Islamedia - "Ukhti, Mengapa Belum Menikah?" kalimat ini sering ditujukan ke saya saat belum menikah. Kini setelah menikah, kalimat itu akhirnya berhasil lepas dari diriku dan sebaliknya, saya yang terkadang melontarkan kalimat tersebut ke pihak lain. Salah satu yang menimpa sahabat terbaik saya.
Usianya tidak muda lagi, wajahnya juga sudah mulai memudar guratan-guratan kecantikanya. Namun belum juga ada kabar bawa dirinya menikah.
Demikianlah apa yang dialami sahabat terbaik saya bernama Sari (bukan nama sebenarnya). Sari lahir dari sebuah keluarga yang penuh dengan kekurangan dan juga kondisi fisik yang kurang normal.
Masa kecil yang penuh dengan keterbatasan, dengan perjuangan dan pengorbanan yang sangat tinggi, Sari berhasil menamatkan kuliahnya di bidang pendidikan.
Kini Sari tinggal seorang diri di sebuah kamar kos di pinggiran Timur Jakarta, dengan profesi sebagai guru Matematika di salah satu SMP Negeri.
Selain menjadi guru, Sari juga aktif dalam kegiatan sosial dan keIslaman di dekat tempat kosnya.
Demikianlah apa yang dialami sahabat terbaik saya bernama Sari (bukan nama sebenarnya). Sari lahir dari sebuah keluarga yang penuh dengan kekurangan dan juga kondisi fisik yang kurang normal.
Masa kecil yang penuh dengan keterbatasan, dengan perjuangan dan pengorbanan yang sangat tinggi, Sari berhasil menamatkan kuliahnya di bidang pendidikan.
Kini Sari tinggal seorang diri di sebuah kamar kos di pinggiran Timur Jakarta, dengan profesi sebagai guru Matematika di salah satu SMP Negeri.
Selain menjadi guru, Sari juga aktif dalam kegiatan sosial dan keIslaman di dekat tempat kosnya.
Yang masih belum sempurna dalam dirinya adalah seorang pendamping hidup, seorang Suami yang diharapkanya menjadi Imam.
Tidak sedikit teman-teman dan ibu-ibu pengajian menanyakanya "Kapan undangan dari Sari?". Undangan pernikahan tentunya yang dimaksud.
Dengan ketabahanya, Sari menjawab "Mohon doanya saja yah" dengan disertai senyumanya yang khas.
Dalam sebuah pertemuan pekanan di Ahad sore itu, akhirnya Sari membuka lebar-lebar mengapa dirinya tidak juga menikah sementara usianya sudah tidak muda lagi.
Sari dengan sangat terpaksa akhirnya mengatakan ini, setelah dengan sangat seringnya setiap pertemuan pekanan, Sari selalu di tanya oleh teman teman nya perihal pernikahan, termasuk saya juga sering menanyakanya dengan nada bercanda.
"Ukti Fillah, saya sangat senang sekali atas perhatian ukhti semua yang dengan tidak lupa dalam setiap pekanya menanyakan kapan menikah. Sebuah pertanyaan kasih sayang, namun terkadang saya juga merasa marah, mengapa harus saya yang selalu menjadi object pertanyaan ini.
Ketahuilah Ukhti semuanya, demi Allah sudah lama saya ingin menikah jauh sebelum Ukhti semuanya menanyakan ini . Bukan sampai dalam tataran ingin, saya juga sudah berikhtiar semaksimal mungkin agar bisa menikah. Namun ternyata Allah belum juga mengirimkan pendamping bagi saya.
Sudah lebih dari 10 kali taaruf saya lalui dan tak ada 1 pun yang berlanjut. Bahkan ada yang baru berjumpa tidak lebih dari 5 menit, sang Ikhwan izin untuk tidak melanjutkan proses taaruf. Ikhwan ini hadir selama 5 menit hanya untuk menyampaikan permohonan maaf tidak dapat melanjutkan, Ikhwan ini memaparkan bahwa alasanya karena saya mengidap kanker rahim.
Kangker Rahim, itulah penyakit yang ada dalam diri ini, sudah bertahun tahun saya rahasiakan ini kepada Ukti sekalian. Sudah sering saya menjalani pengobatan dan therapy namun penyakit ini tak juga pergi dari diri ini. Penyakit ini pasti saya sampaikan saat ta'aruf dan seketika itu pula hampir semua Ikhwan menghentikan proses ta'arufnya.
Saya menyadari bahwa setiap Ikhwan membutuhkan seorang pendamping yang baik dari segi akhlak maupun fisik.
Saya tidak dapat menyalahkan Ikhwan yang kemudian menolak saya dengan kondisi saya saat ini, seorang perempuan tua yang berpenyakit.
Ukhti Fillah,
Demi Allah tak ada terbesit dalam fikiranku untuk memilih milih Ikhwan yang hadir, dan juga sama sekali tak ada dalam kamus diriku bahwa saya ingin menunda nikah.
Jadi mohon maaf sekali lagi, apabila pertanyaan Ukhti semua yang selalu diberikan ke saya selalu saya jawab dengan ucapan "mohon doanya"
Sejenak setelah Sari akan melanjutkan perkataanya, saya langsung angkat tangan dan meminta Sari untuk tidak melanjutkanya. Air mata yang ada dikelopak mataku seakan tak dapat terbendung lagi, akhirnya tangis saya keluar dan juga tangis teman teman lainya.
Sari, saya mohon maaf atas pertanyaan pertanyaan yang kadang malah bernada meledek tentang pernikahan. Tanpa sadar saya telah mengiris iris hati Sari, saya mohon maaf Sari.
Sejak kejadian itu, akhirnya saya mencoba menahan diri untuk lebih berhati hati lagi dalam berujar. Boleh jadi niat yang baik akan menyakiti, apabila kita tidak faham secara menyeluruh dari pihak yang akan kita komentari.
Ummu Hasan