Bermain Layang di Pusaran Badai Mengerikan! -->

Bermain Layang di Pusaran Badai Mengerikan!

Abu Rafah
Senin, 31 Maret 2014
IslamediaSesak dada terasa, memang! Terbakar kedua telinga, ya! Terhimpit lagi sakit hati ini merasakan dan menyaksikan. Detik demi detik hujatan dan makian terus menghantam, tiada henti berhamburan, melintasi suramnya hari-hari perjuangan. Semakin hari semakin menjadi. Bulan demi bulan, bahkan tahun kini telah berganti, tapi sajaknya tak juga terlihat akan mencerahkan dan melegakan. Sulit dan pelik makin terasa, meluluh lantakkan cita-cita yang suci lagi murni. Cita-cita yang bersih dan melayani seolah hanya cibiran bagi mereka yang sudah kadung membenci.

Sampai saat ini pun saya terus berfikir. “Kenapa?” Kanapa harus kita yang berjuang demi keadilan, kebenaran, dan demi mereka juga! justru yang terus menerima caci maki? “mungkin ini lah janji Allah, oh.. benar, kita segera ingat, ternyata Rasulullah telah menanggung beban yang lebih berat dari ini semua.” Kita tak boleh mengeluh. Tak boleh!

Mereka yang selalu menebar duri kebencian, tak juga bisa kita salahkan. Karena kita hanya mengemban apa yang sudah diamanahkan. Bukan kita yang menentukan dan memaksakan kebaikan kepada mereka. Kepada mereka kita hanya menyampaikan. Bukan memaksakan! Bila kita jumpai mereka membenci, itu memang tugas mereka mencari kesalahan. Mencari aib dan kesempatan saat kita terjatuh tergelincir kesakitan. Lalu mereka bersorak gembira kegirangan.

Kita segera yakin, ini untuk mengkokohkan kaki dan pijakan. Maka harusnya kita semakin tersadar dan bangun untuk bangkit kembali. Untuk lebih hati-hati! Bahwa kini semua mata tertuju pada kita. Pada sepasang kaki yang siap melangkah kembali menapaki jalanan yang sudah bertebar duri-duri, siap menusuk-nusuk, meremuk jemari. Kita harus selalu waspada! Melangkah mantab dan tegab. Jeli memilih jengkal jejak yang selamat dari ranjau-ranjau darat.

Letih, lelah, menggelayuti tubuh yang semakin ringkih tertatih. Siang terasa panjang melelahkan memang. Justru inilah janji Allah, Justru kita harusnya berlari dengan semangat tinggi. Kita berteladan dengan mereka saat tentara koalisi Quraisy dan Yahudi Madinah berhadap-hadapan “telah siap pasukan yang akan menyerang menghabisi riwayat kalian.” Malah membuat bertambah kuat iman kita mengurat saraf.

Kita terus belajar, berguru pada waktu. Membaca zaman dan pengalaman. Kita juga berbenah diri. Menjadikan kita semakin matang dengan kedewasaan. Kita sadar kita manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Jangan kebal kritikan dan masukan bila memang mereka sampaikan dengan kasih-sayang. Itu bekal berharga dari mereka saudara kita bahkan musuh di dalam kaca sekalipun. Justru membekali kita dengan senjata yang berharga bagi perjuangan kita selanjutnya.  Hindari emosi yang berlebihan. Sumpah serapah. Membalas mencaci. Itu bukan mental kita. Apapun yang terjadi kita tetap melayani.

Suatu hari, Imam al Hasan al Bashri berkata dengan wajah berseri: "Selamat datang kebaikan yang tidak pernah aku lakukan. Aku tidak bersusah payah mengusahankan. Tidak pula tercampuri riya yang merusak amal kebaikan". Kata yang menyejukkan itu terucap sesaat datang seorang memberi kabar bahwa dia sedang dalam gunjingan.

Indah kehidupan ini, bila kita tau tentang informasi yang menggembirakan hati. Informasi yang memberi jaminan kepada pengurangan bedan kesalahan yang telah bahkan mungkin akan terus kita lakukan. Tapi dengan syarat tidak mengeluh tidak membalas caci. Tidak mempertanyakan keadilan Ilahi. Tidak membalas berlebih apalagi mendzalimi.

Coba kita dengar kisah Imam Syafi’i, saat dia berpindah domisili dari Iraq ke salah satu negri. Mesir yang saat itu penduduknya  bermadzab Imam Hanafi dan Maliki. Saat itu ia mengantar sepotong kain ke tukang penjahit baju. Dipesannya ukuran baju sesuai dengan ukuran tubuhnya yang berwibawa itu. Tak dinyana, si tukang jahit ternyata menyimpan bongkah kedengkian dan kebencian terhadap sang Imam. Ya... alasannya sepele, karena dia si tukang jahit pengikut Imam Maliki.

Melihat Syafi’i datang. Tak ayal, bisikan iblislah yang merasuk memberi ide-ide busuk. “Ini kesempatan yang tak terulang. Buat dia marah, sejadi-jadinya! lewat kain yang akan ia serahkan. Kau bisa buat dengan ukuran yang tak sesuai dengan yang ia pesan, kecilkan! Agar tak nyaman saat Syafi’i kenakan.” Bisikan yang terus menggelayut dalam pikiran.

Yang benar saja? tak lazim, aneh mengherankan. Mungkin ini satu-satunya yang pernah ada dalam sejarah pembuatan baju yang tak pernah terpikirkan. Ia buat ukuran lengan kanan yang sempit kecil tak menyisakan ruang longgar saat dikenakan. Dan yang lengan baju kirinya longgar besar hamper sebesar tubuh yang mengenakan. Oh.. Aneh!

Saat Imam Syafi’i datang hendak mengambil pesanan, beliau terperangah, kaget tak terpelikkan : "Dari mana engkau dapatkan ide cemerlang yang belum pernah aku bayangkan? Lengan kanan ini kecil pas sekali untuk menulis hingga aku tidak terganggu dengan harus melipat lengan. Sementara lengan kiri yang besar dan lebar bisa untuk tempat buku-buku bawaan".

Bukan hanya kata indah saat imam Syafi’i didengki, dizalimi. Tapi justru imam memberi upah jahit baju berlebih.

Seorang salafus shaleh pernah berkata: "Kalau lah bukan karena khawatir Allah didurhakakan, pasti aku mengharapkan semua penduduk bumi ini melakukan kezaliman kepada diriku seorang".

Kalau badai hari ini terus bertiup kencang. Mungkin saatnya kita harus membuat layang-layang. Agar kita bisa menikmati sisi lain bermain indahnya layang, untuk sekedar melupakan badai yang berhembus mengerikan! Atau kita ambil papan selancar di tengah terpaan ombak menggunung yang menghanyutkan, menenggelamkan!




Muhammad Khumaidi
Alumnus An-Nu’aimy Jakarta
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta