- DR. Raghib
As-Sirjani (Penulis Spiritual Reading)
Membaca buku
bukanlah budaya yang populer di Indonesia. Sangat jarang kita temukan, orang
Indonesia yang begitu khusyuk membaca buku di tempat umum, taman, kampus,
sekolah ataupun transportasi publik seperti kebiasaan penduduk negara maju di
Jepang, Eropa maupun Amerika Serikat. Bahkan saya melihat dengan mata kepala sendiri,
di sebuah perpustakaan kampus ternama di kota Bandung, yang notabene surganya
buku-buku, alih-alih membaca buku, mahasiswa malah banyak yang melakukan
browsing, bermain gadget, ngobrol bahkan asyik tiduran di sana. Kita patut
miris dengan keadaan seperti ini. Bagaimana negeri kita mau maju dan
mengalahkan negara lain, jika budaya baca saja kita ogah melakoninya.
Dosen-dosen
saya mempunyai beberapa cara unik agar mahasiswanya mau membaca. Ada yang
menugaskan mahasiswa membedah buku kemudian mempresentasikannya secara
berkelompok. Ada yang menugaskan untuk mengeksplorasi buku dan bacaan lainnya
sesuai dengan tema yang ditentukan, lalu dirangkai dalam bentuk tulisan. Ada
yang menugaskan untuk membuat resume dari buku tersebut. Yang paling unik
(baca: gila), mahasiswa-mahasiswa di kelas disuruh membaca satu orang satu
paragraf, kemudian bergantian sampai jam kuliah habis. Setahu saya metode yang
terakhir digunakan oleh guru SD ataupun SMP saya beberapa tahun yang lalu.
Semua hal tersebut dilakukan untuk satu hal, agar para mahasiswa yang lebih
suka main gadget termotivasi untuk mau membaca (walaupun niatnya hanya untuk
nilai). Murabbi saya juga pernah memberikan tugas bedah buku kepada kami, agar
kami mau membaca buku. Hasil penelitian UNICEF menyebutkan bahwasanya minat
baca orang Indonesia tergolong rendah. Kalau dipresentasekan ada pada kisaran
0,01 persen, yang mengindikasikan satu buku dibaca oleh seribu orang di
Indonesia (Republika.co.id).
Mengapa kita
malas untuk membaca? Tak sadarkah kita bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan
oleh Allah SWT kepada nabi kita yang mulia, Muhammad SAW lewat perantara Jibril
as adalah perintah membaca? Ustadz Dwi Budiyanto dalam bukunya, Prophetic
Learning mengatakan: “Iqra’ merupakan perintah Allah SWT yang luar biasa. Wahyu
pertama itu tidak memerintahkan kita untuk shalat, puasa, zakat atau yang
lainnya. ‘BACALAH!’, Ia menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban
Islam. Sebuah peradaban dan pengetahuan sebagai titik awal perkembangan. Sebuah
peradaban yang dibangun melalui tradisi literasi yang kuat, yaitu tradisi yang
menempatkan baca-tulis sebagai pijakan.” Peradaban Abbasiyah bisa memimpin
dunia di abad pertengahan, kemudian Eropa bisa menaklukkan dunia di awal abad
ke-15 dan bangsa Amerika menguasai ilmu pengetahuan di segala bidang di zaman
modern ini dimulai dari kebiasaan membaca para generasinya.
“Membaca adalah
kaidah yang pertama kali Allah ajarkan.” demikian dikatakan oleh Ustadz Muhammad
Elvandi, penulis buku Syair Cinta Pejuang Damaskus dan Inilah Politikku.
“Kaidah itu bukanlah rumus ajaib umat Islam, tapi ia adalah kaidah yang juga
konstan dan universal. Ia adalah syarat kebangkitan umat manapun, untuk agama
apapun. Kaidah ini pernah mengantarkan generasi muslim zaman Abbasiyyah
memimpin peradaban, sebagaimana mengantarkan generasi berpengetahuan Eropa
menaklukan dunia, dan seperti juga mengantarkan generasi pembaca Amerika
memimpin pengetahuan.”
Mari kita
tengok bagaimana ulama terdahulu sangat mencintai kebiasaan membaca. Imam
Jahidz seorang sastrawan dan filosof muslim, meninggal karena rak bukunya jatuh
menimpa beliau yang sedang tenggelam dalam membaca. Imam Turmudzi
rahimahullaah, pemilik kitab hadis Sunan Turmudzi menghabiskan umurnya untuk
mengumpulkan hadits Rasulullah SAW, sampai mata beliau buta karena kebanyakan
membaca. Sahib Ibnu Abbad menolak menjadi perdana menteri Samarkand, tersebab
merasa kerepotan untuk memindahkan buku-bukunya ke Samarkand, dibutuhkan
sekitar 400 ekor unta untuk memboyong habis semua buku-bukunya tersebut.
Ibnul Jauzi
rahimahullaah berkata: “Selama menuntut ilmu, aku telah membaca buku sebanyak
20.000 jilid buku. Dengan buku aku dapat mengetahui sejarah para ulama salaf,
cita-cita mereka yang tinggi, hafalan mereka yang luar biasa, ketekunan ibadah
mereka dan ilmu-ilmi mereka yang menakjubkan. Semua itu jelas tak mungkin
diketahui oleh orang-orang yang malas membaca.”
Al-Qathbu
Al-Yunini bercerita mengenai Imam Nawawi rahimahullaah, pengarang Riyadush Shalihin,
“An-Nawawi adalah orang yang tidak mau membuang-buang waktu, baik siang maupun
malam. Ia selalu menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Bahkan, saat sedang dalam
perjalanan pun ia tetap sibuk menghafal dan membaca buku.” Abu Bakar Al-Anbari
menjelang kematiannya berkata kepada dokternya, “aku membaca seratus ribu
lembar halaman buku setiap minggu.” Ibnu Katsir menuturkan kepada Adz-Dzahabi,
“aku selalu membaca dan menulis di malam hari di bawah cahaya lampu yang lemah
sinarnya, sehingga mengakibatkan mataku buta.”
Bercermin dari
kisah-kisah tersebut, bagaimana dengan kondisi kita. Sudah toko buku sedikit,
uang tak banyak, jumlah buku yang berkualitas bisa dihitung jari, minat baca
rendah, ke perpustakaan malas, bagaimana mau membaca banyak buku? Bagaimana mau
memajukan Indonesia? Bagaimana mau memajukan peradaban Islam?
Layaknya
pekerjaan lainnya, membaca buku juga harus kita niatkan hanya untuk Allah SWT,
seperti yang dituliskan oleh DR. Muhammad Musa Asy-Syarif dalam bukunya Smart
Reading for Muslim, “membaca itu amal perbuatan yang harus selalu berada di
jalan Allah.” Dengan membaca kita bisa menambah ilmu, menambah wawasan dan
pemahaman, mengetahui berbagai permasalahan yang mengancam dunia Islam,
meningkatkan pengetahuan syari’at, memberikan inspirasi dan motivasi,
meningkatkan keimanan kepada Allah SWT dan lain-lain.
Mudah-mudahan
Allah yang Maha Pemurah, Penyayang lagi Bijaksana berkenan untuk memberikan
kemudahan, kekuatan dan keistiqomahan kepada kita dalam membaca buku.
Pertanyaannya,
sudahkah anda membaca buku hari ini?
Fais al-Fatih.
Mahasiswa Magister Informatika ITB
Anggota Kelompok Studi Palestina