Islamedia - "Saya sangat gembira dan terharu, karena Anda semua
yang ada di ruangan ini sangat bersemangat untuk memajukan Islam," ungkap
Taufik Ismail, Sabtu (12/01) di Aula Al-Ghazali INSISTS, Kalibata Utara,
Jakarta Selatan.
Dalam kesempatan itu, sastrawan Indonesia yang bergelar
Datuk Panji Alam Khalifatullah ini membeberkan pengalamannya bersama Dr. H.
Abdul Malik Karim Amrullah yang kita kenal sebagai Buya Hamka.
"Buya Hamka semasa kecilnya itu sangat bengal. Beliau
pernah mengerjai ayah saya semasa di pondok dulu," kisahnya. "Namun,
kehidupan Buya Hamka harus jadi tauladan di zaman ini. Seorang ulama dan
sastrawan yang mampu menyelesaikan tafsir Qur'an Al-Azhar selama 2 tahun 4
bulan di dalam tahanan," lanjut pria kelahiran Bukittinggi itu.
Dalam kesempatan lain, Zaki Fathurohman, yang juga didaulat
sebagai narasumber saat itu, menyebutkan
karya-karya Buya Hamka yang dikatakan Taufik Ismail sebagai sembilan karya
sastra yang besar.
"Di antara karya sastra yang paling terkenal dari sosok
Bung Haji adalah Si Sabariyah, Dijemput Mamaknya, Laila Majnun, Di Bawah
Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Tuan
Direktur, Terusir, dan Menunggu Beduk Berbunyi," ungkap aktivis Forum
Lingkar Pena (FLP) itu.
Sama seperti Taufik Ismail, Zaki juga menceritakan sosok
Buya Hamka saat masa kecilnya. "Bung Haji waktu kecil adalah anak yang
cukup bandel, seorang anak dari ayah-ibu yang berpisah, dan sekolahnya pun
tidak tamat," jelas Ketua Center for Ta'dib and the Islamization of
Knowledge (CADIK) terpilih untuk periode 2018-2020 itu.
Meski bandel, namun Hamka memiliki hobi yang cukup intelek
sejak semasa kecilnya. "Pelajaran yang disenangi beliau adalah tentang
syair. Hobinya mendengarkan para tetua berpidato dan bercerita, membaca
buku-buku terbaru, dan juga menonton film," paparnya saat tampil di
samping Taufik Ismail.
Zaki pun mengutip sebuah kalimat yang diangkat oleh seorang
ulama kelahiran Bogor, Syed M. Naquib Al Attas, yang kini bermukim di Malaysia,
"Kesusastraan merupakan cita-cita mulia yang bermaksud untuk memupuk
ketertiban budi, bagian penting kebudayaan suatu bangsa." [abe/ajeng/islamedia]