Islamedia - Kepala
Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, menyindir sosok tokoh fiksi
Haji Muhidin dari sinetron Tukang Bubur
Naik Haji di sela-sela penyampaian materi yang bertajuk “Ghazwul Fikri”. Muhidin, dalam sinetron
tersebut, dikenal sebagai ahli ibadah dan memiliki adab yang baik dalam
beribadah, namun buruk akhlaknya terhadap sesama. Karakter ini menjadi salah
satu contoh kasus yang dibahas dalam kuliah pada hari Rabu (26/09) silam.
Malam
itu, penulis yang biasa dipanggil Bang Akmal itu mengajak 74 peserta yang hadir
untuk sama-sama mempelajari bagaimana perang pemikiran bekerja di berbagai
lini. “Dalam ghazwul fikri ada tiga
alat yang biasa digunakan untuk melakukan serangan yaitu yang pertama media
massa kedua pendidikan dan yang ketiga sosial budaya,” ungkap Akmal.
Saat
membahas ketiga alat tersebut, Akmal memberikan contoh cara penggunaannya
beserta contoh kasus yang telah terjadi di sekitar masyarakat, misalnya melalui
film. “Kita kenal seorang tokoh fiksi dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang sinetronnya bertahan hingga ratusan
episode. Karakter itu bernama H. Muhidin. Dia shalatnya rajin, lima waktu
selalu di masjid, dan ketika berangkat ke masjid selalu mengganti baju dengan
pakaian yang rapi. Namun, setiap hari kerjanya fitnah, ghibah, riya’, dengki dan
seterusnya,” ujar Akmal, di pertemuan kedua SPI Jakarta Angkatan ke-9 ini.
Akmal
bercerita bahwa dirinya pernah ditanya oleh ibu-ibu saat mengisi kajian mengenai
fenomena ini. “Saya pernah ditanya mengenai Haji Muhidin ini. ‘Kenapa ada sih
yang rajin ibadah tapi akhlaknya buruk?’. Lalu saya ajak merenung, apakah ada orang
yang rajin ibadah tapi buruk akhlaknya, seburuk akhlaqnya Haji Muhidin? Saya
rasa tidak ada, dan nyatanya memang tidak ada,” tandasnya lagi.
“Itulah
cara kerja ghazwul fikri melalui
film, yaitu menciptakan suatu fiksi yang bertentangan dengan realita sehingga
orang awam menyangkanya sebagai realita. Efeknya, orang jadi tidak yakin dengan
agamanya sendiri, karena mereka yakin bahwa ibadah yang baik tidak memperbaiki
akhlak. Padahal kenyataannya, di tengah-tengah masyarakat, yang akhlaknya baik
itu adalah yang ibadahnya baik,” pungkas peneliti INSISTS ini mengakhiri
uraiannya. [rahmad/abe/islamedia]