Islamedia - Dua Pakar Amerika dalam artikelnya di surat kabar Washington Post (WP) menyatakan, Israel merupakan negara di dunia yang paling banyak melanggar HAM. Persoalan inilah yang menimbulkan stigma moral Yahudi Amerika. Apakah kami terus-terusan menerima negara yang mengharamkan pihak lain menikmati hak-haknya selamanya? tegasnya.
Selain itu, ini menimbulkan persoalan lain dari sisi pandang zionis yakni bahwa Israel menempuh politik dan cara yang bisa mengancam eksistensinya sendiri.
Mereka mempertanyakan, bukankah standar ganda memboikot negara-negara yang melanggar HAM, namun mengecualikan Israel. Sudah pasti itu standar ganda. Kami merasa sangat mengkhawatirkan jika Israel bisa bertahan, berbeda dengan perasaan kami terhadap negara lain.
Dua pakar Amerika tersebut yaitu Steven Levisky, guru besar urusan pemerintahan di Universitas Harvad dan Gleen Willy, dosen pembantu ilmu ekonomi dan hukum di Universitas Chichago menegaskan dalam artikel bersamanya itu bahwa berbeda dengan negara-negara yang diboikot (diberi sanksi dunia) seperti Korea Utara dan Suriah, bisa jadi pengaruh boikot kepada Israel sangat besar namun pemerintah penjajah zionis tidak merasakan ada sanksi atas tindakan kebodohannya karena mendapatkan dukungan moril dari Amerika yang besar berupa investigasi, perdagangan dan dukungan diplomasi.
“Kami sekarang menjadi kikuk dan serba salah. Pemukiman Yahudi illegal di wilayah Palestina makin meluas. Kecenderungan baru warga Yahudi akan mengendalikan pemerintah Israel. Bisakah Israel mengubah situasi. Kami (Amerika) mendukung pemerintah Israel selama bertahun-tahun. Kami dukung Israel meski mereka berbeda pandangan dengan kami dengan harapan jika Israel aman itu akan membantunya bertahan dalam jangka panjang.” tegas artikel tersebut seperti dilansir infopalestina, Rabu (04/11/2015).
Kedua pakar Amerika ini menegaskan, strategi Israel terbukti gagal dan para pendukung Israel berubaha menjadi unsur pengokoh namun menyedihkan. Kini tidak ada lagi peluang riil bagi Israel untuk mengambil keputusan sulit untuk menjamin bisa bertahan jika tidak ada tekanan dari luar.
Steven dan Gleen meminta pemerintah Amerika menarik dukungan dan bantuannya. “Bagi pendukung Israel, setiap tekanan mereka kepada Israel hanya menyakitkan karena tidak digubris. Cara satu-satunya agar Israel menganggap tekanan itu serius adalah menarik bantuan Amerika dan dukungan diplomasinya serta menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Israel”, tegas mereka.
“Boikot komoditas Israel dari pemukiman Yahudi saja tidak akan berpengaruh agar mereka berubah fikiran sekarang. Kita harus memaksa; kami tegaskan dengan kuat bahwa kami menolak tegas Israel dan memboikot komoditas mereka dan menyerukan perguruan tinggi kami menghentikan dukungannya dan wakil rakyat kami juga menarik dukungan kepada Israel.” tulis mereka.
Menurut kedua akademisi Amerika ini, Israel tidak serius dalam pembicaraan damai untuk mendirikan negara Palestina berdaulat atau memberikan hak demokratis kepada Palestina yang tinggal di sana. Kami tidak mampu mendukung pemerintah yang perilakunya mengancam eksistensinya sendiri pada jangka panjang.
Menurut mereka, dukungan Amerika kepada Israel terfokus dalam dua hal; eksistensi negara menjadi hal darurat untuk menjaga dan melindungi bangsa kami (yahudi) dari bencana di masa depan. Kedua, negara yahudi apapun harus demokratis dengan menjunjung tinggi HAM dunia sehingga jangan sampai terjadi lagi Holocoust yahudi di masa lalu. Namun, ada tindakan dan prosedur yang tidak demokratis untuk mempertahankan Israel seperti penjajahan Tepi Barat dan Jalur Gaza dan menghalangi Palestina untuk hidup di wilayah tersebut dengan hak-hak dasarnya.
Kedua peneliti Amerika ini menilai, Israel bertahan dengan sistem politik rasis diskriminatif yang hal itu diperingatkan oleh pendahulu Israel. Jumlah warga pemukim Yahudi di Tepi Barat bertambah 30 kali lipat dari 12 ribu di tahun 1980 menjadi 389 ribu sekarang. Hari demi hari, Tepi Barat dianggap sebagai bagian dari Israel setelah zona hijau yang memisahkan wilayah jajahan dengan non jajahan dihilangkan. Bahkan Roven Riflin, presiden Israel menyatakan, penguasaan atas Tepi Barat bukan polemik politik namun hal yang harus diwujudkan sebagai prinsip dasar zionisme modern.
Kedua pengamat Amerika ini memperkirakan, arogansi dan kekuasaan paksa Israel terhadap Palestina akan menyebabkan Israel terisolasi oleh barat yang demokratis. Bukan saja dukungan Eropa akan terkoreksi terhadap Israel, namun opini Amerika yang mendukung Israel dengan kuat di masa lalu sudah mulai berubah, terutama generasi millennium (2000).
Keduanya menilai, kecenderungan ekstrimisme masyarakat Israel saat ini atau kelompok ortodoks justru akan memecah belah masyarakat Israel yang membaur dan hidup di tengah masyarakat Palestina. Mereka akan kehilangan semangat saling toleransi. [islamedia/pip/YL]