Jawaban simple-nya: saat Nabi Muhammad SAW hidup, tidak ada seorang pun
yang pernah melukis wajahnya, dan juga kamera foto belum lagi ditemukan. Jadi
itulah sebenarnya duduk masalahnya. Dan dengan masalah itu sebenarnya
kita harus bangga. Sebab keharaman menggambar wajah nabi SAW justru
merupakan bukti otentik betapa Islam sangat menjaga ashalah
(originalitas) sumber ajarannya.
Larangan melukis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait
dengan keharusan menjaga kemurnian ‘aqidah kaum muslimin. Sebagaimana
sejarah permulaan timbulnya paganisme atau penyembahan kepada berhala
adalah dibuatnya lukisan orang-orang sholih, yaitu Wadd, Suwa’, Yaguts,
Ya’uq dan Nasr oleh kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Memang pada awal
kejadian, lukisan tersebut hanya sekedar digunakan untuk mengenang
kesholihan mereka dan belum disembah.
Tetapi setelah generasi ini musnah, muncul generasi berikutnya yang
tidak mengerti tentang maksud dari generasi sebelumnya membuat
gambar-gambar tersebut, kemudian syetan menggoda mereka agar menyembah
gambar-gambar dan patung-patung orang sholih tersebut.
Melukis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang karena bisa membuka
pintu paganisme atau berhalaisme baru, padahal Islam adalah agama yang
paling anti dengan berhala.
“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata : Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sakit, sebagian isteri beliau menyebut-nyebut sebuah
gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah yang disebut dengan Maria.
Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiyallahu‘anhuma pernah mendatangi
negeri Habasyah, mereka menyebutkan tentang kebagusannya dan
gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka beliau pun mengangkat
kepalanya, lalu bersabda :
“Itulah orang-orang yang bila ada orang sholih di antara mereka
yang mati, mereka membangun masjid di atas kuburannya kemudian membuat
gambar-gambarnya. Itulah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” ( HR. Ahmad dan Al-Bukhari )
Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela kelakuan
orang-orang ahli kitab yang mengkultuskan orang-orang sholih mereka
dengan membuat gambar-gambarnya agar dikagumi lalu dipuja. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” ( HR. Abu Dawud )
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian menyanjungku berlebihan sebagaimana orang-orang
Nashrani menyanjung Putera Maryam, karena aku hanya hamba-Nya dan Rasul
utusan-Nya.” ( HR. Ahmad dan Al-Bukhori )
Itulah sebab utama kenapa Umat Islam bersikeras melarang melukis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dalam rangka menjaga
kemurnian ‘aqidah tauhid.
Masih banyak sebab yang lainnya dari larangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antaranya penggambaran diri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membuka peluang untuk perbuatan
penistaan terhadap pribadi beliau. Sebagaimana seseorang yang benci
kepada orang lain, namun karena tidak mampu melampiaskan kebenciannya
secara langsung, mereka lantas membuat serentetan penistaan terhadap
gambar atau foto orang yang dia benci. Apakah akan dia ludahi atau dia
injak-injak atau dia sobek-sobek atau dia bakar atau dibikin ka rikatur
yang bernuansa pelecahan, dan sebagainya.
Dengan tidak dilukisnya gambar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak mungkin seseorang yang kafir atau fasiq mampu
membuat gambaran wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
hanya orang-orang yang benar imannya saja yang bisa melihat
beliau :
“Barangsiapa melihatku di dalam mimpinya, sesungguhnya dia
benar-benar melihatku, karena syetan tidak mungkin menyerupai
bentukku.” ( HR.Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud Ibnu Majah dan Ahmad )
Dalam salah satu riwayat Al-Bukhari ada tambahan :
“Dan mimpi seorang mu’min adalah seperempat puluh enam bagian dari kenabian.”
Bila demikian keadaannya maka tidak mungkin seorang fasiq apalagi kafir
bisa tahu wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Andai mereka
bermimpi suatu sosok manusia yang mengaku-aku sebagai Nabi Muhammad saw
maka dapat dipastikan bahwa sosok itu adalah syetan. Karena meski
tidak mungkin menyerupai bentuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tetapi syetan bisa saja mengaku-aku sebagai Rasulullah. Lalu
bagaimana kita mengetahui kalau sosok yang mengaku Rasulullah di dalam
mimpi kita adalah benar-benar asli Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Caranya adalah dengan dicocokkan dengan hadits-hadits syamail
yang shohih, yaitu hadits-hadits yang bertutur tentang ciri-ciri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada pun karikatur yang digambar oleh orang-orang kafir dan mu-nafiq
adalah kebohongan, karena bagaimana mungkin mereka bisa menggambar
wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan untuk
melihatnya saja mereka tidak mungkin bisa ?!!! Maka yakinlah bahwa apa
yang mereka lukis dan apa yang mereka bikin karikaturnya pasti bukan
Rasulullah SAW
Keharaman untuk menggambar nabi Muhammad SAW dan juga nabi-nabi yang
lain, oleh para ulama ditetapkan berdasarkan kemustahilan untuk
memastikan bahwa gambar itu benar-benar yang sebenarnya. Mengingat
tidak ada satu orang pun orang di dunia ini yang tahu wajah para nabi.
Karena tidak satu pun yang saat para nabi itu hidup yang hingga
sekarang ini masih hidup.
Semua lukisan dan gambar tentang para nabi itu 100% bukan wajah mereka.
Dan menurut para ulama, kalau pun gambar-gambar itu dilukis, sama
sekali bukan gambar nabi, melainkan hayal dan imajinasi pelukisnya.
Seandainya yang digambar itu hanya orang biasa yang bukan nabi, mungkin
masalahnya tidak serumit kalau yang digambar itu nabi. Menggambar atau
melukis wajah seorang nabi adalah sebuah kerumitan tersendiri dari
segi hukum. Mungkin anda bertanya, mengapa harus jadi rumit? Bukannah
tujuan menggambar nabi itu baik, yaitu agar lebih mendekatkan kita
kepada sosok nabi itu?
Ya, masalahnya menjadi rumit lantaran seorang nabi adalah pembawa
risalah resmi dari Allah. Maka bukan hanya pembicaraannya saja yang
jadi ukuran, tetapi semua tindak tanduk dan bahkan hingga masalah wajah
dan potongan tubuhnya, adalah bagian utuh dari risalah itu.
Penggambaran wajah dan tubuh seorang nabi, sedikit banyak sangat
berpengaruh kepada esensi syariat yang disampaikannya. Mengingat di
kemudian hari setelah wafatnya para nabi itu, banyak orang yang
berdusta tentang nabi. Baik dusta tentang perkataannya, perbuatannya,
taqrirnya (sikap), termasuk berbohong tentang kondisi fisiknya.
Dan perbuatan berbohong atas apa yang apa yang dibawa oleh seorang nabi
merupakan dosa yang amat serius. Ancamannya tidak tanggung-tanggung,
yaitu kedudukan di dalam neraka.
“Siapa yang berbohong tentang aku secara sengaja, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka”. (HR Bukhari Muslim)
Dengan berdasarkan hadits ini, maka para ulama sepakat untuk
mengharamkan gambar nabi Muhammad SAW, juga gambar para nabi yang lain.
Mengingat tidak ada seorang pun manusia yang hidup di zaman ini yang
pernah melihat wajah nabi Muhammad SAW dan juga nabi lainnya. Dari mana
lukisan nabi itu didapat, kalau bukan dari hayal dan imajinasi? Hayal
dan imajinasi pada hakikatnya adalah kebohongan, meski niatnya mungkin
baik.
Kita bisa simpulkan bahwa haramnya menggambar wajah seorang nabi, bukan
semata-mata karena ditakutkan bahwa gambar akan menghina nabi,
melainkan masalah keaslian dan kejujuran gambar itu sendiri. Bahwa
tidak ada kebenaran dalam gambar itu dan gambar itu bukan gambar nabi. [islamedia]