Islamedia - Sesak dada terasa, memang! Terbakar kedua telinga, ya! Terhimpit
lagi sakit hati ini merasakan dan menyaksikan. Detik demi detik hujatan dan
makian terus menghantam, tiada henti berhamburan, melintasi suramnya hari-hari
perjuangan. Semakin hari semakin menjadi. Bulan demi bulan, bahkan tahun kini
telah berganti, tapi sajaknya tak juga terlihat akan mencerahkan dan melegakan.
Sulit dan pelik makin terasa, meluluh lantakkan cita-cita yang suci lagi murni.
Cita-cita yang bersih dan melayani seolah hanya cibiran bagi mereka yang sudah
kadung membenci.
Sampai saat ini pun saya terus berfikir. “Kenapa?” Kanapa harus kita
yang berjuang demi keadilan, kebenaran, dan demi mereka juga! justru yang terus
menerima caci maki? “mungkin ini lah janji Allah, oh.. benar, kita segera
ingat, ternyata Rasulullah telah menanggung beban yang lebih berat dari ini
semua.” Kita tak boleh mengeluh. Tak boleh!
Mereka yang selalu menebar duri kebencian, tak juga bisa kita
salahkan. Karena kita hanya mengemban apa yang sudah diamanahkan. Bukan kita
yang menentukan dan memaksakan kebaikan kepada mereka. Kepada mereka kita hanya
menyampaikan. Bukan memaksakan! Bila kita jumpai mereka membenci, itu memang
tugas mereka mencari kesalahan. Mencari aib dan kesempatan saat kita terjatuh
tergelincir kesakitan. Lalu mereka bersorak gembira kegirangan.
Kita segera yakin, ini untuk mengkokohkan kaki dan pijakan. Maka
harusnya kita semakin tersadar dan bangun untuk bangkit kembali. Untuk lebih
hati-hati! Bahwa kini semua mata tertuju pada kita. Pada sepasang kaki yang
siap melangkah kembali menapaki jalanan yang sudah bertebar duri-duri, siap
menusuk-nusuk, meremuk jemari. Kita harus selalu waspada! Melangkah mantab dan
tegab. Jeli memilih jengkal jejak yang selamat dari ranjau-ranjau darat.
Letih, lelah,
menggelayuti tubuh yang semakin ringkih tertatih. Siang terasa panjang
melelahkan memang. Justru inilah janji Allah, Justru kita harusnya berlari
dengan semangat tinggi. Kita berteladan dengan mereka saat tentara koalisi
Quraisy dan Yahudi Madinah berhadap-hadapan “telah siap pasukan yang akan
menyerang menghabisi riwayat kalian.” Malah membuat bertambah kuat iman kita mengurat
saraf.
Kita terus belajar,
berguru pada waktu. Membaca zaman dan pengalaman. Kita juga berbenah diri.
Menjadikan kita semakin matang dengan kedewasaan. Kita sadar kita manusia yang
tak luput dari salah dan dosa. Jangan kebal kritikan dan masukan bila memang
mereka sampaikan dengan kasih-sayang. Itu bekal berharga dari mereka saudara
kita bahkan musuh di dalam kaca sekalipun. Justru membekali kita dengan senjata
yang berharga bagi perjuangan kita selanjutnya.
Hindari emosi yang berlebihan. Sumpah serapah. Membalas mencaci. Itu
bukan mental kita. Apapun yang terjadi kita tetap melayani.
Suatu hari, Imam al
Hasan al Bashri berkata dengan wajah berseri: "Selamat datang
kebaikan yang tidak pernah aku lakukan. Aku tidak bersusah payah mengusahankan.
Tidak pula tercampuri riya yang merusak amal kebaikan". Kata yang
menyejukkan itu terucap sesaat datang seorang memberi kabar bahwa dia sedang
dalam gunjingan.
Indah kehidupan ini,
bila kita tau tentang informasi yang menggembirakan hati. Informasi yang
memberi jaminan kepada pengurangan bedan kesalahan yang telah bahkan mungkin
akan terus kita lakukan. Tapi dengan syarat tidak mengeluh tidak membalas caci.
Tidak mempertanyakan keadilan Ilahi. Tidak membalas berlebih apalagi
mendzalimi.
Coba kita dengar kisah
Imam Syafi’i, saat dia berpindah domisili dari Iraq ke salah satu negri. Mesir
yang saat itu penduduknya bermadzab Imam
Hanafi dan Maliki. Saat itu ia mengantar sepotong kain ke tukang penjahit baju.
Dipesannya ukuran baju sesuai dengan ukuran tubuhnya yang berwibawa itu. Tak
dinyana, si tukang jahit ternyata menyimpan bongkah kedengkian dan kebencian
terhadap sang Imam. Ya... alasannya sepele, karena dia si tukang jahit pengikut
Imam Maliki.
Melihat Syafi’i datang.
Tak ayal, bisikan iblislah yang merasuk memberi ide-ide busuk. “Ini
kesempatan yang tak terulang. Buat dia marah, sejadi-jadinya! lewat kain yang
akan ia serahkan. Kau bisa buat dengan ukuran yang tak sesuai dengan yang ia
pesan, kecilkan! Agar tak nyaman saat Syafi’i kenakan.” Bisikan yang terus menggelayut
dalam pikiran.
Yang benar saja? tak
lazim, aneh mengherankan. Mungkin ini satu-satunya yang pernah ada dalam
sejarah pembuatan baju yang tak pernah terpikirkan. Ia buat ukuran lengan kanan
yang sempit kecil tak menyisakan ruang longgar saat dikenakan. Dan yang lengan
baju kirinya longgar besar hamper sebesar tubuh yang mengenakan. Oh.. Aneh!
Saat Imam Syafi’i datang
hendak mengambil pesanan, beliau terperangah, kaget tak terpelikkan : "Dari
mana engkau dapatkan ide cemerlang yang belum pernah
aku bayangkan? Lengan kanan ini kecil pas sekali untuk menulis hingga aku tidak
terganggu dengan harus melipat lengan. Sementara lengan kiri yang besar dan
lebar bisa untuk tempat buku-buku bawaan".
Bukan hanya kata indah
saat imam Syafi’i didengki, dizalimi. Tapi justru imam memberi upah jahit baju
berlebih.
Seorang salafus shaleh
pernah berkata: "Kalau lah bukan karena khawatir Allah didurhakakan,
pasti aku mengharapkan semua penduduk bumi ini
melakukan kezaliman kepada diriku seorang".
Kalau badai hari ini
terus bertiup kencang. Mungkin saatnya kita harus membuat layang-layang. Agar
kita bisa menikmati sisi lain bermain indahnya layang, untuk sekedar melupakan
badai yang berhembus mengerikan! Atau kita ambil papan selancar di tengah
terpaan ombak menggunung yang menghanyutkan, menenggelamkan!
Muhammad Khumaidi
Alumnus An-Nu’aimy Jakarta
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta