Hukum Bersedekah Atas Nama Orang Tua Yang Sudah Wafat
Islamedia - Assalamu
‘Alaikum Ustadz, apakah sedekah yang kita lakukan atas nama orang tua kita yang
sudah meninggal dan diniatkan pahalanya untuk almarhum, apakah sampai pahala
sedekah tersebut kepadanya? Apakah ada dalilnya? JAzakumullah Khairan. Wassalam. (Agung,
Masjid Baitul Ihsan – 085257882xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa
Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu wa Salamu ‘Ala
Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:
Bersedekah
yang diniatkan kebaikan pahalanya untuk orang tua yang sudah wafat, telah
menjadi keyakinan dan ijma’ (aklamasi) seluruh para Salafush Shalih, dan
imam kaum muslimin dari zaman ke zaman bahwa hal itu boleh, dan sampai
pahalanya kepada mayit. Tak satu pun ulama yang mengingkarinya.
Sedangkan, ijma’ merupakan salah satu sumber hukum Islam, setelah Al
Quran dan As Sunnah.
Berikut
dalil-dalil shahih ‘sampainya pahala sedekah ke orang tua
yang sudah wafat’:
Hadits
1:
Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ
أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ
“Bahwa ada seorang
laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya ayahku sudah wafat, dia meninggalkan harta dan belum
diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal itu akan
menghapuskan kesalahannya? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawa: Na’am (ya).” (HR. Muslim No. 1630, Ibnu Majah No.
2716, An Nasa’i No. 3652, Ahmad No. 8486)
Imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab
Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah
kepada Mayit).
Imam
An Nasa’i dalam kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dalam Bab
Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit)
Hadits
2:
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ
تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ
نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
“Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya ibuku wafat secara mendadak, aku
kira dia punya wasiat untuk sedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku
bersedekah untuknya? Beliau menjawab: “Na’am (ya), sedekahlah untuknya.”
(HR. Bukhari No. 2609, 1322, Muslim No. 1004, Malik No. 1451, hadits ini
menurut lafaz Imam bukhari)
Imam
Bukhari dalam kitab Shahih-nya memasukkan hadits ini dalam Bab Maa
Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur
‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba,
bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit).
Imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya memasukkan hadits ini dalam Bab
Wushul tsawab Ash Shadaqah ‘anil Mayyit Ilaih. (Sampainya pahala
sedekah dari Mayit kepada yang Bersedekah)
Hadits
3:
Dari
Sa’ad bin ‘Ubadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قلت يا
رسول الله إن أمي ماتت أفأتصدق عنها قال نعم قلت فأي الصدقة أفضل قال سقي الماء .
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, apakah aku bersedekah untuknya? Beliau
menjawab: Ya. Aku berkata: “Sedekah apa yang paling afdhal?” Beliau menjawab:
“Mengalirkan air.” (HR. An Nasa’i No. 3664, Ibnu Majah No. 3684)
Hadits
ini sanadnya shahih. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih wa
Dhaif Sunan An Nasa’i No. 3664, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah
No. 3684)
Dan
masih banyak hadits lainnya.
Semua
hadits ini adalah shahih. Penjudulan nama Bab yang dibuat oleh para imam ini
sudah menunjukkan kebolehan bersedekah untuk mayit, serta sampainya
manfaat pahala untuk mayit dan juga pahala bagi yang bersedekah. Tak ada yang
mengingkarinya kecuali kelompok inkar sunnah (kelompok yang menolak
hadits nabi) dan mu’tazilah (kelompok yang mendewakan akal).
Pandangan
Imam Ahlus Sunnah
Imam
An Nawawi Rahimahullah menjelaskan tentang maksud hadits di
atas:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث جَوَاز الصَّدَقَة عَنْ الْمَيِّت
وَاسْتِحْبَابهَا ، وَأَنَّ ثَوَابهَا يَصِلهُ وَيَنْفَعهُ ، وَيَنْفَع
الْمُتَصَدِّق أَيْضًا ، وَهَذَا كُلّه أَجْمَعَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ
“Dalam hadits ini
menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu disunahkan melakukannya,
dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai kepadanya dan bermanfaat baginya,
dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan, semua ini adalah ijma’
(kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syah
Shahih Muslim, 6/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam
Ibnu Katsir Rahimahullah, dalam kitab tafsirnya:
فأما الدعاء
والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما.
“Adapun doa dan bersedekah, maka keduanya
telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya
memiliki dasar dalam nash syariat.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al
Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet.
2, 1999M-1420H)
Imam
Abu Sulaiman Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:
فَاسْتَأْذَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم فِي أَنْ
يَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَأَذِنَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَثَبَتَ أَنَّ صَدَقَتَهُ عَنْهَا
مِمَّا يُتَقَرَّبُ بِهِ
“Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengizinkan bersedekah darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya
itu termasuk apa-apa yang bisa medekatkan dirinya (kepada Allah).” (Al
Muntaqa’ Syarh Al Muwaththa’, 4/74. Mawqi’ Al Islam)
Imam
Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا
فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا
يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى
انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ
دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ
فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ .
“Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula
dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi
mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan,
bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah
ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al
Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah
ahli bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 5/466. Mawqi’ Al Islam)
Beliau
juga berkata:
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى
الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ
“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan
sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maliyah (harta), seperti membebaskan
budak.” (Ibid)
Imam
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا
لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى :
كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي
تَدْخُلُهَا النِّيَابَة
“Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada
Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang
muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa,
istighfar, sedekah, dan kewajiban yang bisa diwakilkan.” (Al Mughni,
567-569)
Kewajiban
yang bisa diwakilkan adalah haji dan puasa, sebagaimana yang diterangkan dalam
hadits-hadits shahih.
Imam
Khathib Asy Syarbini Rahimahullah mengatakan:
تَنْفَعُ الْمَيِّتَ صَدَقَةٌ عَنْهُ ، وَوَقْفٌ وَبِنَاءُ مَسْجِدٍ
، وَحَفْرُ بِئْرٍ وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Sedekah bagi mayit membawa manfaat
baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya ..” (Mughni
Muhtaj, 3/69-70)
Imam Al Bahuti Rahimahullah mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ
الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .
Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal
shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih
lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat,
3/16)
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah – mantan Mufti Saudi
Arabia- mengatakan:
أما الصدقة عن أموات المسلمين والدعاء لهم ، فكل ذلك مشروع
“ Ada pun bersedekah dan
berdoa bagi mayit kaum muslimin, maka semua ini disyariatkan.” (Syaikh
Bin Baz, Fatawa Nur ‘Alad Darb, 1/89)
Syaikh
Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
أما
الصدقة عن الميت فلا بأس بها يجوز أن يتصدق فإن رجلاً جاء إلى النبي صلى الله عليه
وسلم فقال يا رسول الله إن أمي قد افتلتت نفسها وأظنها لو تصدقت لتكلمت أفأتصدق
عنها قال نعم فيجوز للإنسان أن يتصدق عن أبيه إذا مات وعن أمه وعن إخوته وأقاربه
وكذلك عن غيره من المسلمين
“Ada pun sedekah buat
mayit, maka itu tidak apa-apa, boleh bersedekah (untuknya). Ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat mendadak, aku mengira dia
berencana untuk bersedekah, apakah saya boleh bersedekah untuknya? Beliau
menjawab: Ya. Maka, boleh bagi manusia bersedekah untuk ayahnya jika sudah
wafat, juga untuk ibunya, saudaranya, kerabatnya, demikian juga untuk yang
lainnya dari kaum muslimin.” (Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin, Fatawa
Nur ‘Alad Darb, No. 44)
Dan
masih banyak ulama lainnya, namun para ulama di atas sudah mewakili yang
lainnya, bahwa bersedekah untuk mayit adalah boleh, dan sampai pahalanya kepada
mayit, serta berpahala juga bagi yang bersedekah. Ini adalah ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin dari dahulu hingga saat ini, bahkan Imam Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa hal ini telah diketahui secara pasti dalam agama.
Maka, barang siapa yang mengingkarinya –kata Imam Ibnu Taimiyah- dia adalah ahli
bid’ah (pelaku kesesatan).
Bukan
hanya itu, mengingkari hal ini merupakan pengingkaran terhadap sunah nabi, dan
Imam Asy Syaukani dan lainnya menyebutkan pengingkaran hal ini hanya
dilakukan oleh kaum mu’tazilah (pendewa akal).
Kehujjahan
Ijma’ telah diakui semua umat Islam, kecuali para pengikut hawa nafsu.
Berkata Imam Ibnu Taimiyah:
الْإِجْمَاعُ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ عَامَّةِ
الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْفُقَهَاءِ وَالصُّوفِيَّةِ وَأَهْلِ الْحَدِيثِ
وَالْكَلَامِ وَغَيْرِهِمْ فِي الْجُمْلَةِ وَأَنْكَرَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْبِدَعِ
مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ وَالشِّيعَةِ
“Ijma’ telah menjadi kesepakatan antara
umumnya kaum muslimin, baik dari kalangan ahli fiqih, sufi, ahli hadits, dan
ahli kalam, serta selain mereka secara global, dan yang mengingkarinya adalah
sebagian ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah.” ( Majmu’ Fatawa,
3/6. Mawqi’ Al Islam)
Dan, orang-orang yang mengingkari ijma’ adalah penghancur dasar-dasar
agama, sebagaimana kata Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya:
“Orang-orang yang
mengingkari keberadaan ijma sebagai hujah, maka mereka telah membatalkan
ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi
umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para munkirul ijma (pengingkar
ijma’) merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul As Sarkhasi, 1/296. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Al
Imam Al Hafizh Al Khathib Al Baghdadi berkata:
“Ijma’ (kesepakatan) ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu
di antara hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang
dipastikan benarnya". (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/154)
Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti ijma’, dan bagi
penentangnya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan
orang-orang beriman, yakni dalam firmanNya:
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa
(4): 115)
Dalam hadits juga disebutkan:
إن الله
تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة وَيَدُ
اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَة
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan umatku dalam
kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi No. 2255,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No 1848)
Demikian.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Alihi wa Shahbihi Ajmain.
Wallahu
A’lam
Farid Nu'man Hasan