Islamedia - Assalamu'alaikum ustadz... saya mau bertanya tentang hukum
tatto, kemudian bagi
mereka yang terlanjur bertatto kemudian mendapatkan hidayah islam,
apakah kemudian harus
menghilangkan tattonya? karena jika harus menghilangkan tatto memakai laser
biayanya cukup mahal, tapi jika tidak dihilangkan apakah ibadah2 mereka,
seperti sholat sah hukumnya? Sukron (Nury)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah
wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:
Manusia, biasanya membuat tato dengan berbagai alasan,
seperti: keindahan (seni), atau supaya terlihat jantan dan gahar.
Syariat telah mengharamkan tato karena tiga alasan:
Pertama, merubah ciptaan Allah Ta’ala secara permanen. Tubuh yang
tadinya mulus diubahnya menjadi bercorak dan bergambar secara tetap. Allah
Ta’ala dan RasulNya mengecam hal ini.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ
وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ
خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ
خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong
telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan
aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain
Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An Nisa (4): 119)
Memperindah diri dengan cara merubah ciptaan Allah Ta’ala
–termasuk tato- secara khusus telah dilaknat oleh Allah Ta’ala. Dari Abdullah bin Mas’ud
Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ
وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ
الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى
“Allah melaknat wanita
pembuat tato dan yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan
tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” [1]
Kedua, membuat tato biasanya
dengan cara yang menyakitkan yaitu dengan melukai tubuh dengan jarum dan
membentuk gambar yang diinginkan dengan jarum itu.
Hal ini terlarang, karena
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan. (QS.
Al Baqarah (2): 195)
Juga disebutkan dalam hadits:
عنْ أَبي سَعيدٍ سَعدِ بنِ مَالِك بنِ
سِنَانٍ الخُدريِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهٍِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ)
Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri Radhiallahu
‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jangan merusak (mencelakakan) orang lain dan diri sendiri.” (HR. Ibnu
Majah dan Ahmad)[2]
Maka, membuat tato termasuk aktifitas melukai diri sendiri
secara sengaja yang terlarang.
Ketiga, nash-nash yang ada menyebutkan dengan kata “La’anallah
(Allah melaknat)” untuk orang yang
membuatkan tato dan yang dibuatkan
tato, artinya adalah haram dan berdosa
Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh
menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi
pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia
juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan,
maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328.
Maktabah Al Misykah)
Imam Ibnu Baththal
memberikan syarah (penjelasan) terhadap hadits “Allah melaknat pembuat tato
dan orang yang dibuatkan tato”:
لأنهما تعاونا على تغيير خلق الله ،
وفيه دليل أن من أعان على معصية ، فهو شريك فى الأثم
“Karena keduanya saling
tolong menolong dalam merubah ciptaan Allah, dan hadits ini merupakan dalil
bahwa siapa saja yang menolong perbuatan maksiat, maka dia ikut serta dalam
dosanya.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 9/174. Maktabah Ar
Rusyd)
.
Wajib Menghilangkan Jika Tidak Membahayakan
Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato,
tetapi kesulitan karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al Khathib
Asy Syarbini mengatakan:
وتجب
إزالته مالم يخف ضرراً يبيح التيمم، فإن خاف ذلك لم تجب إزالته ولا إثم عليه بعد
التوبة
“Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakutkan
adanya bahaya pada dirinya, dan dibolehkan baginya tayammum, jika dia takutkan
hal itu (yakni bahaya menghilangkan tato, pen), maka tidak wajib
menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah tobatnya.” (Imam Muhammad
Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul Bari,
10/372)
Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan dalam fatwanya:
فإنه
يلزمه إزالته بعد علمه بالتحريم ، لكن إذا كان في إزالته مشقة أو مضرة فإنه يكفيه
التوبة والاستغفار ، ولا يضره بقاؤه في جسمه
“Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia
mengetahui keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami
kesulitan atau mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan
istighfar, dan tidak mengapa sisa tato yang ada pada tubuhnya.” (Majmu’
Fatawa wal Maqalat Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218)
Maka, wajib baginya menghilangkan tatonya itu, sebaiknya
dihilangkan secara cicil saja
jikalau memang dia takut merusak dan
membuat luka yang banyak pada tubuhnya. Tetapi, jika itu juga sulit, maka
hendaknya dia bertobat (menyesal, membenci, dan tidak mengulangi lagi), serta
banyak-banyak mohon ampun kepada Allah Ta’ala.
Menurut pendapat yang
benar, tato tidaklah menghalangi wudhu atau mandi janabah, sebab tato tidak
melapisi kulit, dia bukan cat dan bukan cutek yang melapisi dan menutupi kulit,
melainkan meresap ke dalamnya. Sehingga,
tidak perlu ada kekhawatiran untuk wudhu dan shalat, bagi orang yang memiliki
tato dan sulit dihilangkan itu.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyiina Muhamadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain. Wallahu A’lam
Ustadz Farid Nu'man
[1] HR. Bukhari No. 4604,
5587, Muslim No. 2125, Ibnu Hibban No. 5504, Ad Darimi No. 2647, Abu Ya’la No.
5141
[2] Imam Ibnu
Majah dalam Sunannya No. 2340, dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit, dan No.
2341, dari Ibnu Abbas
-
Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra dari
beberap jalan: dari Abu Sa’id Al Khudri, No. 11166, dari Amru bin Yahya, dari
ayahnya, No. 11167, 11658, 20231, kata
Imam Al Baihaqi: diriwayatkan secara mursal, tetapi kami meriwayatkan
dalam Ash Shulhu secara maushuul (bersambung sanadnya). Dari ‘Ubadah in Ash Shaamit No. 11657, 20230. Lihat juga As Sunan Ash
Shaghir No. 1630, dari Amru bin Yahya dari ayahnya secara mursal.
-
Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 2865, dari Ibnu
Abbas
-
Imam Ath Thabarani meriwayatkannya dalam Al Mu’jam
Al Kabir No. 1387, dari Tsa’labah bin Malik, juga No. 11576, 11806, dari Ibnu Abbas. Juga
dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 268, 1033, dari ‘Aisyah, juga No. 3777,
dari Ibnu Abbas, juga No. 5193, dari Jabir bin Abdullah
-
Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 3/77, dari
Abu Sa’id Al Khudri, juga 4/277, dari ‘Aisyah
-
Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No.
1300, dari Tsa’labah bin Malik
-
Imam Malik dalam Al Muwaththa’ riwayat Yahya Al
Laitsi No. 1429
-
Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya yang disusun
oleh As Sindi No. 575
Syaikh
Muhammad bin Darwisy bin Muhammad berkata:
رواه
مالك مرسلا ورواه أحمد وابن ماجة وغيرهما بسند فيه جابر الجعفي وهو ضعيف وأخرجه
ابن أبي شيبة والدارقطني بسند آخر وله طرق فهو حسن
Diriwayatkan oleh Malik secara mursal,
Ibnu Majah, dan selainnya, dengan sanad yang di dalamnya terdapat Jabir Al
Ju’fi dan dia seorang yang lemah. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ad
Daruquthni dengan sanad yang lain dan memiliki banyak jalan, maka hadits ini
hasan. (Asnal Mathalib, Hal. 324. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata:
حسن،
جابر- وهو ابن يزيد الجعفي، وإن كان ضعيفاً- قد توبع، وباقي رجاله ثقات رجال
الصحيح
Hasan, Jabir –dia adalah Ibnu Zaid
Al Ju’fi- kalau pun dia lemah telah ada yang menguatkannya, dan para perawi
lainnya semuanya adalah periwayat hadits shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad
No. 2865)
Sementara Syaikh Al Albani
Rahimahullah menshahihkannya di berbagai kitabnya, seperti Irwa’ul
Ghalil, As Silsilah Ash Shahihah, Ghayatul Maram,Takhrij Musykilat Al Faqr, dll.