Islamedia - Perwakilan dari Amnesty International di Jenewa,
Peter Splinter (10/9/2013) menerangkan ada 1.089 orang yang tewas dalam
periode 14 hingga 18 Agustus saat pembubaran paksa aksi demonstrasi
damai di Rabia Al Adawiya dan di An Nahda.
Menurutnya, banyak dari
korban meninggal akibat serangan pasukan Militer Mesir yang menggunakan
kekuatan mematikan berlebihan, tidak proporsional dan tidak bisa
ditolerir.
Organisasi HAM itu menuntut adanya investigasi independen terkait
peristiwa pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran kebebasan berekspresi
dan berkumpul di Mesir. Selain itu, lembaga itu juga menganggap bahwa
penahanan Presiden Mohamed Morsi Juli lalu telah memunculkan gelombang
kekerasan politik yang besar, dan pasukan keamanan gagal mencegah
serangan kalangan non Muslim.
Sementara Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay kembali menyerukan pentingnya digelar penyelidikan independen atas pembunuhan di Mesir, dan mengirim tim investigasi untuk menilai situasi.
"Cara untuk mencapai stabilitas di Mesir tergantung pada kemampuannya menetapkan aturan hukum secara komprehensif yang diakui oleh seluruh warga Mesir, terlepas dari pandangan politik mereka, gender, agama atau status, sebab merekalah yang memiliki kepentingan terhadap masa depan Mesir," jelasnya.
Selain itu, empat NGO HAM di Mesir juga mengecam pengadilan sipil di pengadilan militer atas tuduhan pelanggaran serangan terhadap tentara.
Mereka menuntut agar pemerintah Mesir tidak mengadili kalangan sipil di pengadilan militer.
Seperti diberitakan, pengadilan militer Mesir telah memutuskan (10/9/2013) untuk menghukum anggota Ikhwanul Muslimin dengan penjara seumur hidup, dan tiga orang lainnya dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun.
Sedangkan 48 orang IM lainnya dijatuhi hukuman penjara mulai dari lima sampai sepuluh tahun atas tuduhan serangan terhadap tentara.[LNA/Tajuk.co]