Islamedia - Gubernur Jawa Barat terpilih Ridwan Kamil (Emil) membantah bahwa dirinya adalah penganut Syiah. Emil menegaskan bahwa dirinya adalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Pernyataan Emil ini disampaikan secara terbuka dalam sebuah Kajian Shubuh yang dipimpin Ustadz Adi Hidayah di Bandung pada hari Ahad, 15 Juli 2018.
Penegasan bahwa dirinya bukan syiah saat menjawab pertanyaan dari Ustadz Adi Hidayat terkait kabar yang beredar.
"Ada yang mengeluarkan statement bahwa kang Emil itu Syiah, Kang Emil aja yang sampaikan seperti apa itu yang sebenarnya" tanya Ustadz Adi.
Berikut ini penjelasan lengkap Ridwan kamil.
Dunia saya berubah sejak menjadi publik figur, sebelumnya hal-hal pribadi belum pernah menjadi sorotan. Tapi sejak menjadi publik figur, hidup saya banyak ditafsir. Saya pakai peci hitam ditafsir, ganti peci putih ditafsir. Saya pakai baju beda ditarsir. Jadi saya menghadapi rutinitas lisan saya, tulisan saya, gestur tubuh saya itu ditafsir. Kebanyakan yang menafsir ini tidak tabayun, tidak memahami konteks secara keseluruhan. Mendengan katanya sepotong-sepotong, kemudian disebarkan dan tafsir itu dipercayai. Sehingga saya mengalami kesulitan untuk menjelaskan satu-satu karena kalau didengarkan semua omongan orang kan susah, jadi yang penting saya tidak membohongi diri kepada Allah subhanahu wataala.
Dan saya juga tidak mengerti terhadap fitnah-fitnah yang hadir. Pertama saya ini mengurusi 8 pesantren keluarga, namanya pesantren pagelaran 1 sampai pagelaran 8. Itu diwariskan oleh kakek saya dari ayah saya seorang Ulama Nahdlotul Ulama KH Muhyidin. Beliau adalah panglima Hizbullah pada zamannya, yang membela NKRI. Sampai dipenjara oleh Belanda, kakek saya di Sukamiskin 2 kali, Uwa saya syahid/gugur membela Indonesia di Ujung Berung bersama santri-santri Nahdlotul Ulama.
Didalam pesantren kami KH Muhyidin kakek saya itu juga mengarang banyak kitab, salah satu kitabnya adalah judulnya Keutamaan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Jadi itulah yang diajarkan dan dijadikan pedoman. Saya berislam sesuai yang diajarkan orang tua saya dan kakek saya, bahkan mensyiarkan ASWAJA didalam kepesantrenan yang umurnya sudah 100 tahun. Karena pesantren kami didirikan 1918, jadi tahun ini milad 100 tahun.
Saya duga, dulu ada kejadian yang mungkin dihubung-hubungkan. Kelompok itu (syiah) mengadakan acara disebuah tempat di Bandung. Saya posisi sedang di Jakarta, tiba-tiba polisi menelepon.
"Pa Ridwan ini kemungkinan ada kerusuhan, karena ternyata acaranya dibatalkan, orangnya sudah banyak dijalanan, sehingga ada bentrokkan. Tolong ambil keputusan" tanya sang Polisi.
Saya kapasitas sebagai walikota mengatakan :"Pak Polisi pindahkan ke tempat yang secara keamanan itu aman untuk nyawa warga saya. Saya bilang pindahkan saja, mungkin yang kosong ada dimana".
Kata Pa Polisi ada di Stadion Sidolig.
"Ya sudah pindahkan saja kesana" jawab Emil.
Jadi saya mengambil keputusan atas nama keselamatan, kemudian ditafsir bahwa saya memfasilitasi sebuah kegiatan kelompok itu. Kira-kira begitu.
Dari situlah saya berkali-kali sampai saya datang ke masjid Al Fajr untuk bersaksi didepan KH Athian Ali. Sampai saya bersama ibu saya untuk menerangkan.
Sebagai seorang pribadi saya agak sedih, karena harus disidang. Tapi atas nama kebenaran saya datangi.
(baca juga : Dihadapan Ustadz Adi Hidayat Ridwan Kamil Tegaskan Menolak Prilaku LGBT).
[islamedia].
Pernyataan Emil ini disampaikan secara terbuka dalam sebuah Kajian Shubuh yang dipimpin Ustadz Adi Hidayah di Bandung pada hari Ahad, 15 Juli 2018.
Penegasan bahwa dirinya bukan syiah saat menjawab pertanyaan dari Ustadz Adi Hidayat terkait kabar yang beredar.
"Ada yang mengeluarkan statement bahwa kang Emil itu Syiah, Kang Emil aja yang sampaikan seperti apa itu yang sebenarnya" tanya Ustadz Adi.
Berikut ini penjelasan lengkap Ridwan kamil.
Dunia saya berubah sejak menjadi publik figur, sebelumnya hal-hal pribadi belum pernah menjadi sorotan. Tapi sejak menjadi publik figur, hidup saya banyak ditafsir. Saya pakai peci hitam ditafsir, ganti peci putih ditafsir. Saya pakai baju beda ditarsir. Jadi saya menghadapi rutinitas lisan saya, tulisan saya, gestur tubuh saya itu ditafsir. Kebanyakan yang menafsir ini tidak tabayun, tidak memahami konteks secara keseluruhan. Mendengan katanya sepotong-sepotong, kemudian disebarkan dan tafsir itu dipercayai. Sehingga saya mengalami kesulitan untuk menjelaskan satu-satu karena kalau didengarkan semua omongan orang kan susah, jadi yang penting saya tidak membohongi diri kepada Allah subhanahu wataala.
Dan saya juga tidak mengerti terhadap fitnah-fitnah yang hadir. Pertama saya ini mengurusi 8 pesantren keluarga, namanya pesantren pagelaran 1 sampai pagelaran 8. Itu diwariskan oleh kakek saya dari ayah saya seorang Ulama Nahdlotul Ulama KH Muhyidin. Beliau adalah panglima Hizbullah pada zamannya, yang membela NKRI. Sampai dipenjara oleh Belanda, kakek saya di Sukamiskin 2 kali, Uwa saya syahid/gugur membela Indonesia di Ujung Berung bersama santri-santri Nahdlotul Ulama.
Didalam pesantren kami KH Muhyidin kakek saya itu juga mengarang banyak kitab, salah satu kitabnya adalah judulnya Keutamaan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Jadi itulah yang diajarkan dan dijadikan pedoman. Saya berislam sesuai yang diajarkan orang tua saya dan kakek saya, bahkan mensyiarkan ASWAJA didalam kepesantrenan yang umurnya sudah 100 tahun. Karena pesantren kami didirikan 1918, jadi tahun ini milad 100 tahun.
Saya duga, dulu ada kejadian yang mungkin dihubung-hubungkan. Kelompok itu (syiah) mengadakan acara disebuah tempat di Bandung. Saya posisi sedang di Jakarta, tiba-tiba polisi menelepon.
"Pa Ridwan ini kemungkinan ada kerusuhan, karena ternyata acaranya dibatalkan, orangnya sudah banyak dijalanan, sehingga ada bentrokkan. Tolong ambil keputusan" tanya sang Polisi.
Saya kapasitas sebagai walikota mengatakan :"Pak Polisi pindahkan ke tempat yang secara keamanan itu aman untuk nyawa warga saya. Saya bilang pindahkan saja, mungkin yang kosong ada dimana".
Kata Pa Polisi ada di Stadion Sidolig.
"Ya sudah pindahkan saja kesana" jawab Emil.
Jadi saya mengambil keputusan atas nama keselamatan, kemudian ditafsir bahwa saya memfasilitasi sebuah kegiatan kelompok itu. Kira-kira begitu.
Dari situlah saya berkali-kali sampai saya datang ke masjid Al Fajr untuk bersaksi didepan KH Athian Ali. Sampai saya bersama ibu saya untuk menerangkan.
Sebagai seorang pribadi saya agak sedih, karena harus disidang. Tapi atas nama kebenaran saya datangi.
(baca juga : Dihadapan Ustadz Adi Hidayat Ridwan Kamil Tegaskan Menolak Prilaku LGBT).
[islamedia].