Zakat, Tak Sekedar Gaji Tetap

Islam edia - Ramadhan, saatnya orang berbondong-bondong membayar zakat, dengan berbagai macam derivatnya. Kaum muda perkotaan lalu lebih ...

Islamedia - Ramadhan, saatnya orang berbondong-bondong membayar zakat, dengan berbagai macam derivatnya. Kaum muda perkotaan lalu lebih mengenal zakat profesi, karena rata-rata mereka adalah pekerja. Tapi, kita tahu, banyak juga ibu-ibu atau bapak-bapak, yang menjalankan bisnis tertentu. Zakatnya, mestinya ya zakat perniagaan. Sementara orang-orang tua kita di kampung, mungkin lebih akrab dengan zakat pertanian atau ternak.

Alkisah, ada seorang ibu muda yang sukses dengan bisnisnya. Dalam berbagai presentasi dia sering menyebutkan bahwa dari bisnis MLM yang ditekuninya telah mengalirkan uang tak kurang dari 50 juta di rekeningnya tiap bulan. Belum bonus ini itu. Tapi, pas lihat kartu zakatnya (yang memang dikelola secara sistemik ke lembaga tertentu)... lho kok cuma Rp 10.000? Duh yang bener aja nih? Kok cuma bayar iuran wajibnya doang ya? Mau nanya lebih lanjut, gak enak hati.

Ada juga ibu lain yang bercerita, gajinya dari mengajar di suatu SDIT sebesar 1,2 juta. Meskipun belum mencapai nishab zakat profesi, dia keukeuh surekeuh ingin memotongnya 2,5% dari gajinya itu, karena dia beranggapan bahwa esensi zakat adalah membersihkan harta, berapa pun besarnya uang yang diterima. Okay  baiklah, sebagai bendahara, tentu saya senang hati menerima.

Tapi, lain halnya dengan si ibu guru, ada juga ibu lain yang berbisnis baju-baju dan herbal. Berbulan-bulan saya lihat kartu ziswafnya tidak pernah beranjak dari angka Rp 10.000 alias cuma iuran bulanan. Jadi pengin tahu, sebenarnya  omzet dan profitnya tiap bulan berapa ya? Nah, suatu hari iseng saya bertanya tentang ini, dan dengan bangga dia menjawab," O...lumayan mbak, dapetlah kalau untung 3-4 juta per bulan"

Lhoo?.. tapi kok kartu ziswafnya Rp 10.000 melulu? Sementara teman-temannya yang lain yang guru dengan penghasilan di bawah 2 juta malah pada rajin setor  'zakat'nya. Waduh, piye iki...

Zakat, dari kata zaka-azka, esensinya memang membersihkan, berapa pun harta yang kita punya. Bukan membersihkan karena dia diperoleh dengan cara haram, tapi membersihkan karena siapa tahu ada hal-hal yang kurang diridhai dari harta yang kita genggam. Jadi, zakat sesungguhnya adalah hak mereka, 8 ashnaf itu. Bukan harta kita, tapi harta mereka yang masih tertahan di tangan kita. Semakin lama harta itu tertahan di tangan kita, hakekatnya kita semakin menggali lubang yang dalam untuk diri kita sendiri. Lalu lupa berapa yang harus dkeluarkan, lalu benar-benar lupa mengeluarkan. Dan lubang ini suatu saat bisa membawa kita kepada panasnya api neraka. Na'udzubillah....

Zakat, memang bagian dari rukun Islam, sekilas nampak bagian dari fiqh saja. Tapi, kita ingat bagaimana khalifah Abu Bakar RA memerangi warganya yang tidak mau membayar zakat. Artinya, zakat itu sudah menjadi bagian dari aqidah Islam, tak sekedar fiqh saja. Orang yang berani tak membayar zakat, maka sangat patut diragukan keislamannya, begitu kasarnya.

Jadi, gambaran bahwa kita memberikan zakat dengan tangan kita di atas lalu ada tangan mustahik yang menerima di bawah, buat saya pribadi kurang pas. Karena sesungguhnya yang butuh mengeluarkan zakat itu kita. Kitalah yang butuh para mustahik itu agar zakat yang tertahan di tangan kita tidak menjadi bara panas yang menggerogoti keberkahan hidup kita. Kita pula yang berdosa jika tidak mengeluarkan zakat, sementara para mustahik itu, tentu tidak berdosa jika tidak mendapatkan haknya. Jadi, sebenarnya tangan siapa yang berhak di atas?

Bagi mereka yang bekerja, zakat juga bukan identik dengan gaji tetap doang lho. Ini yang kadang-kadang suka terlupa. Zakat yang dikeluarkan langsung saja dipotong dari transfer gaji/pendapatan bulanan. Padahal, selain gaji bulanan, kadang-kadang kan seseorang juga masih mendapatkan honor ini itu, saweran, atau uang perjalanan dinas. Memang rasanya jumlahnya kecil-kecil, sehingga kadang langsung masuk kantong. Tapi cobalah, jika ini dikumpulkan satu bulan, terus ditambahkan dengan gaji bulanan, biasanya sudah jatuh nishab untuk dizakatkan, (sekarang sekira 3,5 juta perbulan untuk zakat profesi, tergantung harga emas, CMIIW). Nah, jangan sampai yang dizakati ini cuma yang gaji bulanan, terus yang 'prentil2' dari amplop itu luput dizakati, karena hakikatnya itu juga pendapatan kita.

Satu lagi, tentang zakat maal. Ada juga beberapa orang yang merasa sudah zakat profesi tiap bulan, eh tiap akhir tahun (satu haul) lupa mengeluarkan zakat maalnya. Kan mungkin dia punya tabungan, deposito, emas, rumah lebih dari satu, yang jelas harus dikeluarkan zakatnya tiap tahun kalau memang sudah mencapai nishab. Masak yang rajin mengeluarkan zakat maal malah peternak, sementara yang profesional nyambi pengusaha kadang lupa bahwa dalam hartanya masih tertahan hak-hak para dhuafa.

Nah, untuk lebih mudahnya dalam mengeluarkan zakat, mungkin beberapa kiat praktis ini bisa dicoba.

1. Untuk honor-honor tidak rutin yang diterima tiap bulan, bisa langsung dikeluarkan zakatnya 2,5% begitu mendapatkan honor, dan dimasukkan ke tempat khusus. Penyerahan pada lembaga zakat bisa kita lakukan secara periodik tiap bulan.
2. Untuk honor bisa juga dengan mencatat setiap honor yang kita terima di buku khusus, lalu pada akhir bulan kita hitung total pemasukan, baru dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan gaji tetap yang diterima. Saya sendiri terbiasa mengumpulkan amplopnya dalam 'kantong dora emon', di tiap amplop sudah tertulis tanggal dan nominal isi amplopnya, lalu pada akhir bulan amplop2 tersebut saya rekap untuk dikeluarkan zakatnya (kalau uangnya ya sebagian besar sudah dikulik-kulik, hihi).
3. Demikian juga bagi mereka yang berusaha/berdagang, lebih gampangnya langsung dipotong 2,5% dari pendapatan yang masuk. Tapi karena perdagangan ada perhitungan rugi laba, alangkah bagusnya ada neraca keuangannya sehingga zakat yang dikeluarkan benar-benar akurat dari margin yang didapatkan selama sebulan/setahun. Sekarang sudah ada program komputer yang langsung memotong zakat dari nilai jual, dan beberapa outlet produk garment muslimah sudah menerapkan program ini untuk memudahkan pengeluaran zakat.
4. Suami hendaknya memudahkan istri dengan menyerahkan penghasilan yang sudah dikeluarkan zakatnya. Kan gak enak juga kalau menyerahkan penghasilan tapi minta lagi 2,5% dari situ untuk zakat.
5. Selama ramadhan, beberapa perusahaan biasanya juga memberikan THR. Nah, THR itu diqiyaskan dengan rikaz, bukan zakat profesi. Jadi besar zakat yang dikeluarkan minimal 10% (afdholnya 20%).

Terakhir, mari segerakan keluarkan zakat, supaya kita lebih khusyuk beribadah di bulan mulia ini.

Bagi yang mau belajar lebih dalam, sila buka link ini.

http://www.baitul-hikmah.com/zakat/

http://pusdai.com/?page_id=4646

Mukti Amini, S.Pd, M.Pd.

Prog. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universitas Terbuka