Islamedia - Tidak seperti biasanya, azan subuh yang sudah dikumandangkan 15 menit yang lalu belum juga dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaah. Imam rawatib yang dinantikan jemaah belum juga tiba di Masjid. Memang hanya iman bergelar Magister Agama inilah yang paling layak untuk mengimami sholat berjamaah di masjid yang megah ini. Beberapa jamaah pun mulai terlihat satu pandangan kearah pintu masuk masjid, sekiranya sosok imam yang selalu memakai sarung dan jas itu segera tiba. Namun beberapa lainnya terlihat tertunduk, mungkin sedang berdzikir atau malah mengantuk.
Namun diluar dugaan, sang imam tiba-tiba saja langsung muncul masuk
dan menuju sajadah imam. Rupanya beliau masuk melalui 'pintu darurat
imam' yang biasanya digunakan untuk keluar masjid jika sholat batal.
Lalu sholat subuh berjamaah pun segera dimulai walaupun disertai
iringan gumaman beberapa jamaah yang kesabarannya habis menunggunya dari
tadi.
Dan ketidakbiasaan pun terjadi kembali, bacaan sholat sang imam yang
biasanya merdu, fasih, bertajwid sedikit terganggu dengan isak
tangisnya. Hal ini kembali membuat jamaah menjadi tidak nyaman. Bahkan
mungkin jamaah yang tadi sedikit terluka atas penantian beliau, semakin
bertambah luka hatinya. Semakin jelas terdengar gumaman luka hati yang
tersalurkan melalui batuk yang menyinggung. Dengan berkecambuknya
bermacam pikiran dari kondisi ini tentunya cukup mengganggu kekhusyukan
sholat subuh ini.
Lalu keanehan ketiga, setelah salam sang imam langsung bangkit
bergegas menuju ruangan yang terhubung dengan 'pintu darurat imam' tadi.
Dimana wirid dan do'a yang seharusnya dilakukan di waktu mustajab ini?
Rupanya tak lama sang imam kembali namun dengan mendekap sesuatu benda
yang dibalut kain putih. Sang imam pun berkata "Innalillahi wa
innailaihi rajiuun. Sebelumnya saya mohon maaf jika mengganggu jamaah
sekalian. Saya ingin menyampaikan berita duka bahwa yang saya gendong
ini adalah anak saya yang meninggal dini hari tadi. Saya mohon maaf atas
keterlambatan tadi karena saya harus memandikan jenazah anak saya
terlebih dahulu. Selanjutnya saya mohon keikhlasan jamaah sekalian
melaksanakan sholat jenazah untuk anak saya".
Dan seketika suasana di masjid menjadi hening. Berita sang imam telah
membungkam para jamaah beserta setiap nafas yang tadi begitu garang
bergumam. Sholat jenazah pun segera diikuti jamaah, mengikuti imam yang
tetap mendekap mayyit anaknya di dada. Empat takbir pun berlalu dan
ditutup dengan salam. Lalu jamaah bersama-sama mendekati sang imam dan
beberapa orang bergantian menggendong jenazah. Sedangkan yang lainnya
menyalami serta mendekap sang imam sekiranya hal tersebut dapat
memberikan ketenangan kepadanya.
Akhirnya semua ketidakbiasaan itu terjawab, walaupun dengan jawaban
yang jauh diluar perkiraan. Hal ini telah memberikan pelajaran berharga
bahwa ketenangan, kesabaran dan berprasangka baik akan senantiasa
menjaga hati dan menentukan bagaimana seseorang bersikap. Dan tentunya
pelajaran terpenting bahwa kematian bisa datang kapan pun, dimana pun,
dan dalam kondisi apa pun. Setiap saat kita perlu mengevaluasi dan
merencanakan pengelolaan ladang amal ibadah apakah semakin subur dan
membawa berkah, atau semakin gersang yang tak menghasilkan bekal apapun
di kehidupan akhirat kelak.
Al Furqon