Duhai calon anakku, Bunda sudah tidak sabar untuk segera merasakan hadirmu dalam kandungan bunda. Sudah lama bunda rindu untuk memperdengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an untukmu.
Islamedia.co - “Perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you. And Allah knows while you know not”. (Quran 2: 216)
Sebut saja namaku A. Aku adalah seorang wanita yang bertempat tinggal di kota Bandung. Tahun ini adalah tahun ke 30 dalam lembar cerita kehidupanku. Aku menikah pada tahun 2009 dan hingga lewat tahun ke 5 pernikahanku aku masih belum dikaruniai seorang buah hati. Sesuatu yang sudah sangat aku dan suamiku rindukan.
Seperti orangtua lainnya aku sangat merindukan kehadiran anak dalam pernikahanku. Aku sangat merindukan bisa menimang makhluk tak berdosa dalam dekapanku. Mendengar kerasnya tangisan bayi di malam hari. Merasakan syahdunya rasa ketika bayi mungil itu menatap mataku. Aku sangat ingin merasakan “kerepotan” mengurus bayi yang mungkin di hindari oleh sebagian orangtua lain. Melebihi semua itu, aku ingin mendengar panjat doa tulus meluncur dari bibir mungil anak-anakku, memohon ampunan dan kasih sayang Allah untukku.
Perjalanan menjemput buah hati
Sejak awal menikah, aku sudah sangat bersemangat mengunjungi dokter kandungan untuk menjalani program kehamilan. Kunjungan demi kunjungan tak bosan kujalani. Semua anjuran dan pantangan yang diberikan oleh dokter selalu aku patuhi. Aku sangat memperhatikan tanggal-tanggal subur seorang wanita. Dengan semangat aku meminum bermacam obat hormon, Vitamin dan entah jenis obat apalagi. Besarnya keinginanku membuatku tak peduli lagi jenis obat yang harus ku telan. Namun sepertinya Allah masih sangat senang mendengar lirih permohonan kami. Aku masih belum berhasil hamil.
Pada bulan Agustus 2010, aku mencoba menjalani program kehamilan di Rumah Sakit lain. Selama 3 bulan aku menjalani program dengan disiplin tinggi. Sama seperti program sebelumnya, aku diberikan berbagai petunjuk dan saran tentang masa subur serta aku pun mengkonsumsi beberapa obat penyubur. Namun, sekali lagi Allah masih belum berkehendak untuk meniupkan salah ruh seorang bayi ke dalam rahimku.
Akhirnya akupun disarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab mengapa program ini belum berhasil. Aku dirujuk untuk melakukan tes HSG untuk memeriksa kondisi rahimku sedangkan suamiku dirujuk untuk test sperma.
Hasil tes suamiku menunjukkan tidak ada kelainan. Ia sehat dan normal. Sedangkan hasil tesku menunjukkan adanya penyumbatan pada saluran tuba kanan dan kiri. Kemudian akupun segera dirujuk ke dokter lain untuk pemeriksaan lebih lanjut.
***
Setelah berkonsultasi dengan keluarga besar, akhirnya aku memutuskan untuk menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit besar di Jakarta. Berbagai pemeriksaanpun di lakukan. Setelah hasilnya keluar, dokter yang menanganiku menyarankan untuk menjalani tindakan Laparoskopi untuk mengetahui penyebab sumbatan di saluran tubaku. Laparoskopi adalah sebuah teknik melihat kondisi di dalam perut tanpa melakukan pembedahan besar. Meski terkesan simpel, ternyata tindakan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. 35 juta rupiah! Aku tertegun. Bagiku bukan hanya besarnya biaya yang harus kami keluarkan yang mebuatku terhenyak namun aku juga merasa bahwa masih terlalu dini untuk aku mengambil tindakan ini. Pernikahanku baru berjalan dua tahun.
Inilah awal mula aku bersitegang dengan mertuaku. Aku tahu mereka sangat menginginkanku untuk segera menjalani operasi ini, namun aku masih belum mau melakukannya. Aku sendiri tidak tahu alasannya, hanya saja batinku merasa belum siap. Selain itu aku juga merasakan ada kekhawatiran besar dari orangtuaku terhadap kondisi badanku. Saat itu, tak seorangpun bisa memaksaku untuk menjalaninya. Bahkan suamiku sendiri. Aku tahu bahwa tak cuma sekali mertuaku mendorong suamiku untuk membujukku agar segera menjalani operasi. Syukurlah, suamiku menyerahkan keputusan ini sepenuhnya kepadaku. Tak sekalipun ia pernah memaksaku untuk menjalani operasi ini jika memang aku belum menginginkannya. Akhirnya kami pun sepakat untuk menempuh cara lain. Tak kurang 10 orang dokter kudatangi untuk mencari alternatif tindakan selain Laparoskopi.
Setiap memasuki bulan November yang merupakan bulan kelahiranku, semakin bertambah amunisi semangatku untuk segera hamil. Bertambahnya usia tidak menyurutkan semangatku sedikitpun. Pada November ketiga tahun pernikahanku, aku memutuskan untuk menjalani tindakan hidrotubasi atas saran seorang dokter di Rumah Sakit terkemuka di Bandung. Orang awam mengenalnya dengan tindakan “ditiup”. Jika dibandingkan dengan Laparoskopi, tindakan ini memang tidak memerlukan pembedahan dan lebih terjangkau dari sisi biaya, tapi jangan tanya rasanya. Sakit sekali. Meski prosesnya sendiri hanya berlangsung selama lebih kurang 15 menit, namun 10 jam setelahnya rasa mulas masih tetap menyerang perutku diiringi dengan menetesnya darah segar. Setelah itu, semangatku untuk segera hamil mulai surut secara perlahan.
Operasi Laparoskopi
Di November ke 4 usia pernikahanku, -entah darimana datangnya-, keinginan untuk menjalani operasi Laparoskopi menyeruak secara tiba-tiba. Semangatku begitu menggebu-gebu untuk segera menjalani operasi itu. Segera aku ajak suamiku untuk mendatangi rumah sakit. Aku katakan kepadanya bahwa jika dokter menyuruhku untuk segera menjalani operasi, aku siap. Suamiku sempat kaget dan tak percaya. Walau ia berusaha untuk tidak menunjukkannya, aku bisa lihat kegembiraan terpancar dari raut wajahnya. Firasatku mengatakan inilah saatnya. Kami akan segera menjadi orangtua.
Aku pun mendatangi Rumah Sakit untuk segera menjalani operasi Laparoskopi. Berbagai persiapan operasi segera dilakukan. Cek darah, cek urine, cek paru-paru dan cek jantung. Semua tes menunjukkan hasil baik dan aku dinyatakan siap untuk menjalani operasi.
Jumat terberat
Kamis malam, aku sudah berada di ruang perawatan untuk persiapan operasi yang rencananya akan dilakukan jam 5.30 pagi. Aku menatap mata suamiku lekat-lekat. “Mas, apapun hasil operasinya besok, aku gak mau ada yang ditutup-tutupi. Janji ya?” Suamiku mengangguk dalam diamnya. Lalu aku melanjutkan lagi, “Aku yakin tahun ini akan jadi tahun terindah untuk kita. Setelah operasi ini aku akan segera hamil.” Suamiku masih terdiam dan hanya mengangguk, mengelus kepalaku lembut, dan mencium keningku. Walaupun ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikannya, aku tahu kalau malam ini adalah malam yang berat untuknya. Sebelum terlelap, tak putus doa kupanjatkan agar setelah operasi ini aku bisa segera hamil. Perasaan optimis menyelimutiku. Aku sangat yakin setelah menjalani operasi ini kami akan segera menjadi orang tua. Tak lama aku pun tertidur.
***
Akhirnya tibalah hari yang kunanti. Hari yang tidak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Pukul 04.30 pagi aku sudah bangun dan bersiap-siap, selesai sholat subuh, pukul 05.30 aku diantar ke ruang operasi. Tak sebersitpun terlintas dalam pikiranku selain rasa bahagia karena sebentar lagi aku akan bisa hamil. Aku sedikit gugup ketika memasuki ruang operasi. Namun semua kegugupan dan kekhawatiran itu segera aku tepis dengan memperbanyak istighfar. Ampuni hamba-Mu ini ya Ghaffaar. Sesaat kemudian aku terpejam.
Operasi hanya berlangsung lebih kurang 1,5 jam, tapi aku baru tersadar pukul 10. Saat aku bangun, yang pertama ku dengar adalah isak tangis ibu dan ibu mertuaku. Aku tak tahu apa yang mereka tangisi. Tembok optimisme yang terbangun tegak dalam dadaku sekejap runtuh. Aku bertanya, “Gimana operasinya ma?”, ibu mertuaku yang menjawab kala itu, “Operasinya lancar, sekarang kamu udah sehat.”, sambil terisak. Aku tak langsung percaya. Rasa curiga terus menghantui pikiranku.
Menjelang siang aku dipindah ke ruang perawatan. Saat hanya ada aku dan suamiku segera ku tanyakan lagi tentang hasil operasiku. Dengan terbata-bata, suamiku berkata: ”Saluran tuba kamu diangkat, De. Saluran tubamu sudah busuk, ga berfungsi, terkena infeksi.” Aku terdiam. Saat itu aku masih belum mengerti. Lalu aku lanjut bertanya: “Tapi aku masih bisa hamil, kan?” Suamiku melanjutkan sambil terisak: ”Bisa, tapi harus melalui prosedur bayi tabung.” Entah karena mungkin masih berada di bawah pengaruh obat bius atau kenapa, saat itu aku tak merasakan apapun. Seakan semua rasa dihatiku beku. Saat itu hanya satu hal yang ada di pikiranku : Aku masih bisa hamil. Pikiranku menerawang. “Ya Allah...”
***
Seminggu setelah operasi, aku kembali ke Rumah Sakit untuk melakukan Check up. Menurut dokter, kondisi badan dan bekas operasiku dalam keadaan baik. Kemudian dokterku membuka selembar kertas hasil pemeriksaan laboratorium penyebab infeksi pada saluran tubaku. Kalimat berikutnya bagaikan petir yang menyambar kepalaku. “Sudah saya duga, hasilnya TB!”, ucapnya sambil memperlihatkan hasil pemeriksaan.
Berbagai pertanyaan pun segera memenuhi pikiranku. Bagaimana mungkin aku bisa tertular TB? Mengapa aku tidak pernah merasakan gejalanya selama ini? Dan yang terpenting, apakah benar aku masih bisa hamil? Dengan penuh ragu aku menanyakan kemungkinanku untuk bisa hamil. Dokter hanya menjawab bahwa program hamilku akan bisa dilanjutkan setelah pengobatan penyakitku tuntas. Saat itu juga langsung aku dirujuk untuk berobat ke dokter spesialis Paru.
9 bulan yang menyiksa
Bulan-bulan berikutnya adalah masa yang sungguh sangat pahit dalam hidupku. Obat-obatan yang harus aku minum kebanyakan berdosis tinggi. Tubuhku tak mampu menerimanya. Badanku perlahan namun pasti menjadi ringkih. Efek lainnya adalah meningkatnya kadar asam urat dalam darahku. Rasa linu menyerang seluruh tulang dan persedianku. Kakiku sering di serang rasa kesemutan hebat, bahkan hingga saat kuceritakan kisah ini. Kulit dan kuku jarikupun menghitam. Mataku menjadi sangat sensitif terhadap cahaya sampai aku harus memakai kacamata untuk mengurangi cahaya yang masuk ke mataku. Aku bahkan tak bisa membaca running text yang ada di TV.
Hingga suatu malam yang mengerikan itu saat aku sendirian di rumah, saat itu suamiku sedang tugas keluar kota. Ketika menuju kamar mandi mendadak aku tak bisa menekuk lututku. Ya Tuhan, kenapa ini? Apakah aku lumpuh? Rasa takut menyergapiku. Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah istighfar memohon ampun kepada Allah. Akhirnya akupun hanya bisa duduk berselonjor di lantai kamar mandi. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ya Tuhan, sungguh ini sangat-sangat berat.
Untungnya aku memiliki suami yang sangat luar biasa. Ia selalu setia menemani dan menjagaku. Tak pernah absen menyiapkan makan dan obat untukku. Dekapan hangatnya selalu menenangkanku setiap aku menangis karena rasa sakit menyerang di malam hari. Ia juga selalu membujuk dan memompa semangatku saat aku ingin menyerah dan berhenti meneruskan pengobatan ini. Jujur saja, perasaan untuk menyerah seringkali merasuki pikiranku. Aku tak tahan merasakan sakit akibat meminum obat-obatan itu. Namun suamiku terus meyakinkanku bahwa aku pasti bisa sembuh lagi. Selalu ada harapan.
Satu-satunya hal yang membuatku tak menyerah adalah keinginan untuk segera sembuh dan bisa segera hamil. Aku sangat ingin membahagiakan suamiku. Aku tahu ia sangat menginginkan hadirnya seorang anak di tengah-tengah kami. Menjelang berakhirnya masa pengobatanku, iapun memberikan kejutan yang tak pernah kukira. Ia mengajakku melihat awan dari atas langit negri singa. Senangnya hatiku tak terperi kala itu.
Setelah 9 bulan menjalani masa pengobatan, akhirnya akupun di nyatakan sembuh. Walaupun hingga kini, setiap bulan aku masih merasakan demam karena kondisi imun yang masih belum stabil. Rasa kebas juga kadang hadir menyapa kedua kakiku.
Tahun 2013 yang aku kira akan jadi tahun terindah hidupku ternyata malah sebaliknya. Hati kecilku sering menjerit dan menangis namun aku tetap yakin sepenuh hati bahwa Allah sangat sayang kepadaku. Semua cobaan ini adalah pencuci dosaku. Dan Ia sudah menyiapkan pengganti yang lebih indah nanti. Di sana sudah berbaris ruh bayi mungil yang siap untuk ditiupkan ke dalam rahimku. Sungguh, aku selalu percaya itu.
Bagaimana aku tertular TB
Pertama kali dokter memvonisku terkena TB aku sempat bingung. Seingatku tak pernah aku berinteraksi dengan penderita TB. Ketika dokter menanyakan kapan terakhir kali aku batuk, akupun menjawab tidak ingat, saking jarangnya aku batuk. Dokter bilang aku tertular penyakit TB. Dia juga bilang bahwa kebiasaanku dekat dengan lingkungan perokok kemungkinan besar menyebabkan aku rentan tertular TB. Pikiranku langsung menerawang ke 6 tahun yang lalu. Saat aku masih belum menikah.
Tahun 2008 aku aktif bekerja di sebuah perusahaan dengan lingkungan tempat kerja didominasi oleh para engineer dan teknisi yang merokok. Asap rokok menjadi pemandangan yang sangat biasa. Setiap hari aku menghirup asap jahanam itu. Bahkan aku pun sempat satu berbagi kamar indekos dengan serorang wanita perokok. Saat itu pola hidupku sangatlah berantakan. Aku sangat sering bekerja larut dari pagi hingga jam 11 malam. Pola makanku tidak teratur. Berat badanku turun drastis hingga 10 Kg.
Ternyata asap rokok jahanam itulah salah satu sebab penyakit ini bersarang dalam tubuhku. Dokterku bilang TB bisa menyerang bagian tubuh manapun yang imun-nya dalam kondisi tidak bagus. Pada kasusku, TB menyerang kedua saluran tuba-ku. Saluran di mana sperma berjalan menuju indung telur. Rokok telah merenggut kedua saluran tubaku.
I REALLY HATE SMOKER.
Lalu nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Jelang November ke 5 tahun pernikahanku, aku dan suamiku akhirnya membulatkan tekad untuk menempuh program bayi tabung di tahun 2015. Desember 2014 mendatang, InsyaAllah kami akan berangkat umroh untuk memohon ampun, meminta dan terus merayu Allah agar berkenan mendengar doa-doa kami dan mengabulkannya.
Doakan kami ya, supaya program bayi tabung ini bisa memberikan hasil maksimal untuk kami. Doakan semoga aku bisa hamil. Satu lelaki dan satu perempuan. Aku selalu memimpikan bisa punya anak kembar. Semakin banyak doa terpanjat, semakin besar kemungkinan akan terkabul hajat.
Aku yakin, masih banyak pasangan lain yang mungkin merasakan perjuangan yang lebih berat dari yang apa yang sudah aku alami. Aku juga yakin masih banyak cerita indah para calon ibu di luar sana. Aku berkisah sekedar ingin menemani dan berbagi.
Ya Allah, Engkau Maha Baik dan Penyayang. Mungkin sudah banyak sakit yang kurasakan di empat tahun umur pernikahanku, namun ternyata lewat penderitaan ini Engkau perlihatkan betapa besar cinta suamiku. Semoga Engkau senantiasa mengucurkan segala Rahmat untuk lelaki terbaik dalam hidupku. Terimakasih untuk semuanya, Uhibukka fillah, Suamiku. Semoga engkau selalu disayang Allah
Rangkaian Pinta
“...He creates you in the wombs of your mothers, creation after creation, within three darknesses. That is Allah , your Lord; to Him belongs dominion. There is no deity except Him, so how are you averted?” (Quran 39:6)
Ya Allah, Engkaulah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi. Engkaulah yang Maha berkuasa atas segalanya. Tidak ada satu kejadianpun yang menimpa seorang hamba melainkan atas seizin-Mu.
Ya Samii” dengarlah permohonan kami, kami sangat ingin bisa mendengar tangis seorang bayi membangunkan kami di malam hari. Mendengar gelak tawa yang menyenangkan hati kami. Ya Syahiid, saksikanlah kesungguhan usaha kami menjemput calon mujahid kecil-Mu. Tak satupun cara luput melainkan kami telah menempuhnya. Saksikanlah derai tetes air mata kami di malam sunyi. Ya Hayyu, tiupkanlah ruh kehidupan nan suci ke dalam rahimku. Izinkan rahimku menjadi tempat bersemayam ruh calon Hafiizh Qalam-Mu. Ya Mujiib, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengabulkan doa hamba-Mu. Kabulkanlah pinta kami ya Allah. Tak terkira besar harap kami untuk bisa segera menyambut Qurrotaa’yun yang akan menyejukkan pandangan kami.
Duhai calon anakku, Bunda sudah tidak sabar untuk segera merasakan hadirmu dalam kandungan bunda. Sudah lama bunda rindu untuk memperdengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an untukmu. Bunda ingin mendengar runtutan ayat Quran meluncur dari bibir mungilmu. Bunda tak sabar ingin dirimu menyaksikan betapa besar cinta Ayahmu kepada kita. Segeralah hadir dalam hidup Bunda nak. Bunda ingin sekali memelukmu. Bunda janji tak akan menyia-nyiakanmu.
Duhai calon anakku, izinkan Bunda menjemputmu.
Aku,
Salah satu wanita pendamba anak-anak surga
sumber artikel : tentanganak.info