Islamedia.co - Saat
ini, media sosial banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan dengan
bermacam-macam latar belakang pendidikan untuk menyebarkan
pemikiran-pemikirannya. Salah satu pihak yang gencar menyebarkan
pemikiran-pemikirannya adalah kalangan yang mengaku Islam tetapi berpikiran
liberal. Mereka aktif memposting opini dan pendapat mereka tentang sesuatu, dan
tentunya dengan kacamata liberal yang mereka gunakan. Sayangnya, banyak
kalangan awam yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang Islam, ikut
terjebak dan terhipnotis dengan pendapat-pendapat mereka.
Pengguna
sosial media dari kalangan aktivis Islam, sebagai bagian dari aktivitas amar
ma’ruf nahi munkar sesekali perlu meng-counter atau menyanggah
pendapat-pendapat kalangan Liberal ini. Dari Abu Sa’id Al Khudry ra berkata,
saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya,
jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak
mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling
lemah.” (HR. Muslim). Dalam meng-counter pendapat tersebut
diperlukan kesabaran, keilmuan dan juga keikhlasan, bukan untuk popularitas
belaka.
Ketika
terpojok atau kalah dalam twitwar -perang status di Twitter- kalangan
liberalis ini kemudian pernah ada yang melabeli para aktivis Islam, sebagai
“lulusan pesantren kilat”. Lulusan pesantren kilat, yang tak pantas mendebat
mereka yang notabene jebolan pesantren “asli” dan lulusan universitas-universitas
ternama di luar negeri. Lulusan pesantren kilat, yang dicap belum memiliki ilmu
dan wawasan ke-Islam-an yang kuat.
Jika
memang begitu kenyataannya, strata pendidikan kita tidak setinggi mereka,
janganlah kita merasa putus asa dan hilang harapan. Kita jangan berhenti untuk
menyuarakan kebenaran dan melawan kebathilan. Kita wajib untuk terus mendakwahi
mereka dan korban pemikiran mereka dengan cara yang santun, bahasa yang sopan,
argumentasi yang kuat dan akhlak yang baik, seperti teladan lulusan pesantren
kilat yang akan diceritakan di bawah ini.
Dia
bernama Habib al-Najjar. Dia adalah salah satu lulusan pesantren kilat yang
fenomenal, mewangi namanya tercatat indah di surah yang paling sering dibaca
oleh Muslim di tanah air, surah Yasin. Adalah Ashabul qaryah (penduduk
suatu negeri), ketika diutus kepada mereka dua orang utusan oleh Allah SWT. “Kemudian
Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata,
‘Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.’” (QS. Yasin: 14).
Kaum itu tetap membangkang dan tidak mengindahkan seruan para utusan dan
melabeli para utusan sebagai pendusta.
Tetiba
datanglah dari ujung kota seorang lelaki. Lelaki itu bukanlah siapa-siapa, dia
tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Dia pun tak memiliki kedudukan yang
mulia di mata kaumnya. Tapi dia memiliki sesuatu yang lebih berharga dari itu
semua, yaitu aqidah yang hidup dan menyeruak di dalam jiwanya, mendorong dan
memotivasinya untuk datang dari ujung kota dengan ilmu yang seadanya untuk menguatkan
dakwah para utusan. Lelaki itu ketika mendengarkan dakwah dari para utusan,
kemudian langsung meresponnya setelah melihat adanya tanda-tanda kebenaran.
Dengan bergegas ia berkata, “Wahai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.
Ikutilah orang tiada meminta imbalan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 20-21).
Imam
Fakhrurrazi rahimahullaah dengan sangat indah nan menyentuh memaparkan
beberapa hikmah yang agung, yang mengisyaratkan akan ajegnya dakwah tauhid di
dalam dada Habib al-Najjar ini, yang demikian jujur dan ikhlas menyeru dan
mengajak kaumnya. Dalam firman-Nya disebutkan, “Dengan bergegas”,
sebagai gambaran bagi kita, bahwa ia ingin sekali kaumnya bisa sesegera mungkin
merasakan dan mereguknya sejuknya hidayah seperti yang telah didapatkannya.
Memberi motivasi bagi kita untuk senantiasa menguras segala daya upaya yang
kita miliki untuk memberikan seuntai nasihat kepada orang yang kita cintai.
Seruan
“Wahai kaumku..”, memiliki rahasia makna yang begitu mendalam, dimana
dalam ungkapan tersebut nampak sekali bagaimana dalamnya rasa kasih sayang yang
dimilikinya terhadap kaumnya. “Ikutilah utusan-utusan itu...”, merupakan
ajakan agar mereka mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah SWT kepada
mereka. Dia tidak mengatakan, “Ikutilah aku...”, karena memang dia bukanlah
siapa-siapa. Dia mengajak mereka untuk mengikuti para Rasul yang telah
menampakkan bukti yang terang benderang kepada mereka.
Kemudian,
dalam firman-Nya pula disebutkan, Habib al-Najjar mengatakan, “Ikutilah
orang yang tiada meminta imbalan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21). Ajakan dan seruan itu memiliki makna
yang indah dan tersembunyi. Dia menggunakan metode yang paling indah dalam
berdialog, berdebat dan berdiskusi. Dimana dia berusaha agar mereka menerima
dengan lapang apa yang diserukan olehnya tanpa ada sedikit pun unsur pemaksaan.
Dalam hal ini seolah-olah dia mengatakan, “Bayangkanlah, andaikan mereka itu
bukanlah rasul Allah dan bukan pula para Nabi yang memberikan pengajaran menuju
jalan yang benar, namun mereka itu orang yang mendapat petunjuk dan mengetahui
dengan benar jalan lurus yang akan mengantarkan kepada jalan yang benar,
kemudian mereka termasuk orang yang sama sekali tidak mengharapkan imbalan dan
upah sepeserpun dari kalian.”
Lelaki
itu juga bertanya, “Mengapa aku tidak menyembah (Allah) yang telah
menciptakanku?” (QS. Yasin: 22). Itu adalah sebuah pertanyaan yang bersifat
pengingkaran. Di dalamnya ada isyarat bahwasanya setiap orang hendaknya
menyembah kepada Allah, Dzat yang sangat jelas eksistensi-Nya. Maka bagi yang
tak mau menyembah Allah, hendaklah dia mengedepankan alasan yang barangkali
dapat menghalanginya untuk beribadah kepada-Nya. Pada pertanyaan itu pula
terdapat sebuah sentuhan makna yang demikian indah, dimana orang itu bertanya
dan mengajak bicara dirinya sendiri, sebelum mengajak kaumnya. Dia mengatakan
“Yang menciptakanku...”, bukan “Yang menciptakanmu..” Pertanyaan itu dia tutup
dengan mengatakan, “Dan hanya kepada-Nya-lah kamu semua akan dikembalikan.”
(QS. Yasin: 22).
Dia
kembali melontarkan pertanyaan kepada kaumnya, “Mengapa aku akan menyembah
tuhan-tuhan selain-Nya?” (QS. Yasin: 23). Pertanyaan itu benar-benar
menggambarkan kesempurnaan tauhid yang telah telah dimilikinya. Pertanyaan itu
mengingkari kesyirikan terhadap-Nya dan ketiadaan ibadah kepada selain Dia.
Mereka semua termasuk ketiga utusan, Habib al-Najjar dan kaumnya sama-sama
sebagai makhluk yang lemah dan tiada daya, yang senantiasa membutuhkan Allah dan
menghajatkan-Nya. Dan jika sang lelaki itu tidak mengikuti seruan tauhid dari
para utusan maka, “Sesungguhnya aku kalau begitu berada dalam kesesatan yang
nyata.” (QS. Yasin: 24).
Dia
menutup ajakannya kepada kaumnya itu dengan sebuah closing statement yang
mengagumkan. Dalam firman-Nya lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku telah
beriman kepada Tuhan kalian, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.”
(QS. Yasin: 25). Pernyataan itu bukan hanya permintaan kepada kaumnya untuk
sekedar mendengarkan pengakuannya saja, tetapi juga merespon ajakan kebenaran
dan masuk dalam iman kepada-Nya.
Lelaki
itu kemudian dibunuh oleh kaumnya. Dari Ibnu Mas’ud ra dikatakan, “Mereka
menginjakkan kaki pada tubuhnya hingga tulang punggungnya keluar.” Sungguh
Allah SWT tidak menyia-nyiakan pengorbanan yang telah dia lakukan. Allah
berfirman, “Masuklah ke surga.” (QS. Yasin: 26). Betapa mulianya ia
setelah mendapatkan nikmat surga kemudian dia mengingat kaumnya dengan hati
yang tulus penuh dengan keridhaan, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku
mengetahui.” (QS. Yasin: 26). Alangkah baiknya, jika kaum itu mengetahui
apa yang akan mereka dapatkan jika mengikuti para utusan dan beriman kepada
Allah SWT. Tapi sayang, mereka mengingkari dan Allah menghinakan mereka dengan,
“Satu teriakan suara saja, maka tiba-tiba mereka mati semuanya.” (QS.
Yasin: 29).
Bagi
para da’i yang menyerukan kebenaran, baik itu di dunia maya maupun dunia nyata,
termasuk lulusan pesantren kilat sekalipun hendaknya metodologi yang digunakan
lelaki ini ditiru dan dipelajari, adanya kebenaran dalam dakwah yang
disampaikan dan keikhlasan arah tujuan, semangat untuk mengantarkan pada
hidayah, keberanian yang luar biasa, cara berpikir yang runtut dan penuh dengan
kekuatan logika, dan itu semua kembali pada kuatnya iman yang mengakar pada
lelaki rabbani tersebut.
Dia
berani pasang badan di depan materialisme yang kejam. Dengan penuh kelembutan
dia mengajak kaumnya untuk mengikuti kebenaran dan meminta kepada mereka untuk
menyambut seruan para utusan. Walaupun dia sendiri melihat akan ada marabahaya
yang akan menimpa dan siksaan yang akan melanda, dia tetap beriman dan dengan
ikhlas mengumandangkan dengan lantang pengakuan keimanannya dan dia siap
menanggung resiko yang bakal menimpanya.
Dan
janganlah ketika berdebat atau adu argumentasi dengan pihak yang ingin kita
dakwahi dengan tujuan untuk mencari kemenangan, pamor dan popularitas karena
itu merupakan akhlak yang tercela. Ilmu yang mungkin tidak seberapa yang kita
bisa jadi membantu untuk meraih kemenangan saat berdebat tapi sayang tak akan
memberikan manfaat kelak di akhirat. Hasbunallaahu wa ni’mal wakil...
Fais Al-Fatih
Rujukan:
- Ali Muhammad Ash-Shalabi. 2013. Fikih Tamkin: Panduan Meraih Kemenangan dan Kejayaan Islam. Jakarta: Pustaka Kautsar
- Ibnu Qudamah. 2013. Minhajul Qashidin: Jalan Orang-orang yang Mendapatkan Petunjuk. Jakarta: Pustaka Kautsar
- Ibnu Katsir. 2012. Kisah Para Nabi. Jakarta: Pustaka Azzam
- Sayyid Quthb. 2004. Tafsir fi Zhilalil Qur’an Jilid 9. Jakarta: Gema Insani