Islamedia - Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, atau
yang lebih dikenal dengan nama Hamka, adalah seorang ulama besar Indonesia yang
multitalenta. Ia pernah berkarir sebagai jurnalis, penulis, dan pengajar.
Selain itu, tokoh yang dikenal sebagai penulis novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini juga pernah menjadi seorang
politisi.
Ahad (20/01), di Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Cawang, Jakarta, Sekolah Pemikiran Islam (SPI) menggelar kajian bertemakan “Napak Tilas Keteladanan Politik Buya Hamka”.
Kajian ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan 111 Tahun Buya Hamka yang sedianya diselenggarakan pada bulan
Januari hingga Maret 2019.
Pada sesi pertama, SPI menghadirkan Akmal,
M.Pd.I. sebagai narasumber yang menyampaikan presentasinya yang berjudul “Politik Hamka”. Pria yang pada tahun
2009 silam menyelesaikan tesisnya yang berjudul “Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar
Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka” ini mengungkapkan pandangan dan sikap
Buya Hamka terhadap politik.
"Buya Hamka lahir dari seorang ayah yang
merupakan ulama besar, dan beliau pun kemudian tumbuh menjadi ulama besar pula.
Beliau tidak tertarik untuk menjadi politisi, namun beliau tidak antipati,
bahkan sangat melek politik. Pada tahun 1955, atas permintaan A.R. Sutan Mansur
dan Mohammad Natsir, Buya Hamka bergabung dengan Partai Masyumi," tukas
mahasiswa S3 jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) ini.
Mengutip kata-kata Hamka dalam buku Pelajaran Agama Islam, Akmal menunjukkan
bahwa politik dalam pandangan beliau adalah merupakan tuntutan dari tauhid itu sendiri. “Menurut Hamka,
mewujudkan keadilan itu adalah perintah Allah. Bahkan beliau menyatakan bahwa
orang yang diam di hadapan kezaliman sesungguhnya sudah berada di ambang pintu
kemusyrikan. Dengan demikian, bagi Buya, politik ini bukan soal kekuasaan, tapi
tentang mewujudkan keadilan dan melawan kezaliman,” tandasnya.
Pasca Pemilu 1955, Buya Hamka terpilih sebagai
anggota Konstituante mewakili Partai Masyumi. Dalam sidang-sidang Konstituante
yang memperdebatkan dasar negara, Buya Hamka mendorong agar Islam dijadikan
dasar negara Indonesia, tanpa harus menolak Pancasila sebagai falsafah bangsa.
"Dalam pandangan Hamka, yang diamini juga
oleh tokoh-tokoh Masyumi lainnya saat itu, Pancasila tidak bisa menafsirkan
dirinya sendiri. Karena itu, ia bisa ditafsirkan oleh siapa saja sehingga orang
komunis pun bisa menafsirkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuka hatinya,” ujar
Akmal lagi.
Meski demikian, Hamka tidak bermaksud menolak
Pancasila. “Pada saat yang bersamaan, Hamka mengingatkan bahwa Pancasila itu
bisa ditafsirkan dengan indah dengan kacamata Islam. Nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan, persatuan, permusyawaratan, dan konsep-konsep lainnya yang tercantum
dalam Pancasila bisa dijelaskan dengan baik oleh Islam,” pungkas Akmal. [abe/islamedia]