
Mantan wartawan
yang suka pindah partai menjadi jubirnya sekarang. Memberi klarifikasi untuk sang bos. Katanya perempuan
itu anggota rombongan. Tak ada yang salah dari foto itu, tambahnya. Ingatan
kita lalu terjebak pada seorang petinggi partai lainnya. Ia berpiknik bersama
artis ke Maladewa dan berfoto mesra pula. Tidak berduaan saja memang. Perlakuan
yang mereka terima dari media sekuler berbeda sekali. Tapi saya tidak akan membahas orang terakhir
ini.
Namun, mari kita
telaah bersama pernyataan jubir itu. Tidak ada yang salah, katanya. Tidak ada
yang salah. Bagi mereka yang berpikiran bahwa agama adalah urusan pribadi
tentunya demikian. Ketaatan kepada agama adalah urusan dia dengan tuhannya.
Bukan urusan orang lain. Apalagi urusan negara.
Kalau kita bawa
kepada aturan agama, apakah tidak salah seorang laki-laki menyentuh dan
merangkul wanita yang bukan mahram? Tidak ada yang salah, katanya lagi. Ah yang benar? Coba kita ganti orang yang bercambang
dan berjanggut lebat itu dengan petinggi partai yang kental sekali dengan
ideologi Islamnya.
Kalau jawabannya
“salah”, itu jawaban yang tidak adil. Karena ukuran kebenaran itu hanya untuk
kelompoknya saja. Bukan untuk yang lain. Ketika tuduhan itu menimpa kelompoknya
mereka melakukan pembelaan. Namun ketika menimpa di luar kelompoknya mereka
diam. Seakan-akan tak punya urusan dengan orang lain.
Kalau jawabannya
“tidak salah”, ini pun jawaban keblinger. Karena ukuran kebenarannya juga
adalah kebenaran manusia yang relatif, bukan kebenaran Tuhan melalui ajaran
yang disebarkan oleh para nabi dan rasul. Salah ataupun tidak salah adalah
jawaban ambivalen buat orang yang tidak memegang aturan agama sebagai aturan
tertinggi dalam hidupnya.
Cacian dan hujatan
akan banyak diterima oleh orang yang ditengarai publik sebagai orang baik
ketika orang baik itu terpeleset. Walaupun mereka sebenarnya tidak melanggar
syariat sama sekali. Bahkan menghindarkan dirinya dari perbuatan yang merusak
harga diri kemanusiaannya dengan perbuatan zina. Poligami dicaci, zina
direstui. Zaman sudah terbalik.
Kalau saja bos
media itu berasal dari kalangan Islam politik yang puritan, saya yakin ia akan
menghadapi makian tiada berkesudahan. Dia bukan dari kalangan yang seharusnya
“bermoral” maka tak ada “dosa” buatnya.
Cap wajar masih bisa disematkan kepadanya. Dan publik memelihara standar
ganda ini. Ditambah media yang terus menjadi alat pencitraan 24 jam dalam
sehari, tujuh hari dalam sepekan.
Maka silakan
bersuka-ria dalam gerbong sekulerisasi, karena tak akan pernah ditagih
nilai. Jika kepleset, media siap
melindungi dan menyediakan sarana kamuflase dengan sebaran pembentukan opini
yang terbalik. Hukum? Bisa kebal juga. Ah, penyair sekaligus pemerkosa itu
siap-siap tidak akan pernah diadili di depan meja hijau yang penuh hikmat itu.
Pemimpin negeri
adalah cerminan dari rakyatnya, kurang lebih Ibnu Qayyim Aljauziyah mengatakan
demikian. Dan sudah ada delapan juta lebih rakyat Indonesia melabuhkan suara
untuk partai yang didirikannya. Jangan pernah menggugat. Semuanya berkisar pada
refleksi.
Pada akhirnya saya
teringat dengan apa yang pernah dikatakan “ideolog” ini. Bahwa restorasi memang
bukan jalan pintas. Saya setuju sekali. Ingin rasanya saya menambahkan dengan
kalimat penutup berikut: Restorasi Indonesia seharusnya dimulai dari diri
sendiri.
Kalau tidak,
restorasi terkesan banal dan sekadar manis di mulut. Bahkan pedas namun tak
berarti apa-apa. Serupa cabai yang tak pernah berhenti disantap walau sudah
kerap bertaubat.
***
Riza Almanfaluthi
Pemerhati Masalah Politik, Sosial, dan Keagamaan
Pemerhati Masalah Politik, Sosial, dan Keagamaan