Bukan Parameter Jahiliyah, Tapi Parameter Al-Kitab dan As-Sunnah -->

Bukan Parameter Jahiliyah, Tapi Parameter Al-Kitab dan As-Sunnah

Zaid A
Rabu, 09 Agustus 2023
Islamedia  -  Dalam hidup, perlu sebuah ukuran atau referensi agar menjadi pribadi yang dicintai oleh manusia lainnya. Terlebih dicinta oleh Dia sang pencipta alam semesta, yang sempurna tak ada cela. Lantas apa kiranya yang mampu mengantarkan hamba yang papa kepada Dia yang miliki segalanya?


Apakah harta yang berlimpah? Atau jabatan yang terpandang yang begitu dielukan banyak orang? Jawabannya bukan. Meski seluruh kekayaan manusia di dunia dikumpulkan menjadi satu, meski jabatan atau gelar yang 'wah' di mata manusia di genggaman tangan, semuanya tak dapat menjamin dapat bertemu Dengannya.

Allah begitu baik pada hamba-hambaNya, sebab itu Ia tak syaratkan materi dunia tuk bertemu denganNya. ParameterNya adalah taqwa. Sehingga hamba yang paling dekat dengan Allah yang Maha Tunggal lagi Maha Esa adalah orang yang paling dekat dengan ketaatan dan paling jauh dari kemaksiatan. Ketika seorang hamba inginkan cinta dariNya, maka ia pun harus ikuti caraNya termasuk dalam menilai.



Inilah yang kemudian diterapkan oleh salah seorang sahabat utama Rasulullah, khalifah kedua setelah sepeninggal Abu Bakar Siddiq. Dialah Umar ibnul Khaththab yang terkenal keras dalam kepemimpinannya, namun begitu lembut pada mereka yang dekat dengan Rabbnya.

Parameter Al-Kitab dan As-Sunnah menjadi pilihannya, ketika muktamar yang diadakan Umar setiap tahunnya sedang berlangsung. Saat itu, para sahabatnya berada di depan pintu, menanti giliran untuk bertemu Umar. Sementara Umar ditemani pengawal pribadinya, yang menyebutkan satu persatu nama para sahabat yang berada di luar.



"Siapakah yang ada di pintu?", kata pengawal. Abu Sufyan berkata, "Sampaikanlah kepada Amirul Mukminin bahwa aku ada di sini."
Pengawal pribadi bertanya, "Dan siapakah kalian?" Mereka pun menyebutkan namanya masing-masing, kemudian sang pengawal kembali kepada Umar dan memberitahukan hal itu kepadanya.



Umar berkata, "Berilah izin kepada Bilal ibnu Rabah untuk masuk!" Bilal pun mengetuk pintu dan masuk.
Umar berkata, "Suruh Suhaib masuk!" Suhaib pun masuk.
Umar berkata, "Suruh Salman masuk!" Salman pun masuk.

Selanjutnya setelah mereka masuk semuanya, Abu Sufyan yang terlihat hidungnya mengembang karena marah dan rasa mendongkol yang sangat berkata: "Demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, aku tidak mengira bila Umar membuatku lama menanti sesudah mereka masuk terlebih dahulu sebelumku. "



Maka pada saat itu juga Suhail ibnu 'amr, teman dekatnya yang cukup bijak, mengatakan kepadanya: "Wahai Abu Sufyan, demi Allah, aku tidak peduli dengan pintu Umar dan izinnya. Akan tetapi, aku khawatir bila kita dipanggil pada hari Kiamat nanti, maka mereka masuk surga, sedang kita ditinggalkan. Karena sesungguhnya mereka dan kita ketika diseru, ternyata merekalah yang menyambutnya, sedang kita terlambat. Mereka telah mengenal, sedang kita mengingkari. Oleh karena itu, pantaslah bila mereka didahulukan, sedang kita dikemudiankan. "

Perhatikanlah alasan Umar menjadikan Abu Sufyan paling terakhir dipanggil dibanding sahabat lainnya, yaitu atas dasar parameter Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebab dalam diri Abu Sufyan masih ada sisa-sisa endapan jahiliyah yang menimbang segala urusan dengan parameter jahiliyah. Lihatlah bagaimana Umar menilai martabat manusia hanya berdasarkan parameter taqwa kepada Allah, bukan parameter dunia yang sering menipu kebanyakan manusia. Setiap dari kita memiliki cara yang berbeda dalam menilai orang lain. Namun tetap jadikan parameter taqwa sebagai dasarnya. Jangan biarkan nafsu mendahului akal dan jangan biarkan akal lupa pada siapa Tuhan kita. 



[Disadur dari buku Hidupkan Hatimu karya 'Aidh Al Qarni]