Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasalam bersabda "Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan kepada Surga. Dan seseorang senantiasa jujur sehingga disebut di sisi Allah sebagai shiddiiq (orang yang jujur). Dan dusta itu menunjukkan kebada kejahatan, dan kejahatan menghantarkan kepada Neraka. Dan seseorang senantiasa berbuat dusta sehingga disebut di sisi Allah sebagai kaddzab (pendusta). (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain disebutkan: Sesungguhnya kejujuran itu ketenangan dan dusta itu keragu-raguan”. (HR. Tirmidzi).
Dalam konteks yang lebih luas, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa, jujur lisan juga memberikan dampak positif bagi kemaslahatan secara umum. Jujur lisan dan keterbukaan bisa menopang kekokohan dan keberlangsungan sebuah keluarga. Tak hanya itu, kejujuran juga dapat menepis dugaan-dugaan buruk yang bisa menimbulkan ketidakharmonisan dan kerapuhan.
Masyarakat kita juga sangat butuh akan kejujuran ini. Pemimpin yang jujur akan menjaga lisannya dari menginformasikan sesuatu yang tidak benar. Betapa banyak kerusakan dan ketidakharmonisan yang terjadi timbul antara Pemimpin dan rakyat, lantaran pemimpin yang tidak jujur, lantaran yang mereka ucapkan adalah kebohongan publik belaka. Juga tidak sedikit pemimpin yang berpidato lantang untuk membela dan memperjuangkan rakyat, namun realitanya kemudian sangat berbeda.
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasalam pernah menyebut kondisi di atas sebagai tanda-tanda munafik: "Tanda munafik itu ada tiga: bila berkata ia dusta, bila berjanji ia melanggar, dan bila dipercaya ia berkhianat". (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sangat murka dengan hal tersebut:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (Asshaff: 2-3).
Pemimpin yang jujur demi penegakkan keadilan dan hukum, akan mendapat posisi sangat mulia di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tentu bila hal itu dilakukan karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan demi terciptanya kemaslahatan serta menghindari kezaliman. Meskipun seringkali ada resiko di balik sikap jujur tersebut, maka yang demikian termasuk jihad di jalanNya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala memasukkan mereka, ke dalam golongan yang akan diberikan naungan khusus dan keselamatan dariNya.
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasalam pernah bersabda: "Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan." (HR Abu Dunya).
Dalam hadits lain beliau juga bersabda: “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari dimana tidak ada naungan selain dariNya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam suasana ibadah kepada Allah, orang yang hatinya senantiasa terikat dengan Masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karenaNya dan berpisah karenaNya, laki-laki yang diajak wanita yang memiliki harta dan kedudukan untuk melakukan zina namun ia berkata “aku takut kepada Allah”, dan laki-laki yang bersedekah diam-diam sehingga orang di sampingnya tidak mengetahui, dan seorang yang berzikir kepada Allah hingga meneteskan air mata”. (HR. Bukhari).
Dalam hadits tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebut pemimpin yang menegakkan keadilan pada urutan pertama.
Sumber: Ikadi.or.id (dengan penyesuaian seperlunya)
Dalam konteks yang lebih luas, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa, jujur lisan juga memberikan dampak positif bagi kemaslahatan secara umum. Jujur lisan dan keterbukaan bisa menopang kekokohan dan keberlangsungan sebuah keluarga. Tak hanya itu, kejujuran juga dapat menepis dugaan-dugaan buruk yang bisa menimbulkan ketidakharmonisan dan kerapuhan.
Masyarakat kita juga sangat butuh akan kejujuran ini. Pemimpin yang jujur akan menjaga lisannya dari menginformasikan sesuatu yang tidak benar. Betapa banyak kerusakan dan ketidakharmonisan yang terjadi timbul antara Pemimpin dan rakyat, lantaran pemimpin yang tidak jujur, lantaran yang mereka ucapkan adalah kebohongan publik belaka. Juga tidak sedikit pemimpin yang berpidato lantang untuk membela dan memperjuangkan rakyat, namun realitanya kemudian sangat berbeda.
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasalam pernah menyebut kondisi di atas sebagai tanda-tanda munafik: "Tanda munafik itu ada tiga: bila berkata ia dusta, bila berjanji ia melanggar, dan bila dipercaya ia berkhianat". (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala sangat murka dengan hal tersebut:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (Asshaff: 2-3).
Pemimpin yang jujur demi penegakkan keadilan dan hukum, akan mendapat posisi sangat mulia di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tentu bila hal itu dilakukan karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan demi terciptanya kemaslahatan serta menghindari kezaliman. Meskipun seringkali ada resiko di balik sikap jujur tersebut, maka yang demikian termasuk jihad di jalanNya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala memasukkan mereka, ke dalam golongan yang akan diberikan naungan khusus dan keselamatan dariNya.
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasalam pernah bersabda: "Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan." (HR Abu Dunya).
Dalam hadits lain beliau juga bersabda: “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari dimana tidak ada naungan selain dariNya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam suasana ibadah kepada Allah, orang yang hatinya senantiasa terikat dengan Masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karenaNya dan berpisah karenaNya, laki-laki yang diajak wanita yang memiliki harta dan kedudukan untuk melakukan zina namun ia berkata “aku takut kepada Allah”, dan laki-laki yang bersedekah diam-diam sehingga orang di sampingnya tidak mengetahui, dan seorang yang berzikir kepada Allah hingga meneteskan air mata”. (HR. Bukhari).
Dalam hadits tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebut pemimpin yang menegakkan keadilan pada urutan pertama.
Sumber: Ikadi.or.id (dengan penyesuaian seperlunya)