"Umat Islam, Rahim yang Melahirkan TNI" -->

"Umat Islam, Rahim yang Melahirkan TNI"

Zak
Jumat, 05 Oktober 2012
Islamedia - Sebulan sesudah hancurnya armada Sekutu dalam Pertempuran Laut Jawa, pada 8 Maret 1942, di Bandung, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jenderal Imamura, panglima Ryuku-gun ke-16. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenburg-Stachouwer menjadi tawanan perang di Cimahi.

Ryuku-gun ke-16 -Pemerintahan Militer di Jawa
Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Tokyo untuk para panglima di wilayah-wilayah pendudukan, Senryo Tochi Yoko (Garis-garis Besar Kebijakan untuk Wilayah Pendudukan), memuat direktif umum tentang politik pendudukan guna mendukung kemenangan perang. Berdasarkan dokumen tersebut Komando Ryuku-gun ke-16 di Jawa di bawah Jenderal Imamura, mengeluarkan sebuah kebijakan operasional yang berjudul “Saran-saran mengenai Status Masa Depan Pulau Jawa”.

Isi dokumen tersebut antara lain, bahwa “…perlu merebut hati penduduk (Jawa) untuk lebih mampu mengembangkan sumber-sumber daya (untuk mendukung perang)”. Dari isinya tampaknya dokumen ini disusun oleh staf dari badan intelijen militer Jepang ’Sambobu Tokebetsu-har’ yang lebih dikenal dengan nama sandi mereka Beppan. Badan Intelijen ini sangat bersimpati dengan bangsa Indonesia, mengingat keberadaan mereka di Hindia Belanda sudah jauh sebelum perang meletus. Merekalah kemudian yang dikenal sangat membantu kaum nasionalis Indonesia, seperti LetnanYanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yomamura, serta seorang Muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono.

Mengingat jumlah penduduknya yang sangat besar, markas besar Ryuku-gun ke-16 menyimpulkan dukungan rakyat Jawa itu hanya akan dapat terwujud bila ada “kepastian tentang kemerdekaan” bagi wilayah Jawa dan Sumatera. Untuk kepentingan pengerahan dukungan masyarakat Ryuku-gen ke-16 di Jawa membentuk berbagai organisasi masyarakat, seperti Gerakan Tiga ”A”, Jawa Hoko-ka (Badan Kebaktian Rakjat Jawa). Poetera (Poesat Tenaga Rakjat), MIAI (Madjelisul Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah menjadi Masjumi (Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia). Pendek kata untuk memenangkan usaha perangnya Jepang melakukan politisasi yang sangat intensif terhadap rakyat di Jawa dan Sumatera (Salim Said, Genesis of Power, 1942).

Terbentukya PETA
Tewasnya Laksamana Isoroku Yamamoto di atas pulau Bougainville dan kalahnya secara telak Armada Kekaisaran ke-1 dalam pertempuran merebut pulau Guadalcanal yang berlangsung sengit selama enam bulan, dari Agustus 1942 sampai Februari 1943, bukan saja menghentikan kemajuan mesin perang Jepang dan pasifik, tetapi juga membuat situasi perang berbalik (Ahmad Mansur Suryanegara, ‘Pemberontakan Tentara PETA’, Yayasan Wira Patria Mandiri, Jakarta, 1996).

Situasi baru yang tiada menguntungkan Jepang membuat Komando Ryuku-gun ke-16 makin bulat tekad melibatkan rakyat di Jawa untuk mendukung usaha perangnya. Untuk itu dengan menggunakan sepuluh orang nama ulama terkemuka di koran Asia Raja, terbitan 13 September 1943, diberitakan adanya “tuntutan” para alim-ulama tersebut agar pemerintahan Ryuku-gun ke-16, “segera membentuk tentara sukarela, bukan wajib militer, melainkan tentara yang akan membela pulau Jawa”. Para ulama itu adalah KH. Mas Mansoer, Tuan Guru H. Mansoer, Tuan Guru H, Jacob, H.Moh. Sadri, KH. Adnan, Tuan Guru H. Cholid, KH. Djoenaedi, Dr.H. Karim Amroellah, H. Abdoel Madjid, dan U. Mochtar. Mereka inilah bapak-bapak pendiri PETA.

Terpilihnya tokoh-tokoh di atas, didasarkan pada analisis Beppan. Badan intelijen militer Jepang menyimpulkan, untuk memperoleh dukungan maksimum dari rakyat Jawa, maka “tentara” yang akan dibentuk itu harus didukung penuh oleh potensi umat Islam di bawah pimpinan para ulamanya. Berdasarkan usulan Beppan itulah untuk jabatan komandan batalyon (dai dancho) direkrut dari kalangan ulama, untuk jabatan komandan kompi dan pleton (chodan-cho dan shudan-cho), direkrut dari pemuda berlatar belakang anak-anak ambtenaren (priyayi dan eks-pegawai guberneroen), sedang untuk para bintara (budan-cho) diambil dari pemuda Muslim bahkan panji-panji tentara Peta (daidan-ko) harus terlihat berjiwa Islam, yaitu bulan-bintang putih di atas dasar merah.

Dalam struktur tentara Peta ada dua pertimbangan, yaitu kepentingan militer dan kepentingan politik, hal itu terlihat pada kebijakan rekrutmen personalianya. Para komandan batalyon (daidan-cho), dipilih dari kalangan alim ulama. Latihan yang diberikan sangat dasar, hanya taktik kecil (minor tactics) dan tidak diberikan pengajaran tentang administrasi dan logistik, karena Jepang mengkhawatirkan sekiranya pengetahuan itu diberikan akan memberikan kemampuan kepada satuan-satuan Peta untuk melakukan peperangan secara berlanjut sekiranya mereka sewaktu-waktu berontak terhadap Jepang.


Kasman Singodimejo - Tokoh Masyumi, Perintis TNI
Sementara itu bagi para komandan bawahan, khususnya budan-cho dan hei-tai (prajurit) diberikan latihan militer secara spartan oleh para instruktur orang Jepang (sido-kan) menjadi militer profesional. Dari sini tampak para daidan-cho diharapkan menjadi simbol partisipasi politik umat Islam dalam ketentaraan Peta.

Umat Islam menyambut dengan gairah pembentukan Peta yang dikehendaki dengan harapan dapat menjadi instrumen batu loncatan menuju kemerdekaan penuh Indonesia. Setelah itu barulah dilakukan pelatihan pertama untuk membentuk para pelatih di Seimen Dojo Cimahi, Januari 1943. Selanjutnya pelatihan untuk korps perwira di Rensei-tai Cimahi dan Magelang Juli 1943, dan setelah itu peresmian terbentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Bo-ei Gyugun Kanbu Rensei-tai) disingkat PETA, di Bogor 3 Oktober 1943.

Terbentuknya TNI
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan lahirnya Republik Indonesia. Karena pertimbangan politik bahwa republik yang baru lahir ini cinta damai dan bukan bentukan negara fasis Jepang, pemerintah tidak menghendaki kesan itu ada pada Sekutu yang mulai masuk ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang. Untuk itu pemerintah tidak menghendaki adanya badan kemiliteran dalam negara Republik Indonesia yang dapat menimbulkan kecurigaan yang tidak diinginkan.

Tetapi perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa sekutu bukan saja melucuti senjata Jepang tapi juga berdasarkan perjanjian London 1945 antara Inggris dan Belanda, Sekutu diberi pula tugas memulihkan kedaulatan Hindia Belanda di Indonesia. Dengan membonceng tentara Inggris, NICA (Netherland Indies Civil Administration) masuk sebagai lembaga persiapan untuk menegakkan kembali kedaulatan Belanda. Bentrokan senjata antara NICA, dan kadang-kadang dengan tentara Inggris yang melindungi mereka dengan lasykar rakyat tidak terhindarkan. Pertempuran paling sengit terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang dikenang sebagai Hari Pahlawan dan Bandung Lautan Api.

Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945, dua bulan setelah negara dan pemerintahan Republik Indonesia terbentuk, pemerintah menyetujui untuk meresmikan lasykar rakyat menjadi BKR (barisan keamanan rakyat). Banyak yang tidak menyadari bahwa pada tanggal 4 September 1945 Soekarno telah mengumumkan susunan kabinetnya yang pertama. Namun dalam susunan tersebut tidak mencantumkan adanya portofolio menteri pertahanan. Jadi, BKR dari namanya saja tidak diniatkan sebagai pasukan militer, tetapi hanya badan keamanan atau kepolisian yang tugasnya hanya membantu pasukan Sekutu memelihara ketertiban serta mengumpulkan tawanan Jepang dan orang-orang Eropa bekas tawanan untuk diserahkan kepada Sekutu.

BKR terdiri dari berbagai unsur perlawanan rakyat, pimpinannya sebagian berasal dari PETA yang didukung oleh 60 batalyon senapan, kemudian unsur perwira-perwira KNIL sebelum perang seperti Oerip Soemohardjo, Didi Kartasasmita, AH. Nasution, TB. Simatupang, Kawilarang dan lain-lain yang tidak membawa anak buah.


Selebihnya adalah para pasukan Heiho, semacam hansip buatan Jepang. Sebulan sesudah itu, pada tanggal 11 November 1945 di Purwokerto atas prakarsa yang dipimpin oleh Oerip Soemohardjo, diadakan konferensi pertama para komandan BKR untuk membahas: pertama menghadapi kekacauan dan anarchie, kedua, atas usul dari Holland Iskandar, seorang mantan perwira Peta, untuk memilih seorang panglima besar BKR. Ada tiga panglima besar yang diajukan untuk memimpin BKR. Pertama Kolonel Soedirman dari kalangan santri dan seorang mantan guru Muhammadiyah di Cilacap. Kedua Oerip Soemohardjo yang merepresentasikan perwira-perwira KNIL. Ketiga Moeljadi Djojomartono dari unsur lasykar rakyat dari Barisan Banteng Surakarta. Lalu terpilihlah Kolonel Soedirman menjadi Panglima Besar BKR, kemudian TKR, terakhir TNI.

BKR sampai dengan TNI di masa perang kemerdekaan pada umumnya dipimpin oleh para panglima dan komandan dari Peta berlatar belakang ulama dan santri. Panglima Besar Soedirman misalnya, disebut oleh anak buahnya dengan panggilan kesayangan Kajine (Pak Haji). Ini merupakan satu penghormatan untuk beliau meski Pak Dirman sendiri belum haji.

Di Jawa Timur Komandan resimen BKR adalah KH. Hasyim Asy’ari, komandan batalyonnya KH. Yusuf Hasyim atau Pak Ud. Di Jawa Tengah komandan resimennya Kasman Singodimedjo. Di Jawa Barat komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk Singa Bekasi, KH. Noor Ali. Hampir tidak ada komandan resimen yang tidak bergelar “Kyayi Hadji” saat itu.

Disalin seperlunya dari tulisan Letjen.TNI (Pur) Z.A.Maulani
Sebelumnya termuat dalam Sabili No. 9/Tahun XI

[sabili/asp/pn/ismed]