Izinkan saya memulai tulisan ini dengan sebuah pernyataan: Politik tanpa cerita adalah sebuah kekacauan. Tanpa kemampuan menyusun dan menyampaikan cerita dengan baik, pemerintah hanya akan menghasilkan kebijakan yang memancing keributan belaka
Islamedia - Izinkan saya memulai tulisan ini dengan sebuah pernyataan: Politik tanpa cerita adalah sebuah kekacauan. Tanpa kemampuan menyusun dan menyampaikan cerita dengan baik, pemerintah hanya akan menghasilkan kebijakan yang memancing keributan belaka! Mari kita lihat contohnya:
Hari-hari belakangan ini, seperti juga terjadi di koran dan televisi, linimasa media sosial kita diramaikan oleh polemik dan perdebatan mengenai kebijakan Mendikbud tentang sekolah lima hari. Sejak awal, kebijakan yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 itu memang menuai banyak kontroversi.
Konon, alih-alih akan sesuai dengan tujuannya untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah, kebijakan ini dinilai justru akan mematikan eksistensi madrasah diniyah dan pesantren—selain membebani siswa dengan jam belajar yang terlalu panjang.
Belum tuntas Kemendikbud memberikan penjelasan mengenai kebijakan tersebut, Menteri Muhadjir sudah diserang habis-habisan oleh berbagai kalangan. Mulai dari organisasi NU dan pesantren yang melihat bahwa kebijakan ini tidak menghormati eksistensi lembaga pendidikan agama, para pengamat pendidikan yang menganggap konsep ‘delapan jam di sekolah’ yang mirip ‘full day school’ ini hanya akan membebani peserta didik, hingga para politisi yang menilai bahwa Menteri Muhadjir sudah ‘crossing the line’ dan karenanya harus diganti.
Bagi saya, ini sederhana saja, Menteri Muhadjir dan jajarannya di Kemendikbud memang gagal dalam hal story telling mengenai kebijakan ini. Seandainya kebijakan ini punya konteks ‘cerita’ lain yang mendukung, disampaikan dengan cara yang benar, dan didukung dengan penempatan ‘cerita’ yang baik, saya yakin kebijakan ini tak akan menimbulkan kegaduhan seheboh ini.
Saya percaya bahwa ‘public policy is also about story telling’. Lihat saja, hampir semua kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebelumnya Kementerian Pendidikan Nasional), mulai dari soal kurikulum hingga ujian nasional, selalu menimbulkan polemik. Padahal, saya yakin betul semua kebijakan itu sudah melewati aneka kajian akademik, diskusi, dan rumusan panjang yang melibatkan para ahli. Artinya, kebijakan-kebijakan tersebut pasti punya legitimasinya masing-masing, dari sudut pandang akademik maupun politik kebijakan, namun sering lupa memikirkan bagaimana ‘story telling’-nya.
***
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu langsung dengan Menteri Muhadjir yang berinisiatif mengumpulkan para penulis, blogger dan internet influencers. Kepada sekitar dua puluh orang di antara kami, Pak Menteri bercerita panjang lebar mengenai kebijakannya soal sekolah lima hari itu. Ia bercerita dengan wajah yang terlihat lelah, setelah hampir dua jam, saya mulai bisa melihat gambar besar kebijakan ini dan berkesimpulan bahwa ini sama sekali bukan kebijakan yang buruk! Masalahnya, mengapa sampai menimbulkan kegaduhan?
Setelah pertemuan itu, saya membaca banyak sekali berita dan rilis Kemendikbud mengenai kebijakan ini. Saya juga membaca aneka artikel yang ditulis para ahli dan pengamat yang ‘mendukung’ kebijakan Menteri Muhadjir ini. Tetapi, mengapa saya tak menemukan apa yang disampaikan oleh Pak Menteri di acara pertemuan yang saya hadiri? Mengapa ‘rasa cerita’-nya menjadi sama sekali berbeda? Inilah yang membuat saya menyimpulkan bahwa kebijakan Menteri Muhadjir ini adalah contoh lain kegagalan melakukan story telling dalam sebuah kebijakan.
Kebijakan sekolah lima hari ini sebenarnya berpangkal pada dua persoalan mendasar: Pertama, soal hak dan kewajiban guru sebagai pendidik. Kedua, soal pentingnya memberikan kesempatan kepada para siswa agar punya kehidupan yang seimbang di dalam dan di luar sekolah—yang salah satunya bisa dilakukan dengan cara memberikan hari libur lebih banyak agar para peserta didik ini punya waktu lebih luang bersama orangtua dan keluarga. Ujung dari dua agenda itu adalah mengurangi satu hari sekolah dalam seminggu, dari enam hari menjadi lima hari. Mari kita bahas satu per satu.
Selama ini para guru, terutama yang berstatus sebagai PNS, dibebani kewajiban mengajar, atau melakukan aktivitas lain sebagai pendidik, sebanyak delapan jam sehari atau 40 jam seminggu. Ini tentu sesuai dengan kewajiban jam kerja PNS lain sesuai aturan. Karena kacaunya menejemen sekolah dan guru ini, untuk memenuhi kewajibannya banyak para guru di lapangan yang harus bekerja dan mengajar di banyak sekolah. Misalnya, selesai mengajar di sekolah A, harus langsung pergi ke sekolah B atau C agar bisa memenuhi beban mengajarnya.
Menteri Muhadjir melihat fenomena di atas sebagai sebuah kekacauan yang tak boleh dibiarkan. Pertama, jika hal semacam itu diteruskan, manajemen sekolah tidak akan kunjung membaik. Ujungnya nanti soal pemerataan kualitas sekolah, tentu saja. Kedua, kasihan juga guru-gurunya, mereka akan kesulitan untuk berkonsentrasi, apalagi meningkatkan kualitas dan kapasitas individunya sabagai seorang guru. Kapan waktunya?
Nah, dengan kebijakan baru dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 ini, konon para guru akan lebih difokuskan untuk mengabdi di satu sekolah saja. Saat ia tidak mengajar, ia tidak dibebani oleh kewajiban jam mengajar yang lain tetetapi diberi ruang untuk melakukan tugas lain sebagai pendidik—semua aspek pendidikan yang bukan hanya ‘mengajar’ saja (sebab tafsir 40 jam seminggu yang berlaku selama ini untuk para guru, harus direalisasikan dengan jumlah jam ajar). Ini tentu bagus untuk sekolah, bukan? Bagus juga untuk para guru, meringankan dan memberi mereka ruang lebih banyak untuk mengembangkan kualitas individunya.
Mengapa perlu lima hari dalam seminggu? Saya ingat betul penjelasan Menteri Muhadjir, “Ini agar para guru juga punya hak dan kewajiban yang sama dengan PNS lain. Sekarang guru itu kasihan, mereka Sabtu tetap harus bekerja.” Hal menarik lain juga saya ingat betul dari Menteri Muhadjir, “Kalau para guru di sekolah enam hari seminggu, kapan mereka punya waktu untuk berlibur bersama keluarga? Kapan punya cukup waktu untuk mendidik anaknya sendiri di rumah? Masak mendidik anak orang lain terus sementara untuk anak sendiri tak punya waktu?” Lihatlah argumen itu. Istimewa, bukan? Menurut saya, ini terobosan yang luar biasa!
Kedua, soal waktu yang lebih banyak untuk anak didik agar punya waktu libur lebih banyak sehingga bisa dihabiskan bersama keluarga, Sabtu dan Minggu. Saat ini, jika anak sekolah enam hari seminggu, praktis mereka hanya punya libur sehari saja dalam seminggu. Terlalu singkat untuk sebuah ‘liburan’ keluarga karena hanya akan membuat si anak lelah saja.
Menteri Muhadjir punya gagasan menarik soal ini, seandainya anak-anak hanya sekolah lima hari saja dalam seminggu maka meraka akan punya waktu lebih banyak bersama orangtuanya di hari libur yang sama. Ia juga memperluas gagasan ini untuk mengubah waktu libur sekolah yang lain, disinkronkan dengan waktu libur PNS dan karyawan lain… Selama ini, seringkali waktu libur sekolah tidak sinkron kan dengan waktu libur kerja orangtuanya? Dengan gagasan ini, diharapkan anak-anak akan lebih dekat dengan orangtuanya, punya waktu bersama lebih banyak. Bagus, bukan?
***
Lalu, bukankah sekolah lima hari dalam seminggu hanya akan membuat lima hari sekolah itu begitu padat, delapan jam sehari? Mau membuat semua sekolah jadi full day school? Tidak juga, coba lihat pasal 9 Permendikbud yang sama. Waktu delapan jam itu adalah waktu maksimal yang bisa diterapkan oleh sebuah sekolah, tapi sifatnya optional saja. Setiap sekolah bisa menyesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing, tentunya. Yag penting gurunya bekerja delapan jam sehari saja, anak-anak bisa diberi aktivitas lain yang positif di sekolah, mulai dari ekstrakurikuler, kegiatan seni dan olahraga, kegiatan agama, dan lainnya.
Di sinilah letak relevansi kebijakan ini pada penguatan pendidikan karakter: Jika dididik oleh guru-guru yang terperhatikan hak-hak individulnya, jika anak-anak memiliki keseimbangan psikologis yang lebih baik antara kehidupan di sekolah dan di rumah, maka misi menerapkan pendidikan karakter di sekolah bisa dimaksimalisasikan. Kemendikbud menerapkannya ke dalam empat aspek penting: Olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olahraga.
‘Olah hati’ bisa direalisasikan dengan menerapkan aneka pendidikan tambahan seputar agama, akhlak, dan lainnya. Tujuannya agar peserta didik punya kecerdasan etik (akhlak) yang tinggi. ‘Olah pikir’ direalisasikan dengan kegiatan belajar mengajar di kelas. ‘Olah rasa’ bisa direalisasikan dengan aneka ekstrakurikuler yang dapat meningkatkan kecerdasan estetik siswa, misalnya musik, seni, sastra dan lainnya. Terakhir, ‘olahraga’, dengan waktu yang cukup di sekolah, siswa juga bisa didorong untuk menjadi individu yang lebih aktif dan sehat.
Mengingat bahwa delapan jam sehari itu optional untuk sekolah dalam penerapannya, Kemendikbud tetap memberi ruang untuk para siswa atau orangtua yang ingin anaknya punya ‘pendidikan’ lain di luar sekolah. Bentuknya bisa apa saja, bisa les bahasa, private, kursus, dan tentu saja pendidikan agama di madrasah diniyah atau pesantren. Tak ada pembatasan sama sekali soal itu. Sudah bagus, kan?
Namun, mengapa aspek-aspek dan penjelasan semacam ini tidak dilakukan, ya? Mengapa Kemendikbud justru memilih masuk dan terlibat ke dalam arena polemik dan perdebatan soal peraturan ini? Sampai jauh ke soal NU vs Muhammadiyah? Sampai soal sejarah pendirian bangsa?
Baiklah, mudah-mudahan tulisan saya ini membantu Kemendikbud dan Menteri Muhadjir dalam hal ‘story telling’ kebijakan ini. Ha!
***
Akhirnya, seperti saya katakan di awal, politik tanpa cerita hanya akan menimbulkan kekacauan belaka. Sebuah kebijakan tanpa cara bercerita yang baik hanya akan menimbulkan malapetaka. Tetapi, kebijakan ini sekarang sudah terlanjur menjadi ‘cerita’ juga… Yang tafsirnya sulit dimengerti, yang fragmennya tidak utuh, lalu memancing cerita lain untuk mengalahkan dan melawannya.
Jika ada yang yang mengatakan bahwa kebijakan ini sedang dipolitisasi pihak tertentu untuk menggulingkan Menteri Muhadjir, mereka juga sedang membangun cerita, bukan? Sedang membangun sebuah narasi.
Pada akhirnya, itu dia, politik adalah pertarungan narasi. Argumen Menteri Muhadjir dan Kemendikbud bisa jadi benar dan mulia belaka, begitu juga argumen tandingannya bisa penting dan istimewa… Tetapi pada akhirnya, dalam sebuah pertarungan narasi, yang menang adalah mereka yang bisa bercerita dengan lebih baik, yang bisa menampilkan dan mengemas narasi itu dengan cara yang memikat dan meyakinkan. Akan tetapi, selain diperlawankan, dua narasi bisa juga disinergikan, bukan?
Mungkin, ini saatnya duduk bersama dan saling 'bercerita'. Berceritalah dengan baik.
Jakarta, 11 Agustus 2017
FAHD PAHDEPIE
- Entrepreneur, story teller.
Hari-hari belakangan ini, seperti juga terjadi di koran dan televisi, linimasa media sosial kita diramaikan oleh polemik dan perdebatan mengenai kebijakan Mendikbud tentang sekolah lima hari. Sejak awal, kebijakan yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 itu memang menuai banyak kontroversi.
Konon, alih-alih akan sesuai dengan tujuannya untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah, kebijakan ini dinilai justru akan mematikan eksistensi madrasah diniyah dan pesantren—selain membebani siswa dengan jam belajar yang terlalu panjang.
Belum tuntas Kemendikbud memberikan penjelasan mengenai kebijakan tersebut, Menteri Muhadjir sudah diserang habis-habisan oleh berbagai kalangan. Mulai dari organisasi NU dan pesantren yang melihat bahwa kebijakan ini tidak menghormati eksistensi lembaga pendidikan agama, para pengamat pendidikan yang menganggap konsep ‘delapan jam di sekolah’ yang mirip ‘full day school’ ini hanya akan membebani peserta didik, hingga para politisi yang menilai bahwa Menteri Muhadjir sudah ‘crossing the line’ dan karenanya harus diganti.
Bagi saya, ini sederhana saja, Menteri Muhadjir dan jajarannya di Kemendikbud memang gagal dalam hal story telling mengenai kebijakan ini. Seandainya kebijakan ini punya konteks ‘cerita’ lain yang mendukung, disampaikan dengan cara yang benar, dan didukung dengan penempatan ‘cerita’ yang baik, saya yakin kebijakan ini tak akan menimbulkan kegaduhan seheboh ini.
Saya percaya bahwa ‘public policy is also about story telling’. Lihat saja, hampir semua kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebelumnya Kementerian Pendidikan Nasional), mulai dari soal kurikulum hingga ujian nasional, selalu menimbulkan polemik. Padahal, saya yakin betul semua kebijakan itu sudah melewati aneka kajian akademik, diskusi, dan rumusan panjang yang melibatkan para ahli. Artinya, kebijakan-kebijakan tersebut pasti punya legitimasinya masing-masing, dari sudut pandang akademik maupun politik kebijakan, namun sering lupa memikirkan bagaimana ‘story telling’-nya.
***
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu langsung dengan Menteri Muhadjir yang berinisiatif mengumpulkan para penulis, blogger dan internet influencers. Kepada sekitar dua puluh orang di antara kami, Pak Menteri bercerita panjang lebar mengenai kebijakannya soal sekolah lima hari itu. Ia bercerita dengan wajah yang terlihat lelah, setelah hampir dua jam, saya mulai bisa melihat gambar besar kebijakan ini dan berkesimpulan bahwa ini sama sekali bukan kebijakan yang buruk! Masalahnya, mengapa sampai menimbulkan kegaduhan?
Setelah pertemuan itu, saya membaca banyak sekali berita dan rilis Kemendikbud mengenai kebijakan ini. Saya juga membaca aneka artikel yang ditulis para ahli dan pengamat yang ‘mendukung’ kebijakan Menteri Muhadjir ini. Tetapi, mengapa saya tak menemukan apa yang disampaikan oleh Pak Menteri di acara pertemuan yang saya hadiri? Mengapa ‘rasa cerita’-nya menjadi sama sekali berbeda? Inilah yang membuat saya menyimpulkan bahwa kebijakan Menteri Muhadjir ini adalah contoh lain kegagalan melakukan story telling dalam sebuah kebijakan.
Kebijakan sekolah lima hari ini sebenarnya berpangkal pada dua persoalan mendasar: Pertama, soal hak dan kewajiban guru sebagai pendidik. Kedua, soal pentingnya memberikan kesempatan kepada para siswa agar punya kehidupan yang seimbang di dalam dan di luar sekolah—yang salah satunya bisa dilakukan dengan cara memberikan hari libur lebih banyak agar para peserta didik ini punya waktu lebih luang bersama orangtua dan keluarga. Ujung dari dua agenda itu adalah mengurangi satu hari sekolah dalam seminggu, dari enam hari menjadi lima hari. Mari kita bahas satu per satu.
Selama ini para guru, terutama yang berstatus sebagai PNS, dibebani kewajiban mengajar, atau melakukan aktivitas lain sebagai pendidik, sebanyak delapan jam sehari atau 40 jam seminggu. Ini tentu sesuai dengan kewajiban jam kerja PNS lain sesuai aturan. Karena kacaunya menejemen sekolah dan guru ini, untuk memenuhi kewajibannya banyak para guru di lapangan yang harus bekerja dan mengajar di banyak sekolah. Misalnya, selesai mengajar di sekolah A, harus langsung pergi ke sekolah B atau C agar bisa memenuhi beban mengajarnya.
Menteri Muhadjir melihat fenomena di atas sebagai sebuah kekacauan yang tak boleh dibiarkan. Pertama, jika hal semacam itu diteruskan, manajemen sekolah tidak akan kunjung membaik. Ujungnya nanti soal pemerataan kualitas sekolah, tentu saja. Kedua, kasihan juga guru-gurunya, mereka akan kesulitan untuk berkonsentrasi, apalagi meningkatkan kualitas dan kapasitas individunya sabagai seorang guru. Kapan waktunya?
Nah, dengan kebijakan baru dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 ini, konon para guru akan lebih difokuskan untuk mengabdi di satu sekolah saja. Saat ia tidak mengajar, ia tidak dibebani oleh kewajiban jam mengajar yang lain tetetapi diberi ruang untuk melakukan tugas lain sebagai pendidik—semua aspek pendidikan yang bukan hanya ‘mengajar’ saja (sebab tafsir 40 jam seminggu yang berlaku selama ini untuk para guru, harus direalisasikan dengan jumlah jam ajar). Ini tentu bagus untuk sekolah, bukan? Bagus juga untuk para guru, meringankan dan memberi mereka ruang lebih banyak untuk mengembangkan kualitas individunya.
Mengapa perlu lima hari dalam seminggu? Saya ingat betul penjelasan Menteri Muhadjir, “Ini agar para guru juga punya hak dan kewajiban yang sama dengan PNS lain. Sekarang guru itu kasihan, mereka Sabtu tetap harus bekerja.” Hal menarik lain juga saya ingat betul dari Menteri Muhadjir, “Kalau para guru di sekolah enam hari seminggu, kapan mereka punya waktu untuk berlibur bersama keluarga? Kapan punya cukup waktu untuk mendidik anaknya sendiri di rumah? Masak mendidik anak orang lain terus sementara untuk anak sendiri tak punya waktu?” Lihatlah argumen itu. Istimewa, bukan? Menurut saya, ini terobosan yang luar biasa!
Kedua, soal waktu yang lebih banyak untuk anak didik agar punya waktu libur lebih banyak sehingga bisa dihabiskan bersama keluarga, Sabtu dan Minggu. Saat ini, jika anak sekolah enam hari seminggu, praktis mereka hanya punya libur sehari saja dalam seminggu. Terlalu singkat untuk sebuah ‘liburan’ keluarga karena hanya akan membuat si anak lelah saja.
Menteri Muhadjir punya gagasan menarik soal ini, seandainya anak-anak hanya sekolah lima hari saja dalam seminggu maka meraka akan punya waktu lebih banyak bersama orangtuanya di hari libur yang sama. Ia juga memperluas gagasan ini untuk mengubah waktu libur sekolah yang lain, disinkronkan dengan waktu libur PNS dan karyawan lain… Selama ini, seringkali waktu libur sekolah tidak sinkron kan dengan waktu libur kerja orangtuanya? Dengan gagasan ini, diharapkan anak-anak akan lebih dekat dengan orangtuanya, punya waktu bersama lebih banyak. Bagus, bukan?
***
Lalu, bukankah sekolah lima hari dalam seminggu hanya akan membuat lima hari sekolah itu begitu padat, delapan jam sehari? Mau membuat semua sekolah jadi full day school? Tidak juga, coba lihat pasal 9 Permendikbud yang sama. Waktu delapan jam itu adalah waktu maksimal yang bisa diterapkan oleh sebuah sekolah, tapi sifatnya optional saja. Setiap sekolah bisa menyesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing, tentunya. Yag penting gurunya bekerja delapan jam sehari saja, anak-anak bisa diberi aktivitas lain yang positif di sekolah, mulai dari ekstrakurikuler, kegiatan seni dan olahraga, kegiatan agama, dan lainnya.
Di sinilah letak relevansi kebijakan ini pada penguatan pendidikan karakter: Jika dididik oleh guru-guru yang terperhatikan hak-hak individulnya, jika anak-anak memiliki keseimbangan psikologis yang lebih baik antara kehidupan di sekolah dan di rumah, maka misi menerapkan pendidikan karakter di sekolah bisa dimaksimalisasikan. Kemendikbud menerapkannya ke dalam empat aspek penting: Olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olahraga.
‘Olah hati’ bisa direalisasikan dengan menerapkan aneka pendidikan tambahan seputar agama, akhlak, dan lainnya. Tujuannya agar peserta didik punya kecerdasan etik (akhlak) yang tinggi. ‘Olah pikir’ direalisasikan dengan kegiatan belajar mengajar di kelas. ‘Olah rasa’ bisa direalisasikan dengan aneka ekstrakurikuler yang dapat meningkatkan kecerdasan estetik siswa, misalnya musik, seni, sastra dan lainnya. Terakhir, ‘olahraga’, dengan waktu yang cukup di sekolah, siswa juga bisa didorong untuk menjadi individu yang lebih aktif dan sehat.
Mengingat bahwa delapan jam sehari itu optional untuk sekolah dalam penerapannya, Kemendikbud tetap memberi ruang untuk para siswa atau orangtua yang ingin anaknya punya ‘pendidikan’ lain di luar sekolah. Bentuknya bisa apa saja, bisa les bahasa, private, kursus, dan tentu saja pendidikan agama di madrasah diniyah atau pesantren. Tak ada pembatasan sama sekali soal itu. Sudah bagus, kan?
Namun, mengapa aspek-aspek dan penjelasan semacam ini tidak dilakukan, ya? Mengapa Kemendikbud justru memilih masuk dan terlibat ke dalam arena polemik dan perdebatan soal peraturan ini? Sampai jauh ke soal NU vs Muhammadiyah? Sampai soal sejarah pendirian bangsa?
Baiklah, mudah-mudahan tulisan saya ini membantu Kemendikbud dan Menteri Muhadjir dalam hal ‘story telling’ kebijakan ini. Ha!
***
Akhirnya, seperti saya katakan di awal, politik tanpa cerita hanya akan menimbulkan kekacauan belaka. Sebuah kebijakan tanpa cara bercerita yang baik hanya akan menimbulkan malapetaka. Tetapi, kebijakan ini sekarang sudah terlanjur menjadi ‘cerita’ juga… Yang tafsirnya sulit dimengerti, yang fragmennya tidak utuh, lalu memancing cerita lain untuk mengalahkan dan melawannya.
Jika ada yang yang mengatakan bahwa kebijakan ini sedang dipolitisasi pihak tertentu untuk menggulingkan Menteri Muhadjir, mereka juga sedang membangun cerita, bukan? Sedang membangun sebuah narasi.
Pada akhirnya, itu dia, politik adalah pertarungan narasi. Argumen Menteri Muhadjir dan Kemendikbud bisa jadi benar dan mulia belaka, begitu juga argumen tandingannya bisa penting dan istimewa… Tetapi pada akhirnya, dalam sebuah pertarungan narasi, yang menang adalah mereka yang bisa bercerita dengan lebih baik, yang bisa menampilkan dan mengemas narasi itu dengan cara yang memikat dan meyakinkan. Akan tetapi, selain diperlawankan, dua narasi bisa juga disinergikan, bukan?
Mungkin, ini saatnya duduk bersama dan saling 'bercerita'. Berceritalah dengan baik.
Jakarta, 11 Agustus 2017
FAHD PAHDEPIE
- Entrepreneur, story teller.
[islamedia]