Kupas Tuntas Ghazwul Fikri, Haji Muhidin Dihadirkan di Kajian Ini -->

Kupas Tuntas Ghazwul Fikri, Haji Muhidin Dihadirkan di Kajian Ini

Selasa, 02 Oktober 2018
Islamedia Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, menyindir sosok tokoh fiksi Haji Muhidin dari sinetron Tukang Bubur Naik Haji di sela-sela penyampaian materi yang bertajuk “Ghazwul Fikri”. Muhidin, dalam sinetron tersebut, dikenal sebagai ahli ibadah dan memiliki adab yang baik dalam beribadah, namun buruk akhlaknya terhadap sesama. Karakter ini menjadi salah satu contoh kasus yang dibahas dalam kuliah pada hari Rabu (26/09) silam.

Malam itu, penulis yang biasa dipanggil Bang Akmal itu mengajak 74 peserta yang hadir untuk sama-sama mempelajari bagaimana perang pemikiran bekerja di berbagai lini. “Dalam ghazwul fikri ada tiga alat yang biasa digunakan untuk melakukan serangan yaitu yang pertama media massa kedua pendidikan dan yang ketiga sosial budaya,” ungkap Akmal.

Saat membahas ketiga alat tersebut, Akmal memberikan contoh cara penggunaannya beserta contoh kasus yang telah terjadi di sekitar masyarakat, misalnya melalui film. “Kita kenal seorang tokoh fiksi dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang sinetronnya bertahan hingga ratusan episode. Karakter itu bernama H. Muhidin. Dia shalatnya rajin, lima waktu selalu di masjid, dan ketika berangkat ke masjid selalu mengganti baju dengan pakaian yang rapi. Namun, setiap hari kerjanya fitnah, ghibah, riya’, dengki dan seterusnya,” ujar Akmal, di pertemuan kedua SPI Jakarta Angkatan ke-9 ini.

Akmal bercerita bahwa dirinya pernah ditanya oleh ibu-ibu saat mengisi kajian mengenai fenomena ini. “Saya pernah ditanya mengenai Haji Muhidin ini. ‘Kenapa ada sih yang rajin ibadah tapi akhlaknya buruk?’. Lalu saya ajak merenung, apakah ada orang yang rajin ibadah tapi buruk akhlaknya, seburuk akhlaqnya Haji Muhidin? Saya rasa tidak ada, dan nyatanya memang tidak ada,” tandasnya lagi.

Itulah cara kerja ghazwul fikri melalui film, yaitu menciptakan suatu fiksi yang bertentangan dengan realita sehingga orang awam menyangkanya sebagai realita. Efeknya, orang jadi tidak yakin dengan agamanya sendiri, karena mereka yakin bahwa ibadah yang baik tidak memperbaiki akhlak. Padahal kenyataannya, di tengah-tengah masyarakat, yang akhlaknya baik itu adalah yang ibadahnya baik,” pungkas peneliti INSISTS ini mengakhiri uraiannya. [rahmad/abe/islamedia]