Islam edia - Aku mempunyai seorang teman, Wisnu namanya. Ia teman akrab waktu aku duduk di bangku SMP. Waktu sekolah di SMP Ia ting...
Aku tahu persis kelakuan Wisnu,
boleh aku bilang termasuk anak yang ‘nakal’ waktu itu. Sikapnya yang cenderung pendiam, ternyata
menyimpan sifat ‘urakan’. Tidak jarang
Wisnu membuat ulah di kelas atau di sekolah, bahkan pernah di hukum ‘dijemur’ waktu
upacara, karena rambutnya yang gondrong.
Tetapi, senakal-nakalnya Wisnu, Ia termasuk anak yang solider dengan teman-teman. Baik sesama teman, Wisnu juga jarang
mengganggu anak-anak wanita.
Selepas SMP, aku tidak pernah
lagi bertemu, karena kami berlainan sekolah.
Tetapi beberapa pekan yang lalu aku ketemu Wisnu, dan ini pertemuan
kedua setelah lebih dari 20 tahun berpisah.
Kami janjian untuk bertemu saat jam makan siang. Disamping kami juga janjian bertemu dengan
teman-teman SMP yang lain, ada Fajar,
Omi, dan Evi.
Di pertemuan itu kami saling
melepas kangen, rindu, setelah sekian lama tidak bertemu. Sambil makan, kami saling berbagi
cerita.
Awalnya, aku bertanya ke Wisnu,
waktu SMP Wisnu anak yang secara prestasi biasa-biasa saja, belum lagi cap
‘nakal’nya hampir dikenal oleh semua murid di sekolah waktu itu. Tetapi lain dengan hari ini, Wisnu jauh lebih
dewasa, penampilannya rapi, gagah, karena orangnya tinggi juga. Belum lagi gaya bicaranya, menunjukkan ‘orang
kantoran’ banget. Dan satu yang tidak
berubah, masih suka mbanyol.
Lalu mengalirlah cerita Wisnu
tentang masa lalunya, termasuk ‘masa-masa kelamnya’. Ketika SMA, tidak pernah belajar, bahkan
lebih suka ikut geng-geng motor. Tawuran
antar geng motorpun sering Ia lakukan. Ketika
Ebtanas SMA, Ia menjawab soal dengan asal menghitami kertas jawaban saja. Tidak lagi dilihat soalnya, Wisnu…Wisnu. Uniknya, Ia lulus juga waktu SMA, walau
dengan nilai apa adanya.
Begitu juga waktu kuliah di
sebuah perguruan tinggi swasta di kota Gudeg.
Tidak pernah serius Wisnu kuliah, bahkan hampir Drop Out (DO). Karena
kebaikan seorang Dosen lah, kemudian Wisnu lulus dengan IPK yang pas-pasan,
itupun harus ‘mengemis-ngemis’ ke Dosen tersebut agar tidak DO.
Lulus dari perguruan tinggi,
bukannya kerja, makin menjadi-jadi kelakuan Wisnu. Bahkan Ia sendiri menyebut dirinya ‘preman’. Melanglang
buana lah Wisnu ‘menikmati’ menjadi seorang preman.
Ia juga menjadi anak ‘dugem’, hampir tiap
malam membuat onar di diskotik-diskotik, akrab dengan minuman keras, dan mabuk
adalah biasa. Bahkan, Wisnu pun pernah
merasakan masuk penjara karena ulahnya. Hebatnya,
walaupun preman lagi-lagi Wisnu tidak suka mengganggu wanita.
Wisnu cepat dikenal di kalangan
preman dan para ‘dugem’, karena ‘dekat’ dengan orang yang berkuasa di daerah
itu. Belum lagi Wisnu juga anak seorang
pejabat desa. Wisnu dikenal sebagai
preman yang kalem, karena orangnya memang pendiam, atau karena tampilan orang Jawa yang lembut?
Walaupun pendiam, Ia ditakuti
oleh preman-preman lain. Pernah ada
pimpinan preman lain, orang Batak, diajak
‘duel’ satu lawan satu, ternyata preman itu takut, ‘jiper’ lebih dulu. Padahal preman itu lebih ‘sangar’
penampilannya.
Anak buahnya juga cukup banyak, dari
anak buahnya ini Wisnu tinggal menunggu setoran. Setoran-setoran dari anak buahnya, semalam saja bisa sampai dengan satu juta
rupiah. Sehingga sebulan, Wisnu
mempunyai penghasilan yang melebihi gaji seorang Manager di perusahaan.
Aku yang mendengarkan sejak awal
berdecak kagum, ceritanya bak sinetron saja.
Terus kenapa sekarang berubah drastis begini…?
Wisnu kembali bercerita…
Suatu ketika…biasa pulang dari
‘kerja malam’ sampai ke rumah pagi menjelang subuh, lalu tidur. Menjelang siang, bangun tidur masih keadaan
masih mengantuk, Ia menyenderkan tubuhnya ke sofa, sambil menonton TV. Pada saat menguap…, tiba-tiba Wisnu dari mulutnya
spontan berucap ‘Astaghfirullah hal
azdim’. Wisnu heran..., seumur-umur
baru sekali Ia mengucap kalimat ini.
Walaupun Islam, Wisnu jarang melakukan sholat lima waktu, apalagi
membaca wiridz. Ia merasa harus berubah, sudah diingatkan
oleh Allah SWT, maka Wisnu begumam ‘aku harus berubah, menjadi lebih baik.’
Setelah mengucap kalimat itu…,
tiba-tiba seolah-olah Ia melihat deretan dosa-dosa ditampakkan pada Wisnu. Ia tergugu…, lidahnya kelu…, lalu menangislah
Wisnu sejadi-jadinya… Tetapi, sebelumnya
Ia sempat melihat-lihat disekitar dia, jangan-jangan ada orang yang melihat
dia, malu kalau ada yang melihat, masak preman menangis.
Setelah kejadian itu…, Ia
berazzam untuk bertobat…, lari dunia hitamnya…, walaupun untuk sementara belum
bisa lepas dari dunia preman. Tetapi ada
yang unik, kali ini setiap datang ke ‘tempat
kerja’, Ia selalu membawa koran. Saat waktu sholat isya’ tiba, Wisnu mencari
tempat yang tersembunyi, lalu Ia sholat ditempat dengan menggunakan alas koran yang dibawanya
dari rumah. Termasuk ketika sholat subuh
pun, Ia mencari tempat yang sepi untuk sholat.
Atau juga kadang-kadang, Wisnu
berusaha pulang ke rumah sebelum waktu
subuh tiba, sehingga dapat leluasa melakukan sholat subuh di rumah.
Lama-lama perilaku Wisnu yang
sering tidak ada, saat waktu sholat ‘isyak dan shubuh ini diketahui oleh teman-teman
premannya. Maka, suatu ketika ketika
sholat subuh tiba, Wisnu pergi dari tempat duduknya, menuju ke tempat yang biasa
dipakai sholat. Rupanya, ada seorang
teman preman yang mengikuti dari belakang.
Karena teman preman ini curiga, setiap waktu sholat shubuh, Wisnu selalu
tidak ada di tempat duduk biasanya. Tiba-tiba saja, preman ini sudah ada
dibelakang Wisnu sambil menjawab salam, ketika Wisnu mengakiri sholatnya dengan
salam. Dan sejak saat itu pula, preman
ini mengikuti Wisnu, akan melakukan sholat seperti Wisnu, walaupun preman.
Setelah sekian lama rajin sholat,
hati Wisnu semakin galau…, tidak mungkin selamanya menjadi preman. Maka Ia pun mencoba membuat lamaran pekerjaan
ke sebuah perusahaan. Ternyata Wisnu
diterima kerja di perusahaan tersebut.
Walaupun dengan gaji sekitar Rp 300 ribu dan harus pergi ke Kalimantan,
tetapi karena sudah tekad bulat untuk meninggalkan ‘pekerjaan haram’ itu, Wisnu
meninggalkan kampung halaman dan semua ‘dunia hitamnya’, pergi ke Kalimantaan
bekerja sebagai staff di sebuah
perusahaan yang menjadi mitra perusahaan-perusahaan minyak.
Karena kesungguhan Wisnu bekerja…,
tidak sampai tiga tahun Ia sudah menduduki level Manager di Perusahaan itu.
Dan tidak sampai enam tahun, kemudian Wisnu di pindah ke Jakarta,
sebagai Manager Proyek.
Karena posisi inilah, yang
menjadikan Wisnu sering berperan untuk negosiasi-negosiasi dengan calon klien.
Ketika negosiasi ini, agar goal,
tidak jarang calon kliennya mengajak
ke tempat-tempat hiburan, klub-klub malam.
Tetapi Wisnu tidak mau lagi mengulang masa lalunya, pernah ketika calon kliennya ini membawa Wisnu ke klub malam
yang menyediakan wanita-wanita nakal, maka segera Ia bayar semua biaya makan
itu, dan segera pergi dari tempat hiburan itu, sambil mengatakan, “Saya tidak
mau mengkianati anak dan istri saya”.
Makanya, ketika melakukan deal-deal atau negosiasi-negosiasi proyek pekerjaan dengan calon kliennya, Wisnu lebih memilih di rumah
makan, atau kalau perlu di Luar Negeri sekalian seperti Singapura atau Hongkong,
dari pada harus di tempat-tempat hiburan
malam. Wisnu, tidak mau lagi mengingat
masa lalunya. Tidak mau lagi mengulanginya. Justru sebaliknya, ingin berubah…, menjadi
lebih baik.
Sekarang…, Wisnu menjadi manusia
baru, santun, dan dermawan. Bahkan dia
sering melakukan sedekah, untuk membersihkan harta-harta yang dimilikinya. Ia juga membuat yayasan yang menyantuni anak
yatim dan dhuafa. Ia ingin menjadi
muslim yang taat, sholat lima waktu tidak pernah lagi tertinggal. Terakhir beberapa bulan yang lalu, Wisnu
melakukan Umroh bersama Fajar.
Hari itu aku mendapat hikmah yang
sangat luar biasa, perjalanan seorang sahabat, karena kisah itu sangat
menginspirasi bagiku. Dari preman
menjadi beriman.
Terima kasih…, sahabatku.
Abu Fathi