Islam edia - Kini akan kuceritakan kepadamu tentang kawanku, karena ia pemalu maka aku takkan memberitahukan kepadamu tentang nama a...
Islamedia - Kini akan
kuceritakan kepadamu tentang kawanku, karena ia pemalu maka aku takkan
memberitahukan kepadamu tentang nama asli kawanku ini. Kita sepakati saja untuk
memanggilnya ‘Udin’. Kukira kau pasti sepakat denganku. Satu hal lagi, jangan
kau ceritakan kepada yang lain, karena Udin sangat pemalu. Apakah kau mau
berjanji? Sudahlah, ikuti saja apa mauku. Aku tahu kau sudah tak sabar
mendengar ceritaku.
***
Haru biru
menyelimuti Kabupaten Purworejo, tepatnya di Kecamatan Gebang, di sebuah rumah
yang cukup sederhana namun terlihat asri dari beragai sisi. Udin masih kaget
dengan kejadian kemarin, kejadian yang membuat matanya semalaman enggan
terpejam. Udin masih termangu memandangi ayam jagonya, hatinya masygul,
bimbang, namun ada pula rasa senang. Ia menangkap ayam jagonya, dielusn-elusnya
leher dan jengger jago itu. Sambil berbisik ia berkata pada Si Jago, “Kelak kau
pun akan merantau!”.
Tak seperti
biasanya, Udin memasak air kali ini, bukan untuk minum apa lagi untuk mencabuti
bulu Si Jago, tapi untuk mandi. Padahal Udin biasa mandi di sungai, tapi kini
spesial. Sabun batangan bergambar artis cantik ia gunakan kini, agar lebih
bersih dan wangi, tak lupa ia pun menyikat gigi. Setelah selesai membersihkan
diri, Udin langsung nangkring di depan cermin kamarnya.
“Gagah tenan!!” kata udin sambil menyisir rambutnya
Kemeja
kotak-kotak hijau, kancing dibuka dua, celana jeans biru muda, Udin
memang terlihat ‘agak’ gagah sekarang. Rambut klimis mirip presiden Indonesia.
Dengan langkah agak ragu namun dimantap-mantapkan, Udin menuju ruang tengah.
Dilhatnya ibu sedang melamun memandang jendela, hari ini ibu pun tak biasanya
ada di rumah, ibu tak sedang membantu bapak di sawah, hari ini spesial untuk
anak perjakanya..
“Ibu, Kulo nyuwun donga pangestunipun, Bu. kulo sakmenika badhe tindak
Jakarta[1]” Udin
berkata sambil mencium kaki ibunya.
“Iyo le, sing ngati-ngati nang
kono[2]” kata
Sang Ibu sambil mencium kening Udin.
Udin tak
sampai berderai air mata, ia buru-buru mengusap air mata yang sepat membasahi
pelupuk matanya. Setelah berpamitan dan meminta restu, ia melangkah
meninggalkan rumah.
“Le, kowe ora nunggu bapak
kondur ndisik, le?”[3]
“Mboten, Bu. Kulo kuwantos
ketinggalan kereta”[4]
Sambil menahan
tangis, Udin terus melangkah dengan langkahnya yang rapuh. Dalam hatinya ia
berkata, “Pak, anak perjakamu ini mau ke Jakarta, mau merantau dan memperbaiki
keadaan keluarga kita!”
Udin melangkah
cepat menuju angkutan yang akan mengangkutnya ke Stasiun Kutoarjo. Diangkutan
Udin teringat Si Jago, adiknya yang tak sempat ia pamit kepadanya, ibunya,
bapaknya, kampunya, bau embunnya, dan sinar mataharinya.
Sampailah ia di
stasiun, hari itu matahari telah tenggelam dalam, Udin menaiki kereta saat
gelap mulai menyapa. Ia duduk termangu,
ia memegang ranselnya dengan ragu-ragu, dibuka ranselnya kemudian ditutup
kembali, begitu berulang-ulang. Tanpa sadar ia mengambil map dalam ranselnya,
dibukanya map itu, diambilnya lembaran yang diterimanya seminggu lalu. Ia
pandangi lembaran itu. Sambil bergumam ia berkata, “Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Ilmu Gizi. Ahh, setidaknya aku mungkin lulus dari sana akan lebih
bergizi, atau paling tidak adikku gizinya membaik....”.
Mungkin Udin
bukan tipe orang melankolis yang pandai tersentuh dan mudah membuat puisi
dikala masygul, tapi kini Udin lain, spesial, Udin mengambil secarik kertas dan
pulpen. Dengan khidmat ia menuliskan beberapa bait syair:
“teruntuk ibu: aku akan baik-baik saja di ibu
kota.. karena aku tahu, kasih ibuku akan selalu ada walau aku di kota.
untuk ayah: tak perlu lara, apalagi muram dengan
durja. Akan kutinju kerasnya hidup, layaknya kau memaculi ladang kita yang
keras..
yang tercinta adikku: seberapapun kau merengek,
aku takkan kembali. Sebelum aku sarjana, sebelum engkau dapat diakui dunia
Itu janjiku...”
Sejam rasanya seperti
setahun, Udin merasa kini ia sudah menjadi profesor, karena perjalanan memakan
waktu sepuluh jam yang seperti sepuluh tahun. Udin lelap dalam bunga tidurnya,
lelap dalam spektrum harap dan cinta, bermimpilah. Tak terasa bunga tidur
menghilangkan lelahnya, saat ayam berkokok keras mengancam pagi, namun
tanpaknya kokok ayam kalah ganas dengan suara pedagang di pagi itu. Udin
terbangun dari tidurnya.
“Ah, aku telah sampai. Aku
merantau!”
Tujuan Udin hanya
satu, kampus tercinta. Sebuah universitas negeri di pinggiran ibu kota. Dengan
perhitungan matematis dan fisika yang matang, akhirnya Udin memutuskan naik
taksi menuju kampusnya. Di dalam mobil, Udin kembali memegang seraya memandang
lembaran itu.
“Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Ilmu Gizi.. yaa!” dalam hatinya mantap.
Udin terus
memandang jendela kaca, bukan, bukan kaca mobilnya yang ia pandangi, namun
objek di luar kaca itu. ‘apa benar ibu kota itu lebih jahat daripada ibu tiri?’
udin menggumam. Ia sangat percaya bahwa Jakarta adalah rumah kedua orang Jawa.
Karena ia meyakini bahwa SBY pun sukses merantau di ibu kota, bahkan bisa
sampai menjadi presiden.
“Selamat Datang di Kota Depok” Udin membacanya seperti mengeja.
“Mas, saya mau turun di UI”
“Owalah, tadi saya lupa masuknya, de. Nanti saya turunin di depan aja ya,
kamu tinggal nyemberang jalan aja nanti” Ujar supir taksi.
Udin turun,
tangannya masih menggenggam lembaran itu. Ramainya jalan, hilir mudiknya
kendaraan, serta riuhnya manusia berjejalan tak dihiraukannya. Tujuannya tetap,
menuju kampus tercinta. Perlahan ia menyeberang jalan, karena pemalunya ia
enggan bertanya. Ia hanya berkata dalam hati, “Intuisi, intuisi, gunakan
hati..kau pasti tau, Tuhan pasti akan menunjukkanku”.
Ia melihat gedung
tinggi, banyak orang-orang yang bergaya mahasiswa berseliweran ke sana-ke mari.
Ia mengikuti intusinya, tetap melangkah penuh doa. Sampai ia bertemu dengan
manusia berpakaian rapi memakai topi bertuliskan ‘SECURITY’.
“Pak, boleh tanya. Kalau mau
daftar ulang di gedung apa ya?”
“Wah, masnya salah. Harusnya di
kampus yang di kelapa dua mas?”
“Loh?? Oh gitu ya? Makasih, Pak”
Udin sekarang
jongkok, mencoba berpikir dan mengingat, entah mengapa ia selalu ingat bila
berjongkok, mungkin saking seringnya Udin belajar dan membaca di kamar mandi.
Sesaat kemudian, Udin kembali lagi bertanya kepada satpam itu.
“Pak, kalau gedung Balairung itu
di mana ya?”
“Masnya emang mahasiswa mana?”
Udin melihat
kembali lembaran itu dan membacanya.
“Fakultas Kesehatan Masyarakat
Ilmu Gizi Universitas Indonesia, Pak.”
“Yah, mas. Masnya salah lagi.
Ini Universitas Gunadarma, bukan UI”
“Lah, Uinya di mana, Pak. Saya
kira ini UI”
“Masnya jalan lewat sana,
nyebrang rel.. nah, itu UI mas!”
Sambil tersenyum
kuda, Udin pamitan dan berterimakasih kepada satpam itu. Dengan tetap memegang
lembaran itu, Udin berjalan mantap, bak prajurit yang sedang diawasi
komandannya. Udin kaget bukan kepalang, ia mencoba menutup mulutnya namun tetap
tak bisa. Ia masih memandang keadaan sekitar.
“Aaahhh, bau ilmu, bau
kesejahteraan, bau mahasiswa, bau rantau!”
Kemudian ia
berjongkok memandangi keadaan, ia lebih dapat mengahafal dalam keadaan begini.
Ia ingin merekam semua yang ada. Ia teringat dengan ayah, ibu, serta adiknya.
Ia tergesa-gesa membuka tasnya, ia mencari hapenya. Kemudian ia mencoba
menelpon.
“Aduh, pulsanya énte’” kata Udin
mengeluh
Ia kemudian
bangkit dan beranjak, bermodalkan intuisinya yang tak terlalu tajam. Ia
mngambil kesimpulan bahwa bangunan yang ada di seberang jalan itu adalah
Balairung. Saat menyeberang ia melihat baliho besar bertuliskan ‘Selamat Datang
Mahsasiwa Baru, Selamat Datang di Kampus Perjuangan”. Mata Udin berkaca-kaca
membacanya.
Dalam bingungnya,
Udin berjalan menuju Balairung. Ia meihat seseorang yang diantar oleh ibunya
menggunakan mobil, atau gadis yang membuat ia mengucek matanya berkali-kali.
Dari kejauhan tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara, intusinya mengatakan ia
harus mencarinya. Ia berjalan mencari sumber suara itu.
‘Kompor, Kompor,
Kompor....” sayup-sayup terdengar kata itu. Udin akhirnya menemukan sumber suara
itu. Kemdian—lagi-lagi, Udin jongkok mengingat sesuatu.
“Ah, yaa.. KOMPOR!!” Udin
berteriak sambil beranjak.
Ia mendekati kumpulan
mahasiswa yang berteriak dengan pengeras suara sambil berkata ‘kompor’ kemudian
berkata, “Komunitas Mahasiswa Purworejo”
Ternyata kompor
adalah penyingkatan dari Komunitas Mahasiswa Purworejo, Udin disambut baik oleh
seniornya. Sambil berbisik kepada senior yang baru dikenalnya, Udin berkata,
“Mas, aku pinjam hapenya dong, mau telpon orang rumah”
Akhirnya Udin
dapat pinjaman hape, ia menelpon, namun tak ada yang mengangkat. Dengan penuh
intuisi, akhirnya Udin memutuskan untuk mengirim sms saja.
“Bu, pak, dik, kulo sampun
wonten Jakarta. Alhamdulillah kulo sehat, keluarga wonten griyo sehat? Kulo
badhe benahi gizi Indonesia. Nyuwun dongane nggih. Kulo MERANTAU”[5]
***
Itulah kisah
kawanku, sebut saja namanya Udin. Maaf teman, kau jangan penasaran ingin
mengetahui siapa nama aslinya, karena aku telah berjanji kepada kawanku untuk
tidak memberitahunya. Jangan lupa teman, kau berjanji untuk tidak meberitahukan
kisah ini pada orang lain kan?
[1]
“Ibu, saya minta restu ibu, saya mau
pergi ke Jakarta”
[2]
“Iya nak, hati-hati disana”
[3]
“Nak, kamu tidak menunggu bapak
pulang dulu”
[4]Tidak, Bu. Aku takut ketinggalan kereta.
[5]
“Bu, Pak dik. Saya sudah sampai di
Jakarta. Alhadulilah sehat, keluarga sehat? Saya akan memperbaiki gizi
Indonesia. Mohon doanya. Saya MERANTAU.