Islamedia - Hati-hati menyebar berita. Hati-hati mendengar berita.
Berita dalam kehidupan masyarakat saat ini telah dikemas dalam
berbagai produk, dalam berbagai variasi dan corak yang sangat luas dan
terus berkembang. Hal yang penting mendapat perhatian adalah, berita
tidak boleh disuguhkan dengan prinsip dan cara-cara yang melanggar
etika. Di antara etika dalam kaitannya dengan informasi adalah prinsip
keadilan, kebenaran, kejujuran, serta ketepatan. Berita harus
disampaikan secara benar, tidak mengandung fitnah atau hal-hal yang
bertentangan dengan kebenaran.
Allah telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil” (Al Ma’idah: 8).
Berita harus dikemas secara adil, sebagaimana Al Qur’an telah memerintahkan agar berlaku adil:
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada taqwa” (Al Ma’idah: 8).
Berita harus disampaikan secara jujur, tidak mengandung kebohongan
atau hal yang dibuat-buat dan diada-adakan, semata-mata karena ingin
membuat sensasi dan meraih keuntungan pasar. Rasulullah saw telah
bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan
itu menghantarkan kepada surga. Seseorang membiasakan dirinya dengan
kejujuran sehingga tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Sedangkan dusta membawa kepada keburukan dan keburukan menghantarkan
kepada neraka. Seseorang membiasakan diri dengan dusta sehingga tercatat
di sisi Allah sebagai pendusta” (riwayat Bukhari dan Muslim).
Islam sangat memperhatikan nilai berita, dan sejak dahulu dikenal
memiliki tradisi ilmiah yang mengagumkan dalam penyuguhan informasi.
Islam mengenal kedisiplinan dalam jalur riwayat, yaikni dengan adanya syuruthur rawi dan amanatun naqli. Rawi, yaitu orang yang membawa berita atau informasi, dikenakan beberapa syarat, seperti al ‘adalah (berkelakuan baik), adh dhabth (kuat ingatan), salim minasy syudzudz wal ‘illah (tidak ada keanehan dan kecacatan dalam beritanya).
Demikian pula tradsisi amanatun naqli yakni sebentuk
kejujuran ilmiah dalam hal mencatat pendapat atau interpretasi yang
dikemukakan oleh seorang mujtahid. Dengan tradisi ilmiah seperti ini
akan mempersempit kemungkinan manipulasi pendapat, sebab setiap pendapat
dapat dilacak sampai sumber asalnya.
Tradisi ilmiah ini akan menjauhkan diri dari qala wa qila (katanya-katanya)
dalam menyerap dan menerima berita, tidak sebagaimana banyak berita
yang berkembang di media massa pada umumnya yang tidak memiliki
kedisiplinan ilmiah dalam pengambilan data.
Penilaian atas kualitas pembawa berita merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban ilmiah atas validitas sebuah berita. Demikian pula,
kebersambungan sanad periwayatan, memungkinkan berita terjaga
keasliannya, bukan dengan perkiraan atau rekayasa bahasa. Kita mengenal
ada hadis dengan derajat sahih, karena diriwayatkan oleh
orang-orang yang dipercaya, baik akhlaqnya, kuat ingatannya, juga
bersambung jalur periwayatannya. Kita mengenal hadits dengan derajat hasan karena diriwayatkan oleh orang yang kurang kuat ingatannya. Juga ditemukan istilah hadits dhaif atau lemah karena diriwayatkan oleh orang yang tidak baik perilakunya, atau memiliki catatan dalam akhlaq.
Inilah prinsip ilmiah dalam penilaian berita. Kita bisa melacak dari
sejarah kenabian, bahwa pernah terjadi informasi bohong yang
mendiskreditkan Ummul Mukminin Aisyah Ra. Pada waktu itu, media
penyebaran informasi hanyalah dari mulut ke mulut, dan belum berkembang
teknologi informasi sebagaimana hari ini. Kita bisa membayangkan
bagaimana kacau dan keruhnya suasana jika berita bohong semacam itu
terekspos besar-besaran di mediua massa. Pengaruhnya akan sangat hebat
di masyarakat. Allah sampai memberikan teguran atas peristiwa tersebut:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu” (An Nur:11).
Berita bohong tersebut dibawa oleh Abdullah bin Ubay bin Salul,
seorang tokoh munafik, untuk menjatuhkan wibawa keluarga Nabi Allah
dengan cara-cara yang amat hina. Akan tetapi justru karena adanya berita
bohong tersebut pada akhirnya akan menyingkap hakikat kesucian dan
kemuliaan Aisyah di hadapan Allah, maka berita bohong itupun berbalik
menjadi sebuah kebaikan. Akan tetapi Allah menegur sikap beberapa
kalangan kaum muslimin yang mendapatkan berita bohong tersebut:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan tidak berprasangka baik terhadap diri
mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita
bohong yang nyata” (An Nur: 12).
“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong
itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci
Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar” (An Nur: 16).
Ayat-ayat di atas memberikan sebuah tuntunan perilaku bagi
masyarakat, apabila menerima sebuah berita hendaklah mereka kritis dan
tidak terjebak dalam sensasi murahan. Pada contoh kisah berita bohong
tersebut, ada banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan. Pertama, adanya
kenyataan bahwa orang-orang dengan kebaikan sekaliber Ummul Mukminin
Aisyah saja bisa mendapatkan fitnah dengan kebohongan yang sangat keji.
Artinya, pemberitaan menyangkut pibadi seseorang bisa jadi merupakan
pembunuhan karakter yang dilakukan dan direkayasa oleh kelompok tertentu
untuk maksud-maksud tertentu.
Kedua, bahwa masyarakat di zaman Nabi juga memiliki peluang untuk
terpedaya oleh adanya berita. Perhatikan teguran keras dari Allah
berikut:
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut
ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikitpun juga, dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja.
Padahal itu di sisi Allah adalah besar” (An Nur: 15).
Ayat di atas memberikan teguran dan sekaligus tuntunan moral yang
amat agung tentang bagaimana mensikapi pemberitaan. Masyarakat harus
cermat menangkap berita, dan tidak cepat menyebarluaskan berita hanya
karena ada sensasi di dalamnya, tanpa melakukan klarifikasi terhadap apa
yang sesungguhnya terjadi. Realitas masyarakat kita dewasa ini, opini
dan persepsi mereka dibentuk oleh media massa, sementara sajian dalam
media massa tersebut belum bisa dipastikan validitasnya.
Apabila berita bohong, gosip, isu dan lain sebagainya yang tidak
jelas serta tidak memiliki sandaran kebenaran, disebarkan lewat media
informasi cetak maupun elektronik, akan punya peluang memakan korban
yang banyak untuk saat ini. Masyarakat menelan berita yang didapatkan
dari berbagai media, untuk kemudian membentuk persepsi, opini bahkan
sikap dan perilakunya. Jika tidak berhati-hati, akan mudah terjebak ke
dalam tuduhan kepada seseorang atau sekelompok orang padahal berita
tersebut penuh kebohongan.
Maka mari berhati-hati…. Banyak berita simpang siur di sekitar kita,
tentang apa saja. Tentang artis, tentang selebritis, tentang politisi,
tentang pejabat….
Ternyata berkembang pula berita sekitar dakwah, tentang qiyadah,
tentang keluarga qiyadah, dan berbagai sepak terjang mereka. Berkembang
pula berita tentang rapat, pertemuan, musyawarah yang semestinya tidak
boleh beredar, karena bukan konsumsi publik.
Jika tidak berhati-hati, akan membawa dampak keterpecahan kesatuan
dan kohesivitas dalam dakwah. Bisa memunculkan kegoyahan kepercayaan
kepada qiyadah, dan kepada sesama aktivis dakwah. Tanpa harus
mencari-cari siapa yang bersalah, namun semua pihak harus melakukan
introspeksi agar lebih proporsional dan bijak dalam mensikapi sebuah
berita.
Karena, berita bisa juga bohong……
Cahyadi Takariawan