
Islamedia.co - Telah beredar tulisan, yang berasal dari sebuah situs konsultasi syariah,
yang sebenarnya mengajarkan kebaikan, yaitu kesabaran dan kepasrahan terhadap
takdir. Khususnya dalam menyikapi kenaikan harga BBM. Umat Islam diajarkan nrimo
apa yang sudah ditetapkan pemerintah. Lalu kemudian, dikutip berbagai alasan,
tafsir, dan perkataan ulama, di antaranya bahwa rezeki kita tidak akan
berkurang walau BBM naik, yang penting ibadah saja, dan sebagainya.
Sungguh ini merupakan kalimatul haq yuradu bihal baathil (perkataan
yang benar namun maksudnya batil). Ini merupakan pemahaman berbahaya yang dapat
mematikan budaya munashahah (saling menasihati), antara umat dan
pemimpinnya, budaya kontrol, yang justru itulah budayanya para salafush
shalih. Dikhawatirkan lahir anggapan
bahwa semua yang dilakukan oleh pemimpin –sekeliru apa pun itu- sikap kita adalah menerima dan pasrah, diam
saja, semuanya sudah ada yang mengatur, kalau tidak menerim, menggerutu,
mengritik, mendiskusikannya, maka itu melawan takdir! Ini juga merupakan
pemahaman berbahaya, yaitu melahirkan sikap apatis dan fatalis a la kaum
jabriyah yang menganggap semua sudah di atur oleh Allah Ta’ala tanpa
sama sekali adanya peran dan sebab-sebab kauniyah yang diusahakan oleh makhluk. Sungguh, ini bukan pemahaman
salafush shalih yang kita teladani.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak tinggal diam atas
penindasan yang dialaminya dan para sahabatnya, kecuali pada masa-masa awal
dakwah yang memang masih sedikit dan lemah. Para sahabat pun tidak tinggal diam
dan pasrah, seraya menantikan pertolongan Allah Ta’ala semata, melainkan mereka
melakukan upaya keras berbagai futuhat (penaklukan) ke berbagai negeri.
Kalau pemahaman terhadap “pasrah” dan taqdir adalah tidak ngapa-ngapain,
diam saja, sabar saja, niscaya kita
tidak mendengar kisah heroik Badar, Uhud, Mu’tah, Yamamah, penaklukan Konstantinopel,
penaklukan Baitul Maqdis, dan sebagainya. Begitu pula kisah kepahlawanan para
ulama ketika melawan kediktatoran para pemimpin di masa mereka masing-masing;
Imam Sa’id bin Jubeir, Imam Ibnu Taimiyah, Imam An Nawawi, Imam ‘Izzudin bin
Abdissalam, bahkan imam empat madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, kesemuanya pernah mengalami penyiksaan dan
penjara penguasa, bukan justru mencari
jalan aman, dan pasrah.
Mereka –Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat, para
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama- paling mengerti apa itu pasrah,
sabar, dan taqdir, tapi mereka juga mencontohkan perjuangan, lisan, tulisan,
bahkan darah mereka, bukan pasif dan nrimo secara salah.
Allah Ta’ala mengartikan “orang-orang sabar” bukanlah orang yang diam dan
pengecut, tetapi kuat, tegar, dan pemberani. Allah Ta’ala berfirman:
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ
مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
`Dan
berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana
yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3):
146)
Mengimani tentang jatah rezeki kita yang sudah ditentukanNya sesuai
takdirNya, bahwa Allah Ta’ala sebaik-baiknya pemberi rezeki, dan seterusnya,
itu adalah keyakinan yang mesti ada pada setiap muslim. Tetapi, mengoreksi
pemimpin yang salah atas kebijakannya yang menyulitkan kesejahteraan umatnya
sendiri, adalah hal yang lain. Sangat-sangat banyak kebijakan para khalifah
dikritisi oleh para sahabat, tabi’in, dan ulama, dan itu semua tidak ada yang
mengatakan bahwa para pengkritik telah melawan takdir dan kurang beriman!
Mengkritisi Kebijakan Pemimpin Yang Salah dan Merugikan
adalah Syar’i
Memberikan nasihat, masukan, pertimbangan, dan kritikan kepada pemimpin
jika ada yang keliru dari mereka adalah perintah syara’. Berikut ini dalilnya:
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْم بْنِ
أَوْسٍ الدَّارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ:
للهِ،ولكتابه، ولِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
Dari Abu Ruqayyah
Tamim bin Aus Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk
siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya,
para pemimpin kaum muslimin, dan orang umumnya.” (HR. Muslim No. 55, At Tirmdzi No. 1990, Ibnu Hibban No. 4574, Ahmad No. 7954, dll)
Kita lihat dalam
hadits ini, inti sari agama ini adalah nasihat, yang berlaku juga bagi para
pemimpin. Berkata Imam Al Khathabi Rahmatullah
‘Alaih:
وَمَعْنَى الْحَدِيث : عِمَاد الدِّين
وَقِوَامه النَّصِيحَة . كَقَوْلِهِ : الْحَجُّ عَرَفَة أَيْ عِمَاده وَمُعْظَمه
عَرَفَة .
“Makna hadits adalah: tiang agama dan penyangganya
adalah nasihat. Ini seperti sabdanya: haji adalah ‘arafah artinya tiang
dan mu’zham (unsur yang paling penting) dari haji adalah (wukuf) di
‘Arafah.” (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/144.
Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul
Arba’in An Nawawiyah, Hal. 50. Maktabah Al Misykah)
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan, di antara maksud “nasihat
untuk para pemimpin kaum muslimin”:
فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ،
وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ
وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق
الْمُسْلِمِينَ
Menolong mereka dalam kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, dan memerintahkan mereka
dengan ketaatan itu, dan memperingatkan mereka dengan cara lembut dan santun,
memberitahu mereka ketika mereka melalaikan hak kaum muslimin ... (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/144)
Penjelasan Imam An Nawawi di atas menunjukkan bahwa sikap kita terhadap
pemimpin adalah tidak tinggal diam, bukan pasrah, dan membiarkan pemimpin
tersebut asyik dengan kesalahannya. Kita menolong mereka dalam kebenaran,
mentaati mereka dalam kebenaran, memperingatkan mereka dengan cara lembut,
santun, bukan memberontak, ketika mereka melalaikan hak-hak kaum muslimin.
Meluruskan Kebijakan Pemimpin Yang Otoriter adalah Jihad yang paling utama
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Dari Abu Said Al Khudri, dia berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang
paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud
No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, Katanya:
hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, An Nasa’i No. 4209, Ahmad, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis
Kalimatul haq- perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al
Mashabih, No. 3705)
Bahkan jika
seseorang mati karena dibunuh penguasa zalim disebabkan amar ma’ruf nahi
munkar, dia termasuk pemimpin para syuhada. Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل
قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Penghulu para syuhada adalah
Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata (menasihati) penguasa kejam, ia melarang dan memerintah,
namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Ala ash Shaihain, Juz. 11, hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih,
tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya.
Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany
mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash
Shahihah, No. 374)
Jadi, syariat yang suci ini, mengajarkan umatnya untuk menjalankan nasihat
dalam kebaikan dan nasihat dalam kebenaran, kepada siapa pun termasuk kepada
pemimpin otoriter sekali pun; pemimpin yang titahnya tidak bisa ditentang,
bahkan bertanya “kenapa” pun manusia tidak berani. Justru aktifitas amar ma’ruf nahi munkar kepada
pemimpin seperti ini adalah jihad yang paling utama. Bukan menyuruh diam dan
menantikan keajaiban dari langit untuk ketumbangan pemimpin yang otoriter.
Syariat ini tidak mengajarkan, “Sudahlah diam saja, pasrah, dan sabar, sudah taqdir pemimpin kita seperti itu.” Apa
jadinya jika setiap ada kemungkaran, kebijakan yang membahayakan, selalu
disikapi “sabar saja ini sudah taqdir dan sudah ada yang ngatur ?” Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah
berlepas diri dari pemahaman seperti ini.
Imam An Nawawi Rahimahullah –mengutip dari Al Qusyairi katanya:
وَسَمِعْت أَبَا عَلِيّ الدَّقَّاقَ يَقُول : مَنْ
سَكَتَ عَنْ الْحَقّ فَهُوَ شَيْطَان أَخْرَس .
Aku mendengar Abu ‘Ali Ad Daqaq berkata: “Barang siapa yang diam dari
kebenaran, maka dia adalah syetan bisu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
2/20)
Ancaman Nabi kepada Para Pemimpin Otoriter
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ فِي جَهَنَّمَ وَادِيًا،
فِي الْوَادِي بِئْرٌ يُقَالُ لَهُ: هَبْهَبٌ، حَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُسْكِنَ
فِيهِ كُلَّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ
Di neraka Jahanam ada sebuah lembah, dan di lembah tersebut terdapat sumur
yang bernama hab hab, di situ Allah akan menampatkan ke dalamnya semua
pemimpin yang suka memaksakan kehendaknya (otoriter). (HR. Ath Thabarani, Al
Mu’jam Al Awsath No. 3548, Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya, 2/355, Al
Baihaqi, Al Ba’ts wan Nusyur, No. 479. Al Hakim, Al Mustadrak No.
7946, katanya: “Shahih isnadnya, tapi Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi mengatakan dalam At Talkhish-nya:
shahih. Sementara Imam Al Haitsami mengatakan: hasan. Lihat
Majma’uz Zawaid, No. 9005)
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufan Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkata:
سَيَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ،
يَقُولُونَ عَلَى مَنَابِرِهِمْ فَلَا يُرِدُ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ،
يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا يَتَقَاحَمُ الْقِرَدَةُ
Setelahku nanti akan ada para pemimpin yang berbicara di atas mimbar-mimbar
mereka dan perkataan mereka tidak bisa dibantah, mereka akan berdesakan masuk
ke dalam neraka seperti berdesakannya kera. (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam
Al Awsath No. 5311, juga dalam Al Kabir No. 925. Abu Ya’la No. 7382,
Al Ashbahani, Amtsalul Hadits No. 271. Imam Al Haitsami mengatakan: para
perawinya terpercaya. Lihat Majma’uz Zawaid No. 9199. Syaikh Husein
Salim Asad mengatakan: shahih. Lihat Musnad Abi Ya’la No. 7382 )
Pemimpin yang otoriter, yang dengan itu dia dibenci oleh rakyatnya, maka
itu menjadi sebab shalatnya tidak diterima dan mendapatkan azab yang pedih.
Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahw Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ
صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ
وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
Ada tiga kelompok manusia yang shalat mereka tidak
melewati telinga mereka: 1. Budak yang lari dari majikannya. 2. Istri yang
tidur di malam hari namun suaminya marah kepadanya, 3. Pemimpin yang dibenci
oleh kaumnya. (HR. At Tirmidzi No. 360, dan At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 17138, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 8098, Syaikh
Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Misykah Al Mashabih No. 1122. Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/117/487, Shahihul Jami’ No. 3057)
Dari Amru bin Al Harits bin Al
Mushthaliq, katanya:
كَانَ يُقَالُ: أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابَا
امْرَأَةٌ تُعْصِي زَوْجَهَا، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
Dikatakan bahwa, “Manusia paling
keras azabnya adalah istri yang durhaka kepada suaminya, dan pempimpin yang
dibenci oleh kaumnya.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 4110,
17130, juga At Tirmidzi No. 359)
Bagaimanakah “pemimpin yang
dibenci kaumnya” itu ?
قَالَ جَرِيرٌ: قَالَ مَنْصُورٌ:
فَسَأَلْنَا عَنْ أَمْرِ الإِمَامِ؟ فَقِيلَ لَنَا: إِنَّمَا عَنَى بِهَذَا
الأَئِمَّةَ الظَّلَمَةَ، فَأَمَّا مَنْ أَقَامَ السُّنَّةَ فَإِنَّمَا الإِثْمُ
عَلَى مَنْ كَرِهَهُ.
Berkata Jarir, berkata Manshur: kami bertanya tentang “pemimpin”, maka
dijawab kepada kami: “Makna dari ini adalah para pemimpin yang zalim, ada pun
pemimpin yang menegakkan sunah justru yang berdosa adalah pihak yang
membencinya. (Sunan At Tirmdizi No. 359)
Kisah Gemilang Generasi Terbaik Menyikapi Pemimpin Otoriter
Inilah pelajaran nan agung dari generasi terbaik umat ini, maka
berpalinglah kepadanya lalu ambil-lah faidah yang banyak darinya. Jangan
perhatian kita disibukkan oleh pernyataan yang membingungkan, dan tidak
memiliki pijakan kokoh dari tokoh-tokoh mulia agama ini.
Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu
‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan hendak
membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka
selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh
seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul
mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar
menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman
Allah:
“ .... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya Allah
ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat
keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir
mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu
Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Lihat ini, kebijakan Umar Radhiallahu ‘Anhu yang dinilai merugikan
kaum wanita telah dikoreksi seorang wanita yang berani dan cerdas. Tidak ada
yang mengatakan, “Sudah jadi kebijakan resmi, sabar saja, tabah, dan
tawakal.” Tidak oleh Umar Radhiallahu
‘Anhu dan tidak pula oleh wanita itu.
Imam Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu
Tentang kecaman keras Said bin
Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat
terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai
berikut:
عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول
يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم
على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق
سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
“Dari Abu Al Yaqzhan, dia
berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat
itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena
kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama,
kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan
merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said
bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin
Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam
Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah salah satu kecaman
keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah
satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam
Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada
zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Inilah
taqdirku, hidup di zaman pemimpin yang otoriter, sabar sajalah.”
Tentang Imam Sa’id bin Jubeir,
berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
كان أعلمهم
بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق
سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير
“Yang paling tahu tentang Al
Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang paling
tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq
adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu
ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala,
4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Sementara Ali Al Madini
berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير.
قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
“Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak
ada yang seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali
Al Madini menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu
Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan
juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak
sampai melakukan perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa
Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan
membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:
فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك
زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء،
فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا
عليه أضيق من مسك جمل
“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang
menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.”
Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku
berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj
dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid),
bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku,
kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat
lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau
mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang
bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata,
lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak
demikian.
Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam
Fiqih dan hadits pada masa tabi’in.
Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:
كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع،
وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه،
ثم كان بعده يحيى بن آدم
“Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia
pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya,
lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu
Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)
Daud bin Abi Hindi berkata:
ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang
pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)
Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:
ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة
والحجاز والآفاق من الشعبي
“Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih
tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu
Beliau dikenal sebagai orang
yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur
penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu
hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
Berikut ini yang diceritakan
Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى
ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت
منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه
ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن
سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq
berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan
Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu
Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?”
Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka
saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu
dia (Ibnu Sirin) berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya
bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya
memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy
Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia tidak mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’,
1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata Hisyam: Aku belum
pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.”
(Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam Muhammad bin Sirin
Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman Ibnu Hubairah (pejabat tinggi
di masa Khalifah Marwan) yang ada di dalam istana, di depan banyak orang dan
ulama. Beliau bukan memilih sikap diam dan apatis.
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Siapa yang tidak kenal dengan
nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para
sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati
Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya
marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim
Al Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junaid, katanya:
عطاء بن مسلم، قال: لما
استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله
هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام
يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال:
نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً
حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين.
قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل
في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan
Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan
melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah,
inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As
Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata:
“Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata
kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi:
“Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: “Apakah aku
akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan
kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku
apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah
Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka,
berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia
aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia
keluar, maka para sahabat Sufyan
mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu
Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al
Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu
Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’,
3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Kritikan keras Sufyan Ats
Tsauri kepada khalifah Al Mahdi, sampai-sampai dia mengatakan “remehkan akal
mereka (Al Mahdi dan para pengawalnya).” Ini menunjukkan sikap yang benar
terhadap pemimpin yang otoriter.
Ketegasan Imam An Nawawi Rahimahullah
Ketegasan Imam An Nawawi
terhadap kezaliman penguasa sangatlah terkenal, yakni ketika Sultan Azh Zhahir
Baibars, penguasa Syam, membuat kebijakan menyengsarakan rakyat, yaitu dengan mengumpulkan harta rakyat untuk melawan
agresi pasukan Tartar. Sultan Azh Zhahir meminta persetujuan para ulama atas
kebijakannya itu melalui fatwa mereka secara tertulis. Maka, para ulama
menyetujui rencana itu dan menulis kesepakatan atas hal itu. Sang sultan
bertanya, “Apakah masih ada yang keberatan dengan rencana ini?” Seseorang
menjawab, “Ya, Syaikh Muhyiddin (An Nawawi).”
Sultan memanggil Imam An
Nawawi ke istana, dan Imam An Nawawi memenuhi undangan tersebut. Sultan berkata
kepadanya, “Tulislah kesepakatan bersama ahli fiqih ainnya!” Namun Imam An
Nawawi tidak mau memenuhi permintaan tersebut. Sultan pun bertanya, “Apa alasan
kamu tidak memfatwakan bolehnya rencana ini seperti fatwa ahli fiqih lainnya?”
Imam An Nawawi menjawab dengan
tajam, “Aku mengetahui bahwasanya kamu dulunya budak Al Bandaqar dan kamu tidak
punya apa-apa. Setelah itu Allah memberikan kenikmatan kepadamu dan menjadikan
kamu sebagai raja. Aku telah mendengar bahwa kamu memiliki seribu budak, setiap
budaknya memiliki simpanan emas, kamu juga punya dua ratus budak perempuan, dan
setiap budak perempuan itu memiliki perhiasan. Seandainya kamu infakkan semua hartamu itu dan
budak-budak itu tetap menjadi milikmu, maka aku akan memberikan fatwa kepadamu
tenang bolehnya mengambil harta dari rakyat.”
Mendengar jawaban ini, Sultan
Azh Zhahir marah lalu berkata: “Pergilah dari negeriku ini (Damaskus).” Imam An
Nawawi mengatakan, “Aku ikuti dan turuti perintahmu.” Lalu Imam An Nawawi pergi
menuju daerah Nawa, yang dengan inilah dia kemudian disebut An
Nawawi.
Namun para ahli fiqih berkata
kepada Azh Zhahir,”Dia adalah salah satu ulama besar dan orang shalih kami,
orang terpercaya dan diikuti. Maka kembalikan dia ke Damaskus.” Lalu Imam An
Nawawi ditawari kembali ke Damaskus tetapi Beliau menolak dan berkata, “Aku
tidak akan masuk ke Damaskus, selama Azh Zhahir masih ada di dalamnya.” Setelah
lewat satu bulan peristiwa tersebut, Imam An Nawawi wafat. (Syaikh
Wahiduddin Abdissalam Bali, Ulama wa Umara, Hal. 71)
Sikap Imam An Nawawi
menunjukkan bahwa kebijakan penguasa yang merugikan rakyat tidak boleh
didiamkan, mesti dikritisi. Oleh karena itu ajakan untuk pasrah, sabar secara
pasif, dan nrimo terhadap kebijakan yang salah dan
menyengsarakan, lalu dibungkus dengan dalil-dalil agama, adalah ajakan yang
tidak perlu dianggap. Di sisi lain memang bertentangan dengan perilaku para
salafush shalih.
Keberanian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain seorang ulama yang
agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil
manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin.
Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
Berkata Al Alusi tentang Imam
Ibnu Taimiyah:
“Adapun keberanian dan
jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun
tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan
Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang
paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia
yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad
melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di dalan
Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka
menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.
Banyak orang menceritakan
bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut
bersama pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat
pasukan yang gelisah dan takut, maka ia
memberikan semangat kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah
kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
Syaikh Ahmad Farid juga
menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:
“Seorang panglima perang
mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan, “Syaikh Ibnu Taimiyah
berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah terlihat,”Wahai kamu, perlakukanlah
aku seolah aku sudah mati.” Lalu aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan,
sementara musuh-musuh sudah turun bak banjir yang mengalir dengan deras.
Peralatan perang mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan.
Lalu, aku berkata kepadanya:
Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Batalkan keinginanmu itu!” Ia
menengadahkan mukanya ke langit, meluruskan pandangannya, dan menggerakkan
kedua bibirnya dalam waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke medan perang.
Aku tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam
yang berhasil masuk ke kota Damaskus.” (Ibid, Hal. 798-799)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali
juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:
قدم إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد،
لما قدم السلطان لكشف التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت
المقدس.
“Beliau bersama saudaranya,
dua belas tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad, ketika datangnya sultan
untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar bersama pasukan, dan
berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan berziarah ke Baitul Maqdis.” (Imam
Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi’ Al Warraq)
Beliau juga sangat tegas
dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang
berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid
berkata:
“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan
berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang
banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum
musimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat
Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin).
Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun berita ini sampai ke
telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api
semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada
mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu
bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan
Ghazan.”
(Inilah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya
menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya
bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah keadaan
pemimpin yang tega menyerahkan rakyatnya sendiri kepada musuhnya, mirip dengan
sebagian pemimpin-pemimpin muslim hari ini yang bekerjasama dengan Barat untuk
mencaplok kekayaan negeri sendiri)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid
mengatakan:
“Tatkala Sultan Ghazan melihat
Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat
terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk
bersamanya.
Kesempatan tersebut digunakan
Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada
Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah
memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah muslimin, mengingatkan
dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah
tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga
isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.” (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama
Salaf, Hal. 797-798)
Keberanian Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau dijuluki Shulthanul
‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya. Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap
kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya
dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami akan kutipkan sebuah
peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh Al Baji (murid Imam
Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan
Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng Shalahuddin).
Di sana ia menyaksikan para prajurit
yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana
kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan
memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu
pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.
Melihat peristiwa tersebut
Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya,
Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku
telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan
Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya,
di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang
munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.”
Syaikh Izzuddin memanggilnya
(sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan
keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan
perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin berkata: “Kamu
termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami
mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan
memusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak
manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau
menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih berani lagi Imam
Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat
hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin.
Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil
sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin
menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan
penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi ketika
wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya
terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau
inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil
sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi
kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?”
Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat
pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil
penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa
yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang mirip
dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa
Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi
dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada
Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya
dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr
bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut sultan marah. (Ibid,
Hal. 750)
Inilah Al Imam Al ‘Izz bin
Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi
menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga
menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terikat madzhab, sudah berfatwa
dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih
banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup
menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, mengkritik kebijakan
pemimpin yang salah, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru.
Justru ini adalah perbuatan mulia yang
membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Sa’id bin Jubeir, Imam Ibnu Sirin,
Sufyan Ats Tsauri, Imam An Nawawi, Imam
Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam, semoga Allah Ta’ala merahmati
mereka. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in
Ustadz Farid Nu’man Hasan