Islamedia - Tangannya terlihat kasar karena kerja yang dilakukannya. Rutinitas
menumbuk gandum dan kerja rumah tangga lainnyapun menghabiskan banyak
energi Fatimah ra. Sang suami, menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi
Thalib ra. banyak menghabiskan waktu di medan jihad. Sayangnya tak
banyak harta yang tertinggal hingga aksi penghematan dan kerja tanpa
khadim/mat harus tetap dijalani.
Namun, semua yang dijalani itu tak dihadapi dengan pesimis. Sang anak,
yaitu Hasan, Husein dan Ali Zainal Abidin tumbuh dalam naungan iman dan
ilmu. Terus berkembang dalam iklim yang selalu menonjolkan amal dan
pengorbanan. Kisah keindahan cucu-cucu Rasulullah Saw merajut benang
kehidupan bertebaran dalam ingatan banyak kaum muslim.
Semuanya berawal dari kedua orang tuanya. Ali bin Abi Thalib ra. adalah
figur yang menundukkan hati Rasul hingga menjodohkannya dengan sang
anak. Kecerdasan berpadu dengan ketinggian iman dan Allah SWT letakkan
pada jasad yang sehat dan trampil melahirkan seorang Ali ra. Tak hanya
itu, keistimewaan kalamnya mirip dengan Rasul saw. Sedikit bicara, penuh
bobot dan sangat berkesan.
Sang ibu, Fatimah ra, adalah seorang yang sangat suka berkorban. Kisah
kalung Fatimah hanyalah sedikit yang beredar di tengah masyarakat.
Tatkala Rasul hendak wafat, tangisan kesedihan yang bergelayut di
wajahnya berubah menjadi cerah, tatkala Rasulullah SAW mengatakan,
“Mereka yang paling suka berkorbanlah yang paling cepat menyusulku”.
Dan hal itu terbukti di kemudian hari. Fatimah ra, mendahului yang lain
menyusul sang Ayah. Tertolaklah klaim sebagian kelompok yang mengatakan
keluarga Ahlul Bait adalah milik mereka. Sementara Ali ra dan Fatimah ra
serta keluarganya tak pernah menyatakan demikian.
Sesungguhnya keluarga Ali ra adalah salah satu potret terjelas bagaimana keluarga aktivis/haroki (al usrah al harakiy)
memainkan perannya dalam kehidupan. Kisah keluarga Umar ra, Utsman ra,
keluarga Abu Ubaidillah dan keluarga Yasir serta keluarga Hanzholah
merupakan potret lain yang mesti kita jadikan cermin dalam mewujudkan al
usroh al harakiy (keluarga aktivis/haroki) pada masa kini.
Kata keluarga haraki merujuk pada karakteristik harokah (gerakan) yang
menjadi ciri khasnya. Perbedaan dengan keluarga muslim umumnya terletak
pada tingkat komitmen pada dakwah dan amar makruf nahi munkar yang
menjadi ciri khasnya. Keluarga haraki, secara singkat dapat
didefinisikan sebagai keluarga yang; mampu memerankan tak hanya sebagai
pelaksana ajaran Islam (pasif) tapi juga penjaga, pembela dan penyebar
nilai-nilai Islam dalam masyarakat.
Namun definisi di atas hendaknya tidak menjebak kita gambar verbal
tentang tipikal seorang dai atau aktivis yang terus pentas di atas
panggung dan mimbar dakwah. Makna hakiki seorang dai terekam dalam kisah
Hasan Al-Bana dengan Abas As-Sisi, seorang sahabatnya. Sore itu Abbas
As-Sisi menangis karena mendengar hari itu Turkiztan di kuasai Rusia.
Sementara ia terkurung dalam selnya tak dapat membantu. “Engkau telah mulai memahami hakikat dakwah wahai saudaraku!"
tegas Hasan Al-Bana pada Abas As-Sisi kala itu. Keimanan yang
mendalamlah yang menjadi dasar aksi dakwah hingga melahirkan kesedihan
tak terkira tatkala mendengar atau menyaksikan kemaksiatan, kemungkaran,
kezaliman dilakukan oleh manusia.
Sifat seperti inilah yang Allah SWT gambarkan menjadi karakter khas Rasul, “Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselama tan
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS At Taubah: 128)
Keluarga haroki adalah keluarga yang seluruh anggotanya adalah
orang-orang yang memiliki komitmen pada dakwah (Islam dalam wujud yang
aktif dan dinamis). Sekali lagi mereka tak harus selalu atau bahkan
(mungkin) malah jarang yang bergelar “Singa Panggung” atau “Singa
Podium”. Karena medan dakwah yang hakiki bukanlah di mimbar atau di
masjid namun pada seluruh lapangan kehidupan.
Jika digambarkan, maka wujud dakwah itu muncul dalam tutur katanya,
sorot kelembutan pada matanya, keihsanan dalam amal dan kerjanya atau
pada tingkat pengorbanannva yang jauh di atas rata-rata. Mereka juga
rela menyisihkan 10 bahkan 20 persen dari penghasilannya untuk
dialokasikan bagi kegiatan dakwah. Bahkan pada saat kegiatan tertentu,
mereka rela menyerahkan seluruh miliknya untuk dakwah.
Bisa jadi keluarga haraki adalah mereka yang sang ayah sehari-hari sibuk
dengan kerja profesional namun memiliki komitmen menyisihkan waktu,
tenaga dan dana untuk kemajuan dakwah. Atau mereka para ibu yang membuat
program silaturrahim ke tetangga untuk memberi hadiah dalam rangka
menumbuhkan minat mereka pada Islam dan dakwah.
Karena dakwah dan kecintaan pada amar makruf tak membutuhkan banyak
syarat dan ketrampilan. namun hanya membutuhkan iman yang mendalam (al-imanul amiiq) yang melahirkan energi ruhiyah untuk mencinta, berkorban dan beramal untuk kejayaan Islam dan umatnya.
Kepentingan menghadirkan kembali keluarga haraki di masa kini setidaknya
bisa ditinjau dari dua aspek; internal dan eksternal. Dari sisi
internal kebutuhan dan mendesaknya sebuah program untuk mewujudkan
keluarga haraki memiliki beberapa alasan:
Pertama, Islam secara menyeluruh. Karakteristik seorang muslim mengharuskan kita, "Masuk kedalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”.
(QS Al Baqarah: 208). Artinya kehidupan keluarga kita seperti juga
kehidupan pribadi kita mestilah mencerminkan nilai-nilai Islam. Di
masjid, di tempat kerja dan yang pertama di rumah identitas keislaman
kita (yang zahir maupun yang batin) mestilah nampak. Dan tujuan itu
sulit tercapai manakala tempat bertolak paling awal (keluarga) tidak
mendukung. Karena dikeluargalah benih-benih keimanan disemai dan
ditumbuhkan.
Kedua, kehidupan penuh dengan semangat haroki. Tantangan akibat
globalisasi modern, maksiat hanya dapat dihadapi dan ditundukkan dengan
menjalani hidup penuh dengan semangat berharaki. lbarat gaya tarik
(gravitasi), membesarnya jenis dan kualitas maksiat, turut memperbesar
tarikan yang dihasilkannya.
Dan sunnatullah di alam mengajarkan bahwa gaya membesarnya gravitasi
kemaksiatan mestilah diimbangi dengan membesarnya gaya tarik (gravitasi)
kebaikan. Artinya kuantitas dan kualitas amal kabajikan mesti
ditingkatkan. Dan ini bermakna amal yang dilakukan memiliki dimensi
harakiyah.
Ketiga, penegakan syari'ah islam hanya sempurna manakala
institusi pendukungnya juga tegak. Upaya penegakan isntitusi pendukung
itu dilakukan dengan kualitas amal haraki. Sedang dari aspek eksternal,
alasan menghadirkan kembali keluarga harakiyah dikarenakan dua alasan: Pertama, dunia yang makin diliputi oleh kegelapan kian membutuhkan uluran rahmat dari umat.
Dan penyebaran rahmat itu hanya terjadi manakala terdapat gerak dakwah
yang kokoh dari umat dan dari keluarga. Adalah sebuah kezaliman tatkala
kita melihat malapetaka (dunia yang dilanda kejahiliyahan) dan tak
mengulurkan `tangan' untuk menolongnya. Kedua, tantangan dari
jahiliyah internasional pada umat Islam hanya dapat diatasi dengan
membangun basis pertahanan dan pengkaderan yang kokoh dan basis itu ada
dan dimulai dari keluarga. Wallahua'lam

Ustadz Cepy Pramana