Islamedia - Sudan dan Libya telah menyetujui normalisasi hubungan tegang mereka dan mengamankan perbatasan bersama.
Diberitakan Middle East Monitor, dalam sebuah konferensi
pers bersama dengan Perdana Menteri Libia Fayez Mustafa al-Sarraj di ibukota
Khartoum pada Minggu, Presiden Sudan Omer Al-Bashir menyatakan dukungannya
untuk pemerintahan Libya yang diakui secara internasional dan stabilitas negara
tersebut.
Kunjungan pimpinan Libya tersebut terjadi di tengah
keributan yang meletus pada Juli lalu, saat Libya memerintahkan penutupan
Konsulat Sudan di kota Kofra, di Tenggara Libya, dan mengusir 12 diplomat.
Pimpinan Sudan menolak adanya “agenda” lain di Libya
dan mengatakan, “ Prioritas pertama, kedua dan terakhir kami adalah kepentingan
bangsa Libya.”
Bashir mengatakan stabilitas di Libya juga memengaruhi
keamanan nasional di Sudan.
“Kami secara
langsung terpengaruh oleh ketidakamanan dalam agenda Libya, termasuk harga yang
kami bayar untuk memerangi perdagangan manusia, migrasi ilegal dan kejahatan
transit,” ujar Bashir.
Dia menegaskan bahwa kehadiran tentara bayaran Sudan
di antara para pejuang Libya merupakan ancaman langsung terhadap kemanan Sudan.Perdana Menteri Libya, pada bagiannya, mengatakan bahwa mereka sepakat untuk sepenuhnya menormalisasi hubungan yang bergejolak, dan menambahkan bahwa kesepakatan sebelumnya untuk integrasi penuh antara kedua negara akan dilaksanakan.
“Kami akan belajar dari pelajaran dan kesalahan sebelumnya, yang bertujuan untuk membangun hubungan yang kuat antara kedua negara,” kata Sarraj.
“Kami juga telah membicarakan upaya bersama untuk mengamankan perbatasan bersama dan untuk mengaktifkan perjanjian keamanan sebelumnya dalam hal ini,” ujar Perdana Menteri Libya. [islamedia/abe]