Islamedia - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak
menaikan batas usia perkawinan perempuan dari usia 16 menjadi 18 tahun yang
dimohonkan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Yayasan Pemantauan Hak Anak
(YPHA). MK menegaskan tak ada jaminan jika batas usia dinaikkan dapat menekan
kerentanan perempuan terkait kesehatan reproduksi. "Menolak seluruh
gugatan pemohon seluruhnya," kata Ketua MK, Arief Hidayat, membacakan
putusan di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta (beritasatu.com, 18 Juni 2015)
Ada yang aneh dalam pengamatan saya. Harian Kompas minggu ini membahas sangat detail soal rencana revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia menikah dari 16 tahun mau dinaikkan menjadi 18 tahun. Ini artinya, sebelum usia 18 tahun seorang wanita tidak diizinkan negara untuk menikah. Selain itu, jika mau menikah maka ia harus melakukan akad nikah di bawah tangan (Sirri).
Entahlah apa yang mendorong Kompas membahas ini dengan sangat intensif seakan-akan masalah ini adalah masalah nasional yang sangat mendesak dipikirkan. Dan terlihat sangat tidak netral, maksudnya Kompas memihak kalangan yang Pro menaikkan usia pernikahan. Logika yang dibangun pun sangat multidisipliner, mulai soal hukum. Di sana terdapat tulisan Prof Suteki yang menurut saya logikanya aneh, hingga logika ilmiah seperti bahaya seks usia dini terhadap kecerdasan dan hubungan pernikahan usia dini dengan kematian waktu melahirkan. Hanya saja jika kebijakan menaikkan usia nikah ini jadi diterapkan, maka ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian.
Entahlah apa ada semacam
udang di balik "batu". Secara pribadi, saya sepakat dengan putusan MK,
yang seminggu ini seakan-akan diadili oleh media nasional sekelas Kompas.
Ustaz Ahmad Halimy M.Pd.I
Pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin, Kolor Sumenep, Madura
Ada yang aneh dalam pengamatan saya. Harian Kompas minggu ini membahas sangat detail soal rencana revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia menikah dari 16 tahun mau dinaikkan menjadi 18 tahun. Ini artinya, sebelum usia 18 tahun seorang wanita tidak diizinkan negara untuk menikah. Selain itu, jika mau menikah maka ia harus melakukan akad nikah di bawah tangan (Sirri).
Entahlah apa yang mendorong Kompas membahas ini dengan sangat intensif seakan-akan masalah ini adalah masalah nasional yang sangat mendesak dipikirkan. Dan terlihat sangat tidak netral, maksudnya Kompas memihak kalangan yang Pro menaikkan usia pernikahan. Logika yang dibangun pun sangat multidisipliner, mulai soal hukum. Di sana terdapat tulisan Prof Suteki yang menurut saya logikanya aneh, hingga logika ilmiah seperti bahaya seks usia dini terhadap kecerdasan dan hubungan pernikahan usia dini dengan kematian waktu melahirkan. Hanya saja jika kebijakan menaikkan usia nikah ini jadi diterapkan, maka ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian.
1.
Masalah
pernikahan usia dini sebenarnya bukanlah masalah terpenting yang dihadapi
bangsa ini. masalah yang lebih parah sebenarnya merebaknya perzinaan dan
pergaulan bebas di kalangan remaja, dengan segala implikasi sosial, medis maupun
budaya yang ditimbulkannya. Data yang dimiliki POGI (persatuan obstetri dan
ginekolog indonesia) sejak awal tahun 2000 banyak menunjukkan hal yang
mengkhawatirkan ini. hanya saja karena mungkin masalah pergaulan bebas ini
mungkin dianggap berbau "SARA" maka mungkin seakan dihilangkan dari
pembahasan usia nikah.
2.
Jika
usia nikah naik dan wanita tak boleh menikah secara resmi jika belum usia 18
tahun maka angka pernikahan di bawah tangan bisa jadi meningkat karena di
beberapa desa di tempat saya tinggal, pernikahan usia di bawah 18 tahun masih
banyak dilakukan. Jika mereka menikah di bawah tangan maka hal ini akan sangat
merugikan pihak perempuan.
3.
Logika
yang dibangun Prof Suteki (harian Kompas 23 Juni 2015) sungguh aneh. Jika
dengan memakai logika orang Jawa bahwa orang Jawa menikahkan anaknya jika telah
kuat nyambut gawe (mampu bekerja) dia ingin membantah logika Mahkamah
konstitusi tentang syarat pernikahan Islam yang cuma akil baligh, maka
pertanyaannya adalah: Apa hubungan usia 18 tahun dengan kuat gawe? jika logika
kuat gawe ini yang dipakai maka sebaiknya kuat gawelah yang dijadikan
batasan menikah dan bukan usia, karena tak ada jaminan anak usia 18 tahun telah
kuat gawe, sedangkan yang usia di bawahnya tidak kuat gawe (ada
pembahasan yang menarik tentang ini).
4.
Secara
umum saya tak selalu sepakat dengan logika ilmiah bahwa menikah usia dini
mengurangi kecerdasan. Cukuplah kenyataan bahwa siti Aisyah, siti Hafshoh (2
isteri Nabi) menikah di usia dini, mereka dikenal sebagai perempuan perempuan
cerdas yang menjadi rujukan banyak laki laki dalam hal ilmu Agama.
Ustaz Ahmad Halimy M.Pd.I
Pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin, Kolor Sumenep, Madura