Buya Hamka: Si Bujang Jauh Penyuka Syair -->

Buya Hamka: Si Bujang Jauh Penyuka Syair

Kamis, 17 Januari 2019
Islamedia "Saya sangat gembira dan terharu, karena Anda semua yang ada di ruangan ini sangat bersemangat untuk memajukan Islam," ungkap Taufik Ismail, Sabtu (12/01) di Aula Al-Ghazali INSISTS, Kalibata Utara, Jakarta Selatan.

Dalam kesempatan itu, sastrawan Indonesia yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah ini membeberkan pengalamannya bersama Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang kita kenal sebagai Buya Hamka.

"Buya Hamka semasa kecilnya itu sangat bengal. Beliau pernah mengerjai ayah saya semasa di pondok dulu," kisahnya. "Namun, kehidupan Buya Hamka harus jadi tauladan di zaman ini. Seorang ulama dan sastrawan yang mampu menyelesaikan tafsir Qur'an Al-Azhar selama 2 tahun 4 bulan di dalam tahanan," lanjut pria kelahiran Bukittinggi itu.

Dalam kesempatan lain, Zaki Fathurohman, yang juga didaulat sebagai narasumber saat itu, menyebutkan karya-karya Buya Hamka yang dikatakan Taufik Ismail sebagai sembilan karya sastra yang besar.

"Di antara karya sastra yang paling terkenal dari sosok Bung Haji adalah Si Sabariyah, Dijemput Mamaknya, Laila Majnun, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, dan Menunggu Beduk Berbunyi," ungkap aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) itu.

Sama seperti Taufik Ismail, Zaki juga menceritakan sosok Buya Hamka saat masa kecilnya. "Bung Haji waktu kecil adalah anak yang cukup bandel, seorang anak dari ayah-ibu yang berpisah, dan sekolahnya pun tidak tamat," jelas Ketua Center for Ta'dib and the Islamization of Knowledge (CADIK) terpilih untuk periode 2018-2020 itu.

Meski bandel, namun Hamka memiliki hobi yang cukup intelek sejak semasa kecilnya. "Pelajaran yang disenangi beliau adalah tentang syair. Hobinya mendengarkan para tetua berpidato dan bercerita, membaca buku-buku terbaru, dan juga menonton film," paparnya saat tampil di samping Taufik Ismail.

Zaki pun mengutip sebuah kalimat yang diangkat oleh seorang ulama kelahiran Bogor, Syed M. Naquib Al Attas, yang kini bermukim di Malaysia, "Kesusastraan merupakan cita-cita mulia yang bermaksud untuk memupuk ketertiban budi, bagian penting kebudayaan suatu bangsa." [abe/ajeng/islamedia]