Islam edia .co - Istilah “pluralisme agama” kini kerap digunakan dalam pembicaraan, baik di media massa maupun di karya-karya tulis ilmia...
Islamedia.co - Istilah “pluralisme agama” kini kerap digunakan dalam pembicaraan,
baik di media massa maupun di karya-karya tulis ilmiah. Istilah yang
biasanya disingkat menjadi “pluralisme” ini seolah-olah sudah diterima
secara konsensus. Jalaluddin Rakhmat, dalam wawancaranya yang dimuat di
situs resmi Jaringan Islam Liberal (JIL), menyatakan bahwa pluralisme
“…dalam dunia akademis, sudah ada kesepakatan dan batasan-batasan dalam
definisinya.” Jalaluddin juga menegaskan bahwa pluralisme bukan
sinkretisme, bukan pula menganggap semua agama benar, melainkan sebuah
posisi (teologis) yang berhadapan dengan dua posisi lainnya, yaitu
eksklusivisme dan inklusivisme.
Di perguruan-perguruan tinggi Islam, misalnya di kampus-kampus UIN, istilah “pluralisme” memang telah digunakan secara luas. Istilah ini cenderung diterima secara ‘taken for granted’, alias diterima tanpa syarat, tanpa mendiskusikan definisi dan batasan-batasannya. Kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda dengan klaim Jalaluddin, karena sesungguhnya hampir semua orang yang membicarakan pluralisme tidak pernah menjelaskan definisinya. Ironisnya, dalam wawancara yang dimuat di situs JIL itu pun, Jalaluddin tidak menjelaskan definisi yang menjadi rujukannya ketika menyebutkan istilah tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Pluralisme, lagi-lagi, Jalaluddin lalai memberikan sebuah definisi yang pasti.
Satu-satunya ‘petunjuk’ mengenai definisi pluralisme yang digunakan oleh Jalaluddin Rakhmat adalah komentarnya mengenai eksklusivisme dan inklusivisme. Dalam pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa “…pandangan keagamaan Islam pada dasarnya bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.” Dalam uraian tersebut, Nurcholish juga menyebutkan pandangan yang eksklusif, inklusif dan pluralis. Yang pertama adalah pandangan bahwa agamanya sendiri adalah satu-satunya agama yang benar, yang kedua menganggap bahwa kebenaran pun bisa ditemukan di agama lain, namun standar kebenaran sejati tetaplah agamanya sendiri. Adapun pluralisme merupakan ‘lompatan lebih lanjut’ daripada inklusif, karena pandangan ini membenarkan semua agama dengan standar kebenarannya masing-masing.
Masalah Definisi
Jika Jalaluddin Rakhmat bersikeras menyatakan bahwa pluralisme telah memiliki definisi yang jelas di dunia akademis, maka hal yang sebaliknya dinyatakan oleh Abd. Moqsith Ghozali, seorang doktor jurusan Tafsir Qur’an lulusan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dalam bukunya yang berjudul Argumen Pluralisme Agama. Dalam buku yang merupakan adaptasi dari disertasinya itu, Moqsith mendedikasikan sebuah subbab khusus untuk membahas kompleksitas pendefinisian pluralisme ini; subbab itu diberinya judul “Kajian Pluralisme Belum Kukuh”.
Sesuai judul subbab tersebut, di dalamnya Moqsith menjelaskan bahwa hingga hari ini pun definisi pluralisme belum disepakati secara konsensus, baik oleh pihak yang menyebut dirinya ‘pluralis’ atau juga yang ‘anti-pluralisme’. Moqsith juga menjelaskan bahwa kajian pluralisme di Indonesia masih jauh dari komprehensif. Salah satu masalah yang mendasar adalah sikap dari masing-masing kelompok yang memandang permasalahan secara parsial. Kelompok yang anti-pluralisme hanya membahas ayat-ayat yang ‘non-pluralis’, sedangkan kelompok pluralis cenderung menghindari ayat-ayat tersebut, demikian juga sebaliknya. Moqsith juga menyebut beberapa karya kaum pluralis yang dianggapnya belum membahas pluralisme secara komprehensif, antara lain buku Islam dan Pluralisme karya Jalaluddin Rakhmat yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, seolah hendak mengulang kesalahan kaum pluralis lainnya, Moqsith pun tidak menjelaskan definisi pluralisme yang dirujuknya hingga lembaran akhir bukunya tersebut.
Kebanyakan kalangan pluralis mendefinisikan pluralisme dengan cara yang cenderung puitis, namun jauh dari ilmiah. Nurcholish Madjid, misalnya, menulis dalam sebuah artikel yang diberinya judul “Pluralisme Agama di Indonesia” bahwa pluralisme adalah “…pertemuan yang sejati dari keserbaragaman dalam ikatan-ikatan kesopanan (bonds of civility)”. Trisno S. Sutanto mendefinisikannya sebagai sikap “menerima dan menghargai keragaman, bahkan merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan.” Muhammad Ali menjelaskannya sebagai sikap mengakui, memahami dan meyakini kemajemukan sebagai kenyataan yang mengandung kebajikan. Semua penjelasan ini masih jauh dari kukuh, bahkan cenderung ‘mengambang’.
Definisi yang diberikan oleh Alwi Shihab dan Ahmad Fuad Fanani adalah contoh yang menarik untuk dikaji. Menurut Alwi, pluralisme adalah konsep yang menuntut setiap pemeluk agama untuk tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan di antara mereka guna tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan.
Adapun menurut Ahmad Fuad Fanani, pluralisme adalah “sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia tidak hanya dalam satu kelompok, suku, warna kulit dan agama.” Definisi yang pertama lebih dekat kepada toleransi beragama, sedangkan yang kedua lebih dekat pada paham persamaan agama, sebab ia menegaskan bahwa Tuhan memang berkehendak agar manusia memeluk berbagai agama, karena semua agama itu adalah ciptaan-Nya belaka. Dalam prakteknya, definisi yang kedualah yang seringkali digunakan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwanya dari tahun 2005, memberikan definisi yang lebih tegas. Menurut penjelasan dalam fatwa ini, pluralisme adalah “…suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.” Dengan demikian, pluralisme telah melangkah jauh dari batas-batas toleransi yang dibenarkan oleh agama, sehingga cenderung menganggap semua agama benar dan sama. Dalam fatwa tersebut, MUI secara tegas menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam.
Fatwa MUI tersebut telah membuat segenap kalangan pluralis murka dan angkat bicara. Setelah fatwa itu dikeluarkan, situs JIL langsung ramai dengan berbagai tanggapan yang intinya menyatakan bahwa definisi pluralisme yang diberikan oleh MUI masih terlalu ‘mentah’ dan terlalu menyederhanakan persoalan. Suratno, salah seorang penulis yang artikelnya dimuat di situs JIL, menjelaskan bahwa “Realitasnya, definisi pluralisme agama sendiri sebenarnya tidak bersifat tunggal (monolitik) karena banyak para ahli yang memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap pluralisme agama.” Untuk memperkuat argumennya, Suratno memaparkan berbagai pemikiran pluralis dari lima orang tokoh besarnya. Dalam konsep pluralisme Karl Rahner, agama lain sebenarnya merupakan bentuk implisit dari agama yang kita anut. Adapun menurut John Hick, agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kebenaran dan keselamatan. John Cobb Jr. memiliki pandangan bahwa kebenaran satu agama tidak sama validnya dengan kebenaran agama lain, namun masing-masing dapat belajar dari satu sama lainnya tanpa meninggalkan kenyataan bahwa di antara mereka terdapat banyak perbedaan. Raimundo Panikkar mengambil sikap lain dengan menyatakan bahwa setiap agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan tantangan (challenge) antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Terakhir, Wilfred Cantwell Smith menawarkan sebuah teologi yang mengharuskan kita untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.
Paparan yang diberikan oleh Suratno hanya menegaskan apa yang juga disebutkan oleh Abd. Moqsith Ghozali, yaitu bahwa kajian pluralisme seringkali mengabaikan masalah definisi, yang semestinya justru menjadi pembahasan awal dalam setiap kajian ilmiah. Sikap keberatan kaum pluralis terhadap Fatwa MUI tahun 2005 tersebut semakin mengherankan jika kita melihat fakta bahwa hingga kini pun artikel-artikel, makalah-makalah dan buku-buku yang membahas masalah pluralisme tetap saja tidak menjelaskan definisi yang digunakannya. Dalam hal ini, paling tidak MUI telah menjalankan tanggung jawab intelektualnya dengan memberikan definisi sebelum menentukan sikap. Sebaliknya, sikap kaum pluralis yang masih saja berkeras untuk membicarakan pluralisme dengan mengabaikan definisinya justru menunjukkan adanya kesengajaan dan tujuan tersembunyi yang hendak dicapai secara sistematis dari kajian-kajian semacam ini.
Tren-tren Pluralisme
Meskipun pluralisme agama sudah menjadi bahasan yang luas di Indonesia, namun hingga kini masih sangat sulit mendapatkan karya tulis yang membahasnya secara komprehensif. Kebanyakan karya yang membicarakan soal pluralisme adalah kumpulan artikel dan makalah, sedangkan masing-masing artikel dan makalah tersebut hanya membahas beberapa segi dari pluralisme secara terpisah.
Mencari gagasan pluralisme yang orisinil dari Indonesia, dengan demikian, cukup sulit. Hampir semua penulis pluralis menyandarkan pemikirannya dari kaum cendekiawan di luar negeri, baik yang berasal dari Timur dan Barat. Oleh karena itu, konsepnya pun seringkali nampak ‘tambal sulam’. Adakalanya mengambil dari William James, di waktu lain mengambil dari Seyyed Hossein Nasr. Padahal, pemikiran keduanya bersumber dari latar belakang pemikiran yang sangat berbeda, meskipun hasil akhirnya memang identik.
Bagi kaum ulama, sebaliknya, pluralisme telah mendapat perhatian yang sangat luas. Pluralisme kerap kali mendapat porsi kajian yang khusus dalam bahasan-bahasan seputar Islam liberal. Buku-buku yang membahas tentang masalah ini cukup banyak, misalnya yang ditulis oleh Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif dan sebagainya. KH. Hilmi Aminuddin dalam bukunya, Menghilangkan Trauma Persepsi, telah membedakan antara pluralitas sebagai fakta keragaman dengan pluralisme sebagai ideologi yang cenderung pada sikap nifaq. DR. Surahman Hidayat juga telah membahas dan mendebat paham pluralisme ini dalam bukunya yang berjudul Islam, Pluralisme dan Perdamaian.
Di Indonesia, karya yang paling komprehensif membahas fenomena pluralisme adalah buku Tren Pluralisme Agama karya Anis Malik Thoha. Buku ini membahas empat tren pluralisme yang menggunakan dasar pemikiran yang berbeda-beda satu sama lainnya. Keempat tren pluralisme itu adalah: Humanisme Sekuler (Secular Humanism), Teologi Global (Global Theology), Sinkretisme dan Hikmah Abadi (Sophia Perennis/Perennial Philosophy/The Transcendent Unity of Religions). Dua tren pertama subur berkembang di Barat, sedangkan dua yang terakhir banyak menyebar di Timur. Di Indonesia, sesuai dengan prinsip ‘tambal sulam’ yang telah dijelaskan sebelumnya, keempat tren ini digunakan secara sporadis.
Di perguruan-perguruan tinggi Islam, misalnya di kampus-kampus UIN, istilah “pluralisme” memang telah digunakan secara luas. Istilah ini cenderung diterima secara ‘taken for granted’, alias diterima tanpa syarat, tanpa mendiskusikan definisi dan batasan-batasannya. Kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda dengan klaim Jalaluddin, karena sesungguhnya hampir semua orang yang membicarakan pluralisme tidak pernah menjelaskan definisinya. Ironisnya, dalam wawancara yang dimuat di situs JIL itu pun, Jalaluddin tidak menjelaskan definisi yang menjadi rujukannya ketika menyebutkan istilah tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Pluralisme, lagi-lagi, Jalaluddin lalai memberikan sebuah definisi yang pasti.
Satu-satunya ‘petunjuk’ mengenai definisi pluralisme yang digunakan oleh Jalaluddin Rakhmat adalah komentarnya mengenai eksklusivisme dan inklusivisme. Dalam pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa “…pandangan keagamaan Islam pada dasarnya bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.” Dalam uraian tersebut, Nurcholish juga menyebutkan pandangan yang eksklusif, inklusif dan pluralis. Yang pertama adalah pandangan bahwa agamanya sendiri adalah satu-satunya agama yang benar, yang kedua menganggap bahwa kebenaran pun bisa ditemukan di agama lain, namun standar kebenaran sejati tetaplah agamanya sendiri. Adapun pluralisme merupakan ‘lompatan lebih lanjut’ daripada inklusif, karena pandangan ini membenarkan semua agama dengan standar kebenarannya masing-masing.
Masalah Definisi
Jika Jalaluddin Rakhmat bersikeras menyatakan bahwa pluralisme telah memiliki definisi yang jelas di dunia akademis, maka hal yang sebaliknya dinyatakan oleh Abd. Moqsith Ghozali, seorang doktor jurusan Tafsir Qur’an lulusan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dalam bukunya yang berjudul Argumen Pluralisme Agama. Dalam buku yang merupakan adaptasi dari disertasinya itu, Moqsith mendedikasikan sebuah subbab khusus untuk membahas kompleksitas pendefinisian pluralisme ini; subbab itu diberinya judul “Kajian Pluralisme Belum Kukuh”.
Sesuai judul subbab tersebut, di dalamnya Moqsith menjelaskan bahwa hingga hari ini pun definisi pluralisme belum disepakati secara konsensus, baik oleh pihak yang menyebut dirinya ‘pluralis’ atau juga yang ‘anti-pluralisme’. Moqsith juga menjelaskan bahwa kajian pluralisme di Indonesia masih jauh dari komprehensif. Salah satu masalah yang mendasar adalah sikap dari masing-masing kelompok yang memandang permasalahan secara parsial. Kelompok yang anti-pluralisme hanya membahas ayat-ayat yang ‘non-pluralis’, sedangkan kelompok pluralis cenderung menghindari ayat-ayat tersebut, demikian juga sebaliknya. Moqsith juga menyebut beberapa karya kaum pluralis yang dianggapnya belum membahas pluralisme secara komprehensif, antara lain buku Islam dan Pluralisme karya Jalaluddin Rakhmat yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, seolah hendak mengulang kesalahan kaum pluralis lainnya, Moqsith pun tidak menjelaskan definisi pluralisme yang dirujuknya hingga lembaran akhir bukunya tersebut.
Kebanyakan kalangan pluralis mendefinisikan pluralisme dengan cara yang cenderung puitis, namun jauh dari ilmiah. Nurcholish Madjid, misalnya, menulis dalam sebuah artikel yang diberinya judul “Pluralisme Agama di Indonesia” bahwa pluralisme adalah “…pertemuan yang sejati dari keserbaragaman dalam ikatan-ikatan kesopanan (bonds of civility)”. Trisno S. Sutanto mendefinisikannya sebagai sikap “menerima dan menghargai keragaman, bahkan merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan.” Muhammad Ali menjelaskannya sebagai sikap mengakui, memahami dan meyakini kemajemukan sebagai kenyataan yang mengandung kebajikan. Semua penjelasan ini masih jauh dari kukuh, bahkan cenderung ‘mengambang’.
Definisi yang diberikan oleh Alwi Shihab dan Ahmad Fuad Fanani adalah contoh yang menarik untuk dikaji. Menurut Alwi, pluralisme adalah konsep yang menuntut setiap pemeluk agama untuk tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan di antara mereka guna tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan.
Adapun menurut Ahmad Fuad Fanani, pluralisme adalah “sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia tidak hanya dalam satu kelompok, suku, warna kulit dan agama.” Definisi yang pertama lebih dekat kepada toleransi beragama, sedangkan yang kedua lebih dekat pada paham persamaan agama, sebab ia menegaskan bahwa Tuhan memang berkehendak agar manusia memeluk berbagai agama, karena semua agama itu adalah ciptaan-Nya belaka. Dalam prakteknya, definisi yang kedualah yang seringkali digunakan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwanya dari tahun 2005, memberikan definisi yang lebih tegas. Menurut penjelasan dalam fatwa ini, pluralisme adalah “…suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.” Dengan demikian, pluralisme telah melangkah jauh dari batas-batas toleransi yang dibenarkan oleh agama, sehingga cenderung menganggap semua agama benar dan sama. Dalam fatwa tersebut, MUI secara tegas menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam.
Fatwa MUI tersebut telah membuat segenap kalangan pluralis murka dan angkat bicara. Setelah fatwa itu dikeluarkan, situs JIL langsung ramai dengan berbagai tanggapan yang intinya menyatakan bahwa definisi pluralisme yang diberikan oleh MUI masih terlalu ‘mentah’ dan terlalu menyederhanakan persoalan. Suratno, salah seorang penulis yang artikelnya dimuat di situs JIL, menjelaskan bahwa “Realitasnya, definisi pluralisme agama sendiri sebenarnya tidak bersifat tunggal (monolitik) karena banyak para ahli yang memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap pluralisme agama.” Untuk memperkuat argumennya, Suratno memaparkan berbagai pemikiran pluralis dari lima orang tokoh besarnya. Dalam konsep pluralisme Karl Rahner, agama lain sebenarnya merupakan bentuk implisit dari agama yang kita anut. Adapun menurut John Hick, agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kebenaran dan keselamatan. John Cobb Jr. memiliki pandangan bahwa kebenaran satu agama tidak sama validnya dengan kebenaran agama lain, namun masing-masing dapat belajar dari satu sama lainnya tanpa meninggalkan kenyataan bahwa di antara mereka terdapat banyak perbedaan. Raimundo Panikkar mengambil sikap lain dengan menyatakan bahwa setiap agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan tantangan (challenge) antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Terakhir, Wilfred Cantwell Smith menawarkan sebuah teologi yang mengharuskan kita untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.
Paparan yang diberikan oleh Suratno hanya menegaskan apa yang juga disebutkan oleh Abd. Moqsith Ghozali, yaitu bahwa kajian pluralisme seringkali mengabaikan masalah definisi, yang semestinya justru menjadi pembahasan awal dalam setiap kajian ilmiah. Sikap keberatan kaum pluralis terhadap Fatwa MUI tahun 2005 tersebut semakin mengherankan jika kita melihat fakta bahwa hingga kini pun artikel-artikel, makalah-makalah dan buku-buku yang membahas masalah pluralisme tetap saja tidak menjelaskan definisi yang digunakannya. Dalam hal ini, paling tidak MUI telah menjalankan tanggung jawab intelektualnya dengan memberikan definisi sebelum menentukan sikap. Sebaliknya, sikap kaum pluralis yang masih saja berkeras untuk membicarakan pluralisme dengan mengabaikan definisinya justru menunjukkan adanya kesengajaan dan tujuan tersembunyi yang hendak dicapai secara sistematis dari kajian-kajian semacam ini.
Tren-tren Pluralisme
Meskipun pluralisme agama sudah menjadi bahasan yang luas di Indonesia, namun hingga kini masih sangat sulit mendapatkan karya tulis yang membahasnya secara komprehensif. Kebanyakan karya yang membicarakan soal pluralisme adalah kumpulan artikel dan makalah, sedangkan masing-masing artikel dan makalah tersebut hanya membahas beberapa segi dari pluralisme secara terpisah.
Mencari gagasan pluralisme yang orisinil dari Indonesia, dengan demikian, cukup sulit. Hampir semua penulis pluralis menyandarkan pemikirannya dari kaum cendekiawan di luar negeri, baik yang berasal dari Timur dan Barat. Oleh karena itu, konsepnya pun seringkali nampak ‘tambal sulam’. Adakalanya mengambil dari William James, di waktu lain mengambil dari Seyyed Hossein Nasr. Padahal, pemikiran keduanya bersumber dari latar belakang pemikiran yang sangat berbeda, meskipun hasil akhirnya memang identik.
Bagi kaum ulama, sebaliknya, pluralisme telah mendapat perhatian yang sangat luas. Pluralisme kerap kali mendapat porsi kajian yang khusus dalam bahasan-bahasan seputar Islam liberal. Buku-buku yang membahas tentang masalah ini cukup banyak, misalnya yang ditulis oleh Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif dan sebagainya. KH. Hilmi Aminuddin dalam bukunya, Menghilangkan Trauma Persepsi, telah membedakan antara pluralitas sebagai fakta keragaman dengan pluralisme sebagai ideologi yang cenderung pada sikap nifaq. DR. Surahman Hidayat juga telah membahas dan mendebat paham pluralisme ini dalam bukunya yang berjudul Islam, Pluralisme dan Perdamaian.
Di Indonesia, karya yang paling komprehensif membahas fenomena pluralisme adalah buku Tren Pluralisme Agama karya Anis Malik Thoha. Buku ini membahas empat tren pluralisme yang menggunakan dasar pemikiran yang berbeda-beda satu sama lainnya. Keempat tren pluralisme itu adalah: Humanisme Sekuler (Secular Humanism), Teologi Global (Global Theology), Sinkretisme dan Hikmah Abadi (Sophia Perennis/Perennial Philosophy/The Transcendent Unity of Religions). Dua tren pertama subur berkembang di Barat, sedangkan dua yang terakhir banyak menyebar di Timur. Di Indonesia, sesuai dengan prinsip ‘tambal sulam’ yang telah dijelaskan sebelumnya, keempat tren ini digunakan secara sporadis.