Islamedia - Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi mengimbau agar deklarasi #2019GantiPresiden tidak digelar di Jawa Barat (Jabar).
Imbauan Zainut tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap pernyataan MUI Jabar yang tidak menginginkan adanya kericuhan dan bentrok antara #2019GantiPresiden dengan kubu yang kontra.
"Kami mendukung imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat agar deklarasi tagar #2019GantiPresiden tidak digelar di Jabar," Ujar Zainut dalam siaran pers seperti dilansir republika, Kamis (2/8/2018).
Zainut beralasan bahwa khawatir gerakan tersebut dapat menimbulkan konflik di tengah panasnya suhu politik. Bahkan MUI Pusat juga berharap jika memungkinkan agar hal tersebut tidak dilakukan di manapun di seluruh wilayah Indonesia.
Sikap hati-hati MUI ini menurut Zainut, semata-mata didasarkan pada ikhtiar untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan (mafsadat) berupa konflik, gesekan hingga ancaman perpecahan bangsa. Dalam agama pun, mencegah terjadinya kerusakan memang harus didahulukan daripada untuk membangun kemaslahatan.
"Ini terdapat juga dalam kaidah fiqih dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih yang artinya menghindarkan kerusakan harus lebih didahulukan dibandingkan mendatangkan kebaikan," terangnya.
Oleh karena itu, MUI mengimbau kepada elite politik hendaknya bisa menahan diri dan tidak terjebak pada kegiatan politik praktis. Apalagi, sampai memicu konflik dan gesekan di masyarakat yang ujungnya dapat mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa.
Indonesia, ujar dia, yang merupakan negara demokrasi tidak ada larangan untuk menyuarakan aspirasi mengganti presiden maupun mempertahankan presiden. Hanya saja ia menyarankan agar aspirasi tersebut dilakukan dengan benar dan tidak merusak nilai demokrasi itu sendiri.
"Jika dilakukan sesuai dengan etika, akhlak dan semangat untuk menjaga ukhuwah atau persaudaraan baik ukhuwah Islamiyah maupun ukhuwah wathaniyah ya boleh-boleh saja," ucapnya.
Misalnya, kata Zainut, terkait dengan kampanye, propaganda atau ajakan untuk mengganti atau mempertahankan presiden harus dilakukan pada waktunya. Yaitu, ketika sudah memasuki masa kampanye pemilu.
Sehingga, masyarakat dapat memahami bahwa hal tersebut merupakan bagian dari proses demokrasi yang sehat, beradab dan mencerdaskan. Bukan bentuk demokrasi yang hanya didasarkan pada syahwat politik untuk berkuasa semata.
MUI Jabar sebelumnya mengeluarkan imbauan semua pihak bisa menahan diri terkait dinamika politik saat ini. Ini seperti adanya kegiatan deklarasi ganti presiden oleh kelompok tertentu di masyarakat dengan mengusung tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden. [islamedia].
Imbauan Zainut tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap pernyataan MUI Jabar yang tidak menginginkan adanya kericuhan dan bentrok antara #2019GantiPresiden dengan kubu yang kontra.
"Kami mendukung imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat agar deklarasi tagar #2019GantiPresiden tidak digelar di Jabar," Ujar Zainut dalam siaran pers seperti dilansir republika, Kamis (2/8/2018).
Zainut beralasan bahwa khawatir gerakan tersebut dapat menimbulkan konflik di tengah panasnya suhu politik. Bahkan MUI Pusat juga berharap jika memungkinkan agar hal tersebut tidak dilakukan di manapun di seluruh wilayah Indonesia.
Sikap hati-hati MUI ini menurut Zainut, semata-mata didasarkan pada ikhtiar untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan (mafsadat) berupa konflik, gesekan hingga ancaman perpecahan bangsa. Dalam agama pun, mencegah terjadinya kerusakan memang harus didahulukan daripada untuk membangun kemaslahatan.
"Ini terdapat juga dalam kaidah fiqih dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih yang artinya menghindarkan kerusakan harus lebih didahulukan dibandingkan mendatangkan kebaikan," terangnya.
Oleh karena itu, MUI mengimbau kepada elite politik hendaknya bisa menahan diri dan tidak terjebak pada kegiatan politik praktis. Apalagi, sampai memicu konflik dan gesekan di masyarakat yang ujungnya dapat mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa.
Indonesia, ujar dia, yang merupakan negara demokrasi tidak ada larangan untuk menyuarakan aspirasi mengganti presiden maupun mempertahankan presiden. Hanya saja ia menyarankan agar aspirasi tersebut dilakukan dengan benar dan tidak merusak nilai demokrasi itu sendiri.
"Jika dilakukan sesuai dengan etika, akhlak dan semangat untuk menjaga ukhuwah atau persaudaraan baik ukhuwah Islamiyah maupun ukhuwah wathaniyah ya boleh-boleh saja," ucapnya.
Misalnya, kata Zainut, terkait dengan kampanye, propaganda atau ajakan untuk mengganti atau mempertahankan presiden harus dilakukan pada waktunya. Yaitu, ketika sudah memasuki masa kampanye pemilu.
Sehingga, masyarakat dapat memahami bahwa hal tersebut merupakan bagian dari proses demokrasi yang sehat, beradab dan mencerdaskan. Bukan bentuk demokrasi yang hanya didasarkan pada syahwat politik untuk berkuasa semata.
MUI Jabar sebelumnya mengeluarkan imbauan semua pihak bisa menahan diri terkait dinamika politik saat ini. Ini seperti adanya kegiatan deklarasi ganti presiden oleh kelompok tertentu di masyarakat dengan mengusung tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden. [islamedia].