Islam edia .co - Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, diam-diam bergulir gerakan kebudayaan baru. Sekelompok anak muda gelisah, mereka...
Islamedia.co - Di tengah hiruk-pikuk politik nasional,
diam-diam bergulir gerakan kebudayaan baru. Sekelompok anak muda gelisah,
mereka yang pernah meramaikan kancah teater era 1980-an, tapi kemudian menjadi
penonton di pinggiran panggung. Kini, tampil kembali dengan energi meledak,
meski usia tidak bisa berkompromi.
Teater Kanvas yang pernah dijuluki sebagai
teater ideologis atau partisan oleh majalah Tempo
hadir dengan repertoar lama yang dipermak, Penghuni
Kapal Selam (PKS) di Gedung Kesenian Jakarta pada 21-23 Oktober 2014. Naskah
itu tak ada hubungannya dengan kekuatan sosial-politik apapun di negeri ini,
awalnya berjudul Melawan Arus Sepatu
(MAS, 1999) sebagai respon atas kondisi di sebuah negeri dimana tirani mencengkeram.
Rezim ‘Negeri Sepatu’ yang menginjak-injak jutaan rakyat tanpa belas kasih.
Pada 2008, sutradara sekaligus penulis naskah
Zak Sorga memodifikasi MAS jadi PKS. Dan kini, enam tahun kemudian dipentaskan
ulang dengan setting dan konteks
sosial-budaya berbeda. Tapi, relevansinya masih kuat, bahkan semakin menguat. Tatkala
seorang Jenderal Abdel Fattah As-Sisi menggulingkan pemerintahan yang sah
Presiden Mohammed Morsy, maka hancurlah demokrasi berkeping-keping dan bergeserlah
musim semi Arab menjadi musim dingin menggigit tulang, lalu rakyat Mesir
dipecah-belah seperti zaman keganasan Fir’aun.
Apakah Zak bercerita tentang Mesir, atau
mungkin Indonesia? Yang jelas, rezim sepatu lars (militeristik) masih
menginjak-injak rakyat Rohingya di Myanmar dan etnik Uighur di provinsi
Xinjiang, China. Masih banyak lagi derita umat akibat kebengisan penguasa atas
nama Buddhis, Komunis atau Kristen-evangelis (seperti di Afrika Tengah dan
Angola yang mengharamkan Islam dan menghancurkan masjid-mushola secara
membabi-buta).
Kita menanti pentas ini dengan jantung
berdegup kencang. Sebuah nostalgia dengan romantika sekaligus mimpi buruk.
Sebagian orang masih belum tuntas menghilangkan trauma sejarah, yang sesekali
menyembul dalam wujud ngilu masa lalu. Tapi, refleksi (merenung) dan
retrospeksi (mengkalkulasi ulang) perlu dilakukan karena kita semakin jenuh
dengan rutinitas kebebasan semu: berpartisipasi dalam pemilu dan pilkada penuh
manipulasi; mendapat gaji rutin dan janji kenaikan gaji berikutnya, meski
nilainya tergerus inflasi. Kita ingin perubahan, mencari makna dari sisa ajal
yang semakin tipis.
Maka, berkacalah kita pada karakter
‘berbahaya’ yang dihidupkan Teater Kanvas: Abdul Ghofar, da’i senior paling
ditakuti para sipir penjara; Abdul Muthalib, politikus bangkotan yang histeris
saban malam ingin memuntahkan kesumat; Jerio, sang orator bermimpi jadi
pemimpin meski jati dirinya seorang pengecut; Yon, aktivis labil yang telah terbunuh
masa mudanya; Kukuh, si mahasiswa tak seperti namanya justru ketakutan sepanjang
hari; Pi’i, tukang es yang istiqamah tetap berjualan es kalau sudah bebas;
Prawoto, mantan perampok yang ingin bertobat, tapi keburu dijebloskan dalam
penjara; Sokle, teknisi elektronik yang dituduh sebagai provokator. Selain itu,
Sang Sipir, hobi mengintimidasi tahanan, tapi galau hati kecilnya; Juru
Runding, sang licik berpakaian perlente; dan Si Kutu Buku, pendiam dan
misterius. Semua karakter itu berinteraksi, merangkai tragedi dan komedi dalam
penjara bawah tanah.
Sebagian sosok itu mungkin Anda kenal, atau
mungkin mewakili pengalaman Anda sendiri. Kita semua pernah merasakan ‘penjara’
dengan kadar berbeda-beda. Namun, tak ada siksa yang paling pedih, tak ada
dunia yang paling biadab, tak ada zaman yang paling gelap, kecuali di ‘Kapal
Selam’. Sehingga para Penghuni Kapal
Selam berkembang menjdi spesies tersendiri dengan tingkat adversity –dan sedikit intelejensi—yang
beraneka.
Sutradara Zak, kelahiran Tuban, Jawa Timur, menampilkan
kegetiran dengan cara menghibur. Betapa idealisme dapat mempertahankan
kewarasan di tengah kegilaan akibat siksaan. Alumni Institut Kesenian Jakarta (1990) itu dikenal
dengan pentas yang melibatkan penontonnya. Pada 1992, Zak membesut drama Intifadah di Teater Terbuka TIM, ratusan
penonton tetap duduk di ruang terbuka ketika hujan deras mengguyur. Pelakon dan
penonton merasakan aura yang sama, karena kehidupan di panggung dan dunia nyata
hanya berbeda skenario dan sutradara.
Sejak mendirikan Teater Kanvas (1987), Zak
telah menyutradarai lebih dari 30 buah drama yang dipentaskan di gedung
kesenian, taman budaya atau kampus-kampus. Tak kurang dari 18 naskah ditulisnya
sendiri, salah satunya Pemilu Di Desa
Gandul yang dimainkan tahun 2004 sebagai wakil Indonesia dalam Festival
Seni Enam Negara.
Drama PKS kali ini adalah sebentuk perlawanan
budaya, jika dicermati dari konteks politik nasional kiwari. Bangsa Indonesia
baru saja menyaksikan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru setelah
proses pemilu yang menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Sosok presiden yang
memenangkan pemilu ditampilkan dalam sebuah film, cara populer untuk membangun
mitos plus kultus.
Sementara itu, sosok pecundang divisualkan dengan
cara berbeda, sarkasme vulgar untuk mencemooh atau menghakimi. Salah satunya
via film Negeri Tanpa Telinga (NTT) karya
Lola Amalia, yang merekam Indonesia dari gendang telinga seorang tunanetra.
Karena saking menyakitkannya, Naga sang tukang pijat (diperankan Teuku Rifnu
Wikana) ingin menghancurkan telinganya sendiri. Ia mendengar konspirasi jahat
Partai Amal Syurga yang diketuai Ustad Etawa (Lukman Sardi) berkolusi dengan importir
daging domba untuk merampok uang negara. Ia membenci aktivitas partai yang
memakai simbol-simbol religi palsu.
Ada lagi, Partai Martobat yang dipimpin Piton
(Ray Sahetapy) berambisi besar untuk menjadi presiden. Untuk itu ia berusaha
mendapatkan dana sebanyak-banyaknya, dengan cara apapun, termasuk menggunakan
pengaruhnya di parlemen dibantu Joki Ringkik. Karakter (ular) Naga, (kambing)
Etawa, dan (ular) Piton menggambarkan, betapa sang sutradara dan penulis
skenario menistakan sosok yang dimaksudnya. Idiom partai Amal Syurga dan
Martobat secara sengaja dipilih untuk mewakili ideologi tertentu, bukan
Purgatorio (Kristen) atau Nirvana (Hindu). Pesan film itu jelas, menyerang
secara budaya.
Bahkan, sampai Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Abraham Samad pun berhasil dipengaruhi, mengapresiasi film NTT
sebagai proyek idealisme karena menantang arus pasar (Okezone, 17 Agustus 2014).
Dampaknya secara finansial sulit diprediksi, tapi secara budaya pesan dan
kekuatannya luar biasa. KPK merasa film itu dapat menjadi alat kampanye tentang
kebobrokan parpol dan politisi. Mungkin naskah film NTT bersumber dari kasus yang
ditangani KPK?
Sementara kenyataannya, gugatan Prof. Romli
Atmasasmita tentang diktum ‘trading in
influence’ yang belum dikodifikasi dalam UU Tipikor (Republika, 5 Oktober
2013) dan kritik Prof. Bagir Manan terhadap hakim tipikor yang menvonis kasus
suap impor daging sapi sebagai ‘tidak saintifik’ karena niat belum bisa dinilai
sebagai tindak pidana (Hukum Online, 24 Mei 2014), justru diabaikan. Masuk
keranjang sampah pemberitaan.
Keganjilan apapun dalam pemeriksaan di
peradilan akan sirna dalam plot film, sebuah vonis budaya tanpa proses
pengujian fakta dan logika. Manipulasi apapun yang terjadi dalam pemilu hanya
fatamorgana dalam sebuah film tentang sang pemenang, penguasa baru yang
dimitoskan. Produk budaya (film, sinetron atau drama) bisa berfungsi sebagai
penghukuman sosial atau pembaptisan orang-orang suci.
Kita ingin menikmati produk seni-budaya yang
mewaraskan pikiran dan menyehatkan jiwa, bukan menumbuhkan dan melestarikan
dendam, termasuk kepada masa lalu yang suram. Karena itu, pendukung Teater
Kanvas terdiri dari generasi beragam latar belakang, antara lain: Jimmy S.
Johansyah (sastrawan dan penyair senior), Bambang ‘Betet’ Wahyudin (jebolan Bengkel
Teater Rendra dan Kantata Takwa), Achmad Fadhilah dan (pernah aktif di Bengkel
Deklamasi Jose Rizal Manua), Heri Purwoko (penulis dan fotografer), Septiadi
(wartawan freelance), dan Angga Roman W. (pembina anak jalanan di rumah singgah
Master Depok). Penata artistik digarap Husnawi Ishak Arep, sedang musik berdegup
diawaki Raden Agung F. Dari tempat latihan bersahaja di Kampung Baru, pinggiran
kota Depok, tampak sejumlah anak muda bergabung. Suatu hari mereka akan
membangun generasi baru dramawan untuk menapaki jejak sejarah Teater Muslim
Yogyakarta.
Teater Kanvas, peraih penghargaan terbaik
dalam Festival Teater Jakarta tahun 1991-1993, sebenarnya melanjutkan tradisi
teater pergerakan sebagai ekspresi dakwah. Kiprahnya masih sayup terdengar. Zak
Sorga menimba ilmu dari Suyatna Anirun dan Tatiek Maliati, dosennya di kampus.
Tapi, kearifan dan kematangan hidup dijalaninya bersama kolega senior Chaerul
Umam yang kini tersenyum damai di alam barzah. Sangat menarik untuk menelisik
proses kreatif seorang seniman-aktivis, sutradara-santri pergerakan. Biasanya
kedua kutub itu saling menegasikan, mengharamkan satu sama lain.
Seakan jenuh berkubang dalam dunia teater yang
miskin dan tak terurus, Zak sempat merambah ke bidang film dan sinetron. Lebih
dari 100 skenario film-televisi (FTV) ditulisnya dan ditayangkan di sejumlah
stasiun televisi swasta. Glamoritas televisi –sebagaimana sinetron elite
politik-- membuatnya muntah, sehingga ia menyendiri dan menjadi dalang Wayang
Daun, mendongeng bersama bocah-bocah di kampung yang haus hiburan segar. Kini
sang dalang kembali naik panggung.
“Setelah urusan teknik, teater adalah gagasan.
Menampilkan gagasan sebagai diskusi yang hidup dan melibatkan penonton serta
publik, itulah tantangan seorang sutradara teater,” ujar Zak.
Kredo Zak selayaknya didukung, jangan
dibiarkan mati iseng sendiri. Puluhan orang saweran untuk membiayai pelatihan
dan proses produksi minimalis. Ratusan lainnya membeli tiket, menyisihkan uang
belanja dan jatah pulsa. Ada pula satu-dua sponsor, tapi itu masuk manusia
langka di tengah gencarnya komersialisasi. Semoga ini pertanda baik bagi
kebangkitan seni pergerakan.
Cerita lain kita dapat dari Helvy Tiana Rosa
yang sedang menggalang crowd funding (dukungan
dana publik secara massif melalui jejaring media sosial) untuk mensponsori
pembuatan film Ketika Mas Gagah Pergi
(KMGP). Sebenarnya, naskah film KMGP sudah dilirik sponsor kakap, namun Helvy
enggan karena inti gagasannya akan diobrak-abrik sesuai selera pasar.
Konsistensi Helvy patut dipuji, semoga bangsa ini masih waras untuk
membelanjakan uangnya bagi karya berkualitas.
Produk seni pergerakan memang menghadapi
tantangan berat di tengah budaya super liberal. Namun, potensi pasar Muslim
sangat besar dan telah teruji dalam praktek. Sebut saja, kisah sukses film Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih (jilid 1 dan 2). Sebelumnya juga terbukti
dengan meledaknya penjualan album Nasyid, Shalawat Nabi dan musik religi. Atau
juga, sinetron Para Pencari Tuhan dan
Catatan Hati Seorang Isteri.
Persoalannya berpulang, apakah seniman
pergerakan sanggup mempertahankan stamina kreativitasnya dan mengkader lahirnya
generasi seniman baru? Kemudian edukasi warga ditujukan untuk mengkonsumsi seni
yang menghidupkan jiwa, disamping menggembleng aqidah militan dan ibadah
mahdhah. Bila eksperimen budaya ini sukses, maka kita akan keluar dari ‘kapal
selam’ (penjara pikiran) masing-masing dan menyambut cakrawala di tengah
samudera. Menghirup udara bebas untuk membangun basis sosial-budaya baru.
Sapto Waluyo
Koordinator Jaringan Media Profetik