Islamedia - Disadari atau
tidak, perkembangan teknologi banyak mempengaruhi metode pembelajaran. Setelah datangnya era
internet, belajar-mengajar dapat dilakukan di dua daerah yang berbeda; bisa beda kota,
beda provinsi, beda negara, bahkan beda benua. Tidak heran, kajian-kajian
keislaman sekarang berlomba-lomba memanfaatkan teknologi yang ada untuk
menyebarluaskan materi kelasnya, mulai dari memanfaatkan alat perekam suara,
perekam video, sampai dengan live
streaming. Akan tetapi, seolah melawan arus teknologi, Sekolah Pemikiran Islam (SPI) justru mengambil sikap berlawanan. Lembaga pendidikan ini mengharamkan siswanya
untuk melakukan live
streaming, merekam video, mengambil foto, atau mengkopi file presentasi dari pengajar.
Hal ini
disampaikan oleh M. Fahim Ilmi, Kepala Sekolah SPI Jakarta, pada kelas perdana SPI Jakarta
untuk Angkatan ke-9, Rabu
(19/09), di Aula INSISTS, Kalibata. “(Peserta) tidak diperkenankan untuk
merekam, memotret maupun mengkopi presentasi yang diberikan selama perkuliahan
dan tidak diperkenankan pula menyebarluaskan materi perkuliahan kepada pihak lain
atas nama SPI,” jelas Fahim saat membacakan Peraturan dan Tata Tertib
SPI Jakarta kepada puluhan peserta yang hadir.
Meskipun
Peraturan dan Tata Tertib tersebut telah disampaikan beberapa jam sebelumnya
melalui surat elektronik, hal ini tetap menimbulkan pertanyaan bagi para siswa
SPI. Menjawab keheranan peserta, Akmal Sjafril, Kepala SPI Pusat yang juga pegiat #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) menyampaikan alasan dari segala pelarangan itu.
“Kemudahan
teknologi memang banyak manfaatnya pada kajian-kajian ilmu, misalnya dapat membantu
penyebaran materi secara lebih
luas. Jika menonton kajian dari rekaman, kita juga dapat memilih pause jika ada kebutuhan, untuk diteruskan
kembali di saat luang,” ungkap Akmal.
“Namun segala kemudahan tersebut juga memberikan kekurangan, yakni mengurangi konsentrasi siswa saat kelas berlangsung. Hal ini terjadi justru karena kita punya pilihan
untuk menekan tombol pause tadi.
Karena itu, belajar langsung di kelas tetap lebih baik ketimbang menonton
rekaman,” tutur Akmal lagi.
Akmal juga menjelaskan
bahwa kebijakan SPI seperti demikian juga dilatari keinginan untuk
mengembalikan adab keilmuan di Islam itu sendiri, yakni dengan metoda talaqqi. “Sebagaimana telah kita ketahui bersama, metode pembelajaran yang paling efektif
adalah dengan belajar langsung kepada guru. Hal-hal lain termasuk buku, rekaman suara, video dan sebagainya adalah sarana tambahan saja,” pungkas Akmal.
Larangan merekam
dan penyebarluaskan materi pembelajaran hanyalah satu dari sebelas poin peraturan dan tata tertib SPI Jakarta yang disampaikan
pada malam itu. Menurut Fahim,
pengurus tidak segan-segan
untuk mengeluarkan peserta yang tidak patuh terhadap peraturan. “Dalam menegakkan aturan, slogan SPI adalah ‘tangan
besi, darah dingin dan gelap mata’,” seloroh Fahim yang
diikuti oleh gelak tawa peserta. [hasan/abe/islamedia]