Islam edia - Said Al-Yacoubi, 22 tahun, ialah seorang mahasiswa kedokteran tahun kelima di Universitas Islam Gaza dan seorang dokter magang...
Islamedia - Said Al-Yacoubi, 22 tahun, ialah seorang mahasiswa kedokteran tahun kelima di Universitas Islam Gaza dan seorang dokter magang di Rumah Sakit Eropa Gaza. Berikut ini adalah kisah nyatanya, menembus blokade Gaza demi menuntut ilmu kedokteran di Universitas Oxford, Inggris Raya.
Seiring dengan persiapanku meninggalkan Inggris, untuk kembali ke Gaza, macam-macam pikiran berseliweran di kepala. Ketika awalnya dulu aku mengurus lamaran visa agar bisa studi di Inggris, pikiranku tidak karuan. Kala itu aku sedang berusaha mengejar mimpi dan dilanda keraguan, apakah impianku akan menjadi kenyataan. Dalam bulan terakhir sebelum aku akhirnya tiba di Inggris pada 18 Juni, aku merasa capek dan letih ketika akhirnya melengkapi aplikasi visa dan berusaha ikut prosedur yang benar demi memperoleh izin meninggalkan Gaza. Aku bertanya-tanya, "Haruskah aku terus berupaya keluar dari Gaza yang tampaknya mustahil, ataukah aku menyerah saja dari impianku?"
Ceritanya dua tahun lalu aku diterima untuk mengikuti program pelatihan klinikal di Universitas Oxford. Hingga waktu itu, aku tidak percaya bahwa sejumlah impian benar-benar bisa jadi nyata. Aku masih tidak percaya bahwa akhirnya aku benar-benar dapat berkesempatan untuk bertandang dan mengikuti pelatihan di salah satu universitas ternama di dunia. Orang-orang mengatakan kepadaku bahwa aku tidak punya secuilpun peluang untuk bisa diterima. Sehingga ketika ternyata aku diterima, aku benar-benar tak percaya. Aku terpilih menjadi satu di antara 50 mahasiswa dari seluruh dunia yang terseleksi mengikuti pelatihan di Oxford. Programnya sendiri berupa kursus selama dua bulan, tetapi itu benar0benar kesempatan sekali seumur hidup.
Apa yang mengkhawatirkanku selama beberapa bulan terakhir sebelum datang ke Inggris adalah, bagaimana aku bisa keluar dari Gaza. Satu-satunya cara meninggalkan Gaza ialah melalui pintu perlintasan Rafah di perbatasan Mesir, atau melalui Erez, yang menuju ke tanah Palestina yang dijajah Israel. Dan pada saat itu, keduanya seperti sama-sama tidak mungkinnya bagiku.
Aku menyerah kalau lewat Mesir, karena pintu Rafah ditutup hingga pemberitahuan selanjutnya. Prospeknya tipis, sebab gerbang Rafah cuma dibuka total hanya dua bulan selama dua tahun belakangan. Otoritas Mesir biasanya membuka gerbang selama tidak lebih dari hari setiap satu atau dua bulan. Apa yang membuat aku bakal diberi perioritas di atas ribuan pasien dan pelajar yang perlu meninggalkan Gaza, pikirku.
Maka, aku mencoba ke Erez sebagai harapan terakhirku. Perlintasan Erez dijaga sangat ketat dan dibatasai hanya untuk orang tertentu seperti jurnalis, politisi, serta pekerja LSM. Jika kamu termasuk yang beruntung, maka kamu selanjutnya akan melewati tanah Palestina terjajah, kemudian masuk ke Tepi Barat, dan lalu ke Jordan. Dari Jordan, kamu dapat ambil penerbangan ke luar, karena kami di Palestina tidak diperbolehkan memiliki bandara sendiri oleh penjajah kami. Di tengah segala kemuskilan itu, aku mendaftarkan namaku untuk memperoleh izin pergi melewati perlintasan Erez.
Prosedurnya begitu kompleks. Pertama-tama kamu harus mengirim aplikasi untuk sesuatu yang disebut surat "tidak keberatan" dari kedubes Jordan di Ramallah. Aku menunggu jawaban selama sekitar enam minggu. Tetapi ketika saya dapat kata "ya", masih ada sedert kendala. Surat tadi harus dikirimkan pula dari Ramallah ke Gaza, karena dua "sayap" Palestina itu terpisah satu sama lain oleh Israel (yang aslinya sebenarnya tanah Palestina kami juga). Setelah semuanya tadi itu, aku menerima jawaban "tidak" dari otoritas Israel.
Aku seakan kehilangan harapan. Tidak ada yang benar dengan segala yang terjadi. Aku ini cuma berusaha untuk pergi dari negeriku hanya selama dua bulan, tetapi aku dihadapkan pada berbagai halangan. Kesempatan ikut pelatihan ini benar-benar jadi impianku. Aku memutuskan untuk terus mencoba, dan mengirim aplikasi untuk kali kedua kepada otoritas Israel, agar diizinkan melewati perlintasan Erez. Aku menghubungi organisasi-organisasi terkait. Aku meminta bantuan kepada sekolah kedokteranku di Gaza. Aku mendatangi Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Sipil, WHO, Palang Merah, badan pengungsi PBB UNRWA dan berbagai institusi lainnya. Aku berikhtiar setiap hari dari pagi hingga petang, menulis banyak email, menelepon sana-sini, hingga bolak-balik antar berbagai institusi.
Pada awal Juni, kami menerima kabar bahwa perlintasan Rafah akan dibuka untuk jangka waktu hanya sepekan dalam beberapa hari kemudian. Nomor registrasiku untuk melewati perlintasan Rafah adalah nomor 3000, sedangkan setiap harinya ada sekira 200 hingga 300 pelajar yang diperbolehkan lewat. Aku lagi-lagi kehilangan harapan.
Tetapi kemudian seperti tertimpa durian, keberuntungan datang. Pada 16 Juni, hari kelima dibukanya perlintasan Rafah, aku melihat namaku ada dalam daftar "pelajar yang diizinkan" melintas untuk hari Jumat berselang, yang tak lain adalah hari terakhir dibukanya pintu perlintasan. Aku benar-benar gembira sekaligus takut dalam waktu bersamaan, karena tidak ada jaminan bahwa gerbang rafah akan dibuka hingga selama itu. Aku menghubungi beberapa acquintances dan berusaha agar bisa pergi pada hari berikutnya, yakni hari Rabu.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan keras dua hari lamanya, akhirnya aku berhasil tiba di London pada tanggal 18 Juni. Pada hari Jumat, ternyata perlintasan Rafah ditutup hingga sekarang.
Aku berhasil memperoleh kesempatan untuk belajar di Oxford. Namun, saudaraku yang lainnya gagal dan masih banyak lagi yang terus mencoba. Di kelas asal universitasku, ada sekira 18 orang mahasiswa yang seharusnya menempuh perjalanan dan mengambil kursus serupa di Malaysia, Turki, Jordan, dan Jerman. Tetapi karena penutupan pintu perlintasan dan blokad selama delapan tahun, mereka semua kehilangan kesempatan mereka dan masih berada di Gaza setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun mencoba kesempatan untuk studi di luar negeri.
Kini, ketika aku sebentar lagi akan menuntaskan kursus pelatihanku di Oxford, visaku akan habis pada 21 Agustus. Aku tidak bakal diperbolehkan lagi tinggal di Inggris. Tetapi aku juga tidak akan diizinkan memasuki bumi Mesir hingga pintu perlintasan Rafah dibuka kembali. Aku pun tidak bisa mengirim aplikasi untuk perpanjangan visa, karena beban biaya yang kelewat besar bagiku dan itupun aku harus sudah punya paspor di tangan ketika sewaktu-waktu pintu perbatasan dibuka. Adapun untuk pergi ke negara lainnya, aku membutuhkan sebuah visa kunjungan, yang membutuhkan waktu lama. Sehingga pilihanku yang benar-benar nyata ialah hanya menanti.
Menjadi seorang Palestina berarti proses menjalani penderitaan tak berkesudahan. Jika engkau seorang warga Gaza, penderitaanmu bahkan bisa lebih buruk lagi. Akankah semua ini berakhir? Tiada seorangpun ada yang tahu. (mondoweiss/ismed)
Seiring dengan persiapanku meninggalkan Inggris, untuk kembali ke Gaza, macam-macam pikiran berseliweran di kepala. Ketika awalnya dulu aku mengurus lamaran visa agar bisa studi di Inggris, pikiranku tidak karuan. Kala itu aku sedang berusaha mengejar mimpi dan dilanda keraguan, apakah impianku akan menjadi kenyataan. Dalam bulan terakhir sebelum aku akhirnya tiba di Inggris pada 18 Juni, aku merasa capek dan letih ketika akhirnya melengkapi aplikasi visa dan berusaha ikut prosedur yang benar demi memperoleh izin meninggalkan Gaza. Aku bertanya-tanya, "Haruskah aku terus berupaya keluar dari Gaza yang tampaknya mustahil, ataukah aku menyerah saja dari impianku?"
Ceritanya dua tahun lalu aku diterima untuk mengikuti program pelatihan klinikal di Universitas Oxford. Hingga waktu itu, aku tidak percaya bahwa sejumlah impian benar-benar bisa jadi nyata. Aku masih tidak percaya bahwa akhirnya aku benar-benar dapat berkesempatan untuk bertandang dan mengikuti pelatihan di salah satu universitas ternama di dunia. Orang-orang mengatakan kepadaku bahwa aku tidak punya secuilpun peluang untuk bisa diterima. Sehingga ketika ternyata aku diterima, aku benar-benar tak percaya. Aku terpilih menjadi satu di antara 50 mahasiswa dari seluruh dunia yang terseleksi mengikuti pelatihan di Oxford. Programnya sendiri berupa kursus selama dua bulan, tetapi itu benar0benar kesempatan sekali seumur hidup.
Apa yang mengkhawatirkanku selama beberapa bulan terakhir sebelum datang ke Inggris adalah, bagaimana aku bisa keluar dari Gaza. Satu-satunya cara meninggalkan Gaza ialah melalui pintu perlintasan Rafah di perbatasan Mesir, atau melalui Erez, yang menuju ke tanah Palestina yang dijajah Israel. Dan pada saat itu, keduanya seperti sama-sama tidak mungkinnya bagiku.
Aku menyerah kalau lewat Mesir, karena pintu Rafah ditutup hingga pemberitahuan selanjutnya. Prospeknya tipis, sebab gerbang Rafah cuma dibuka total hanya dua bulan selama dua tahun belakangan. Otoritas Mesir biasanya membuka gerbang selama tidak lebih dari hari setiap satu atau dua bulan. Apa yang membuat aku bakal diberi perioritas di atas ribuan pasien dan pelajar yang perlu meninggalkan Gaza, pikirku.
Maka, aku mencoba ke Erez sebagai harapan terakhirku. Perlintasan Erez dijaga sangat ketat dan dibatasai hanya untuk orang tertentu seperti jurnalis, politisi, serta pekerja LSM. Jika kamu termasuk yang beruntung, maka kamu selanjutnya akan melewati tanah Palestina terjajah, kemudian masuk ke Tepi Barat, dan lalu ke Jordan. Dari Jordan, kamu dapat ambil penerbangan ke luar, karena kami di Palestina tidak diperbolehkan memiliki bandara sendiri oleh penjajah kami. Di tengah segala kemuskilan itu, aku mendaftarkan namaku untuk memperoleh izin pergi melewati perlintasan Erez.
Prosedurnya begitu kompleks. Pertama-tama kamu harus mengirim aplikasi untuk sesuatu yang disebut surat "tidak keberatan" dari kedubes Jordan di Ramallah. Aku menunggu jawaban selama sekitar enam minggu. Tetapi ketika saya dapat kata "ya", masih ada sedert kendala. Surat tadi harus dikirimkan pula dari Ramallah ke Gaza, karena dua "sayap" Palestina itu terpisah satu sama lain oleh Israel (yang aslinya sebenarnya tanah Palestina kami juga). Setelah semuanya tadi itu, aku menerima jawaban "tidak" dari otoritas Israel.
Aku seakan kehilangan harapan. Tidak ada yang benar dengan segala yang terjadi. Aku ini cuma berusaha untuk pergi dari negeriku hanya selama dua bulan, tetapi aku dihadapkan pada berbagai halangan. Kesempatan ikut pelatihan ini benar-benar jadi impianku. Aku memutuskan untuk terus mencoba, dan mengirim aplikasi untuk kali kedua kepada otoritas Israel, agar diizinkan melewati perlintasan Erez. Aku menghubungi organisasi-organisasi terkait. Aku meminta bantuan kepada sekolah kedokteranku di Gaza. Aku mendatangi Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Sipil, WHO, Palang Merah, badan pengungsi PBB UNRWA dan berbagai institusi lainnya. Aku berikhtiar setiap hari dari pagi hingga petang, menulis banyak email, menelepon sana-sini, hingga bolak-balik antar berbagai institusi.
Pada awal Juni, kami menerima kabar bahwa perlintasan Rafah akan dibuka untuk jangka waktu hanya sepekan dalam beberapa hari kemudian. Nomor registrasiku untuk melewati perlintasan Rafah adalah nomor 3000, sedangkan setiap harinya ada sekira 200 hingga 300 pelajar yang diperbolehkan lewat. Aku lagi-lagi kehilangan harapan.
Tetapi kemudian seperti tertimpa durian, keberuntungan datang. Pada 16 Juni, hari kelima dibukanya perlintasan Rafah, aku melihat namaku ada dalam daftar "pelajar yang diizinkan" melintas untuk hari Jumat berselang, yang tak lain adalah hari terakhir dibukanya pintu perlintasan. Aku benar-benar gembira sekaligus takut dalam waktu bersamaan, karena tidak ada jaminan bahwa gerbang rafah akan dibuka hingga selama itu. Aku menghubungi beberapa acquintances dan berusaha agar bisa pergi pada hari berikutnya, yakni hari Rabu.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan keras dua hari lamanya, akhirnya aku berhasil tiba di London pada tanggal 18 Juni. Pada hari Jumat, ternyata perlintasan Rafah ditutup hingga sekarang.
Aku berhasil memperoleh kesempatan untuk belajar di Oxford. Namun, saudaraku yang lainnya gagal dan masih banyak lagi yang terus mencoba. Di kelas asal universitasku, ada sekira 18 orang mahasiswa yang seharusnya menempuh perjalanan dan mengambil kursus serupa di Malaysia, Turki, Jordan, dan Jerman. Tetapi karena penutupan pintu perlintasan dan blokad selama delapan tahun, mereka semua kehilangan kesempatan mereka dan masih berada di Gaza setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun mencoba kesempatan untuk studi di luar negeri.
Kini, ketika aku sebentar lagi akan menuntaskan kursus pelatihanku di Oxford, visaku akan habis pada 21 Agustus. Aku tidak bakal diperbolehkan lagi tinggal di Inggris. Tetapi aku juga tidak akan diizinkan memasuki bumi Mesir hingga pintu perlintasan Rafah dibuka kembali. Aku pun tidak bisa mengirim aplikasi untuk perpanjangan visa, karena beban biaya yang kelewat besar bagiku dan itupun aku harus sudah punya paspor di tangan ketika sewaktu-waktu pintu perbatasan dibuka. Adapun untuk pergi ke negara lainnya, aku membutuhkan sebuah visa kunjungan, yang membutuhkan waktu lama. Sehingga pilihanku yang benar-benar nyata ialah hanya menanti.
Menjadi seorang Palestina berarti proses menjalani penderitaan tak berkesudahan. Jika engkau seorang warga Gaza, penderitaanmu bahkan bisa lebih buruk lagi. Akankah semua ini berakhir? Tiada seorangpun ada yang tahu. (mondoweiss/ismed)