Islamedia - Kuliah kedelapan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL Jakarta kembali digelar, bertempat di Rumah Shynergy, Kalibata, Kamis (23/04) malam. Perkuliahan ini dihadiri oleh sekitar empat puluhan peserta SPI yang terdiri dari mayoritas mahasiswa dan beberapa karyawan dari daerah Jabodetabek.
Akmal, M.Pd.I., yang kembali diundang sebagai narasumber, mengawali bahasan seputar “Pluralisme Agama” dengan mencoba menjelaskan kesulitan para pluralis dalam mendefinisikan kata pluralisme itu sendiri. Mengutip komentar Anis Malik Thoha dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama, Akmal mengatakan “Tidak banyak, bahkan langka yang mencoba mendefinisikan pluralisme agama itu. Mereka kesulitan untuk mendefinisikan pluralisme itu sendiri. Seringkali mereka merasa mengerti, namun ketika diminta untuk mendefinisikan, mereka tidak sanggup,” ujar Akmal.
Menurut definisi MUI, pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya keberadaan setiap agama adalah relatif. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. “Ketika MUI mengeluarkan definisi ini, mereka (para pluralis-pen) berbondong-bondong menghujat dan menyangkal definisi ysng dikeluarkan MUI ini. Tetapi anehnya, mereka sendiri tidak dapat memberikan definisi yang jelas tentang pluralisme,” tandas Akmal.
Contoh definisi ala Indonesia yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid adalah ‘pertemuan yang sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatan kesopanan (bons of civility)’. “Standar kesopanannya bagaimana? Bukankah di setiap daerah memiliki standar kesopanan yang berbeda-beda? Apakah orang mengenakan koteka akan dibolehkan masuk ke restoran mewah milik orang Barat? Jika mereka menolak, apakah ini artinya orang Barat tidak menghargai keragaman? Menurut saya, ini bukan definisi,” terang Akmal lagi
Akmal juga menjelaskan tentang tren-tren pluralisme, di antaranya adalah tren Humanisme Sekuler dan Teologi Global yang cukup populer di Barat. “Humanisme sekuler adalah paham yang antroprosentris, yaitu paham yang mengabdi kepada manusia. Mereka berpendapat bahwa manusia adalah ukuran dari kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran diukur menurut selera manusia, maka ia menjadi relatif. Mereka memusatkan kajiannya pada aspek psikologis. Adapun tren Teologi Global justru memusatkan kajiannya pada aspek sosiologis saja. Bagi mereka, agama hanya tradisi, yang tentu saja boleh berubah-ubah,” jelas pemilik akun twitter @malakmalakmal ini. (Edi-SPI/islamedia/aj)