dari pihak Institut bercerita kepada Al Jazeera bahwa proyek ini bukan yang pertama dalam memperindah kota Gaza. Pihak Institut sebelumnya sudah melakukan pengecatan batu-batu di pelabuhan Gaza dan juga mempercantik karavan-karavan yang menjadi tempat penampungan pengungsi di daerah Khuzaa.
"Kami memandang bahwa dengan menebar wewarna dan keindahan kepada warga, serta membuat mereka mewarnai rumah-rumah mereka sendiri, adalah sebuah keberhasilan bagi kami," ujar Dalia. "[Lingkungan rukun warga] memaparkan ide mereka dan kami suka serta bertekad untuk membantu.. Ini tidak akan berhenti sebatas rumah-rumah mereka saja."
Pada tanggal 11 Juli lalu, pihak Institut juga mewujudkan proyek grafiti di sudut lain kota Gaza, termasuk di bangunan tetaer luar ruang dan taman di distrik timur Shijaiya, yang pada tahun lalu menderita serangan tank dan gempuran artileri dari militer Zionis Israel sehingga menyebabkan 72 orang gugur.
Inisiatif mewarnai lingkungan rumah itu mendapat sambutan positif dari para ibu. Salah satunya Faten Al-Haddad (24 tahun), ibu dari 4 orang anak. Menurutnya, inisiatif itu secara khusus menimbulkan efek mendalam bagi anak-anak. "Membuat mereka jadi lebih mau untuk bermain, bersih, dan pergi keluar rumah," ujarnya.
Orang tua lainnya, Mohammed Nayef (30 th), menambahkan bahwa bulan suci Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk proyek tersebut. "Kami membuat lampu-lampu dan mendekorasinya dengan lampion dan penerangan temaram khas Ramadhan." Pada saat hari-hari bulan Ramadhan seperti sekarang, kata Mohammed menambahkan, para drummer tradisional Ramadhan, yang disebut misaharati dalam bahasa Arab, berkeliling untuk membangunkan orang untuk sahur dan juga bermain dengan anak-anak.
"Pemandangan di sini dulunya mencekam, mengingatkan kami kepada kehancuran," ujarnya. "Maka dari itu kami membuat zona positif kami sendiri." (aljazeera/ismed)