Islamedia.co - Dalam acara Indonesia
Lawyer Club (ILC) di TVOne, Selasa (14/10) malam, Ketua
Umum GP Ansor mengeluarkan statemen kontroversial. Pria asal Kudus Jawa Tengah
ini menyatakan, hukum konstitusi itu lebih tinggi dari hukum agama.
Pernyataan
ini menggelinding bak bola panas, memicu pro kontra, baik dari orang NU
struktural maupun kultural. Paling tidak itu terjadi di beberapa media sosial
yang saya ikuti.
Belajar
dari kasus ini, juga kejadian serupa yang dilakukan sebagian kawan-kawan NU,
atau katakan oleh oknum-oknumnya, secara pribadi saya berpikir, organisasi kita
ini membutuhkan suatu Aswaja Terapan. Dia berisi klausul-klausul, berikut syarah
(penjelasan)nya, yang mengikat bagi seluruh pengurus, banom, lajnah dan
lembaga, bahkan politisi yang mengaku sebagai orang NU. Hal ini juga untuk
mencegah agar NU tidak hanya menjadi kendaraan politik dan alat pragmatisme
politisi, yang hanya 'mengaku-ngaku' sebagai orang NU pada saat musim
pencalonan atau pemilihan.
Rujukan
Aswaja Terapan itu adalah Qanun Asasi, AD/ART, khiththah nahdliyah, fikrah
nahdliyyah, dan hasil ijtihad (aqwal) ulama yang mu'tabar
atau diakui di lingkungan NU. Isinya meliputi standar organisasi mengenai
akidah, amaliah, mu'amalah, politik (siyasah), juga standar tasawwuf dan
thariqah yang diakui oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.
Sebagai
aplikasinya, pengurus NU dalam semua tingkatannya, yang perilaku, ucapan, dan
pemikirannya melanggar poin-poin Aswaja Terapan tersebut, harus diberi nasihat,
bimbingan, atau tindakan, baik secara organisasi, bahkan syar'i.
Contoh
praksisnya seperti ini. KH As'ad Syamsul Arifin, tokoh yang disegani nahdliyyin
itu pernah melakukan mufaraqah dengan NU di bawah kepemimpinan Gus Dur.
Ibarat imam shalat, Gus Dur dalam pandangan Kiai As'ad sudah batal. Nah, Aswaja
Terapan itu semacam kumpulan aturan tentang syarat sah wudhu dan shalat, rukun
wudhu dan shalat, serta hal-hal yang dapat membatalkanya. Ia menjadi suatu
payung hukum dan aturan jelas untuk menilai sah dan batalnya ke-NU-an seseorang
menurut standar Ahlussunnah Wal Jama'ah an-Nahdliyyah.
Apakah
mungkin? Tentu, penyusunan -apalagi penerapan- Aswaja Terapan dalam semua lini
kehidupan pengurus dan warga NU ini membutuhkan usaha keras. Namun, data
mengenai hal itu bukannya tidak ada. Salah satu contoh, hasil-hasil Bahtsul
Masail mulai tingkat pusat sampai bawah begitu berkelimun. Di sana ada produk
pembahasan yang ilmiah mengenai akidah, mu'amalah, siyasah syar'iyah, hubungan
antar warga dengan negara, status Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentang
ulil amri, dan sebagainya.
Selain
produk Lembaga Bahtsul Masail, NU memiliki data lainnya. Antara lain qanun
asasi dan Risalah Ahlissunnah Wal Jama'ah karya Hadlratus Syaikh KH Hasyim
Asy'ari. Demikian pula karya para kiai lainnya tentang tema Ahlussunnah Wal
Jama'ah dan ke-NU-an.
Dus, itu
semua adalah data mentahnya. Produk jadinya adalah Aswaja Terapan yang ‘memiliki
kekuatan hukum’ di lingkungan NU. Pengurus dan kader perlu memahami
Aswaja Terapan tersebut. Maka di kemudian hari, orang NU yang ucapan dan
perilakunya 'tidak NU', selain akan diberi bimbingan dan tindakan tertentu,
berdasarkan Aswaja Terapan itu dia tidak dapat dikatakan mewakili NU. Dia hanya
dinilai sedang mengeluarkan pendapat pribadi, atau akan dianggap sebagai oknum.
Keberadaan dan penerapan Aswaja Terapan sekaligus akan menjadi jawaban tidak
langsung atas stigma negatif terhadap NU, karena perilaku sebagian kecil
'oknum' NU.
Penerapan
karakter tawassuth, tasamuh, tawazun, sekarang ini sangat bias. Orang Jawa
bilang, sak karepe dewe-dewe (menurut penafsiran sendiri).
Politisi
NU terkadang juga masih bingung, bagaimana menerapkan ke-aswaja-annya untuk
keputusan-keputusan dari balik meja pemerintahan dan birokrasi.
Dalam
acara pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang yang saya
ikuti, Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftahul Achyar pernah menganalogikan orang
NU yang terjun ke dunia politik, itu
ibarat tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular untuk suatu misi tertentu.
Namun sayang, kritik beliau, tidak seperti tongkat Nabi Musa, beberapa politisi
itu terus menjadi ular, tidak mau kembali menjadi tongkat. Lupa pada NU, lupa
pada Aswaja-nya. Tinggallah politik pragtisnya.
Itu di
kancah politik. Belum lagi pemikiran-pemikiran 'orang NU' yang kekiri-kirian,
berpaham liberal, atau tasyayya' (berpaham atau mendukung Syi'ah).
Penerapan
Aswaja Terapan yang disepakati dan berlaku menyeluruh secara nasional, juga
PCI-PCI NU di luar negeri ini, berada
di bawah kendali Mustasyar dan Syuriah, sesuai dengan Pasal 21 tentang Tugas
dan Wewenang Pengurus.
Pasal tersebut
berisikan ayat-ayat:
(1) Mustasyar mempunyai tugas dan wewenang:
a. secara kolektip menyelenggarakan musyawarah setiap kali dianggap perlu, menjaga kemurnian Khittah Nahdliyah dan memberikan pertimbangan/nasehat kepada pengurus NU, baik diminta atau tidak diminta;
b. secara
pribadi-pribadi dapat memberikan nasehat, binaan dan bimbingan serta membai'at
Pengurus Tanfidziyah.
(2) Pengurus
Syuriyah selaku pimpinan, pengendali dan pengelola
mempunyai tugas:
mempunyai tugas:
a. menentukan
arah kebijaksanaan jam'iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk
mencapai tujuan NU;
b. memberikan
petunjuk, bimbingan dan pembinaan dalam memahami, mengamalkan dan mengembangkan
ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah dan al-Madzahibil Arba'ah,
baik di bidang aqidah, syari'ah maupun akhlaq/tasawuf;
c.
mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat
jam'iyah agar pelaksanaan program-program NU berjalan di atas ketentuan
jam'iyah dan Agama Islam;
d. membimbing, mengarahkan dan mengawasi badan-badan otonom yang langsung berada di bawah Syuriyah.
(3) Apabila
keputusan suatu perangkat NU dinilai bertentangan dengan ketentuan jam'iyah, terutama ajaran Islam, Pengurus Syuriyah atas keputusan rapatnya dapat membatalkan keputusan ataupun langkah
perangkat tersebut.
Akhirul kalam,
apapun produk 'ijtihad' organisasi ini, termasuk Aswaja Terapan nanti, tentu
yang penting adalah penegakannya.
Wallahu a'lam.