Islam edia .co - Perlu kiranya saya tegaskan bahwa ekstrimitas dalam beragama akan menuai keburukan dan tidak akan menuai kebaikan apapu...
Islamedia.co - Perlu kiranya saya tegaskan bahwa
ekstrimitas dalam beragama akan menuai keburukan dan tidak akan menuai
kebaikan apapun, jika Nabi SAW telah bersabda : “Kebaikan tidak mendatangkan kecuali kebaikan semata.”
(HR Muttafaq ‘alaih), maka begitu pula ekstremisme merupakan keburukan
yang tidak mendatangkan kecuali keburukan semata. Karena itulah banyak
hadits dengan ragam redaksi dan ungkapannya yang memperingatkan hal
tersebut, diantaranya sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya agama itu mudah
dan tidak seorangpun yang memperberat agama kecuali ia akan
dikalahkannya, maka luruslah dan lembutlah.” (HR Bukhari, No. 39).
“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam beragama! Sesungguhnya orang sebelum kalian binasa karena berlebih-lebihan dalam beragama.” (Diriwayatkan oleh para penyusun hadits shahih : Ibnu Khuzaimah, Ibnu Habban, Al-Hakim, Adh-Dhiya’ dan lainnya, tercantum dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, No. 1283);
“Janganlah kalian memperberat diri kalian sendiri, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena memperberat diri mereka sendiri dan akan kamu temui sisa-sisa mereka dalam gubuk-gubuk peribadatan serta gereja-gereja.” (HR Bukhari dalam At-Tarikh dan lainnya, saya telah mentakhrijnya dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, No. 3124).
Jika memang demikian permasalahannya tentu pembaca telah bisa membaca dan memperhatikan kristalisasi perilaku ekstremisme beragama di dalam ragam pendapat dan pernyataan kalangan oposan ekstrem yaitu pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya hingga ke kuku-kukunya dan keharusan ini hingga dalam shalat sekalipun. Hal tersebut disebutkan pula dalam bentuk sikap “memaksa-diri” mereka untuk meng-counter dalil-dalil yang berstatus qath’i yang menyatakan pemberlakuan menyingkap wajah pada masa-masa yang disebut oleh Nabi SAW sebagai “Abad-abad Terbaik” juga kesaksian para sahabat dan tabi’in dan para Imam Mujtahid akan bolehnya hal tersebut.
Pernyataan Imam Malik, – Imam Darul Hijrah – kiranya tidak terlalu jauh dari ingatan pembaca, bahwa wanita dibolehkan atau tidak apa-apa ikut duduk makan-makan bersama laki-laki asing / ajnabi yang bukan mahramnya sepanjang didampingi suaminya, disamping pernyataan-pernyataan tegas beliau lainnya yang menyatakan bahwa wajah bukanlah termasuk aurat wanita.
Semua ini rupanya tidak menyurutkan Syaikh At-Tuwaijiri (lawan perdebatan Syaikh Albani dalam masalah ini -pen) untuk menuding sesat orang-orang yang memegang pendapat di atas, sebagaimana telah kami kutip pada awal halaman kitab ini, bahkan ia mendiskreditkan hal tersebut sebagai bentuk “Pengingkaran ayat-ayat ALLAH” lalu ia juga tidak malu-malu mengklaim bahwa telah ijma’ wajah wanita adalah termasuk aurat!
Padahal ia sendiri menyebutkan bahwa jumhur ulama berpendapat sebaliknya, patut disayangkan pula bahwa para muqallid Syaikh tersebut dalam aksi ekstremisme ini ternyata cukup banyak. Dari segi ilmiah telah saya bantah dalam kitab saya ini dan dapat diketahui oleh setiap orang yang memperhatikan pendapat-pendapat dan pernyataan-pernyataan mereka. Adapun dari sisi amaliah (praktek), masalahnya ternyata jauh lebih aneh lagi, saya telah menemukan tiga kasus dalam masalah ini :
PERTAMA, menantu saya bercerita ia pernah bermaksud berkunjung ke seorang Syaikh terkemuka (yang termasuk kalangan ekstrem ini), namun ternyata sang Syaikh sama sekali tidak menyambut apalagi mempersilakannya, hanya karena istri menantu saya tersebut (yaitu anak saya sendiri) bertelanjang muka (tidak bercadar -pen), meski ia telah menutup seluruh anggota tubuh lainnya dengan hijab sesuai syara’.
Padahal konon sang Syaikh terkenal dengan sikap tawadhu’ dan kesopanan akhlaqnya! Lalu dimanakah posisi orang ini terhadap ucapan Imam Ahmad – yang telah saya kutip sebelumnya – : “Tidak boleh seorang faqih menyalahkan manusia karena (perbedaan) madzhabnya!”
KEDUA, saat saya berumrah bersama istri saya, Ummu Al-Fadhl pada tahun 1401 H, kami telah melihat banyak sekali wanita bersa’i dengan menggunakan niqab (cadar), lalu saya menasihati yang laki-laki, sementara istri saya menasihati yang wanita, bahwa hal tersebut hukumnya tidak boleh! Jika memang harus menutup muka maka tutuplah muka dengan mengulurkan jilbab (bukan dengan memakai niqab), kami paparkan hadits shahih yang menyatakan demikian, namun kami tidak mendapat respon dari mereka. Saya menduga ini merupakan pengaruh ekstremitas sebagian Syaikh (di Saudi Arabia -pen) dalam masalah wajah wanita, seharusnya jika para Syaikh tersebut berpendapat wanita menutup wajah, maka mereka tetap berkewajiban memberi informasi tentang larangan menggunakan cadar bagi wanita yang sedang ihram.
Karena fenomena ini sudah sangat kronis dan saya sering menyaksikannya saat jama’ah hajji dan umrah saya, suatu hari saya melihat seorang pemuda bersa’i bersama seorang wanita bercadar, saya dekati dia lalu saya tanya : “Apakah ia (wanita disebelahmu) sedang berihram juga?” Pemuda itu menjawab : “Ya, benar!” Saya katakan : “Nabi SAW bersabda : Laa tantaqibul mar’atul muhrimatu… (Janganlah seorang wanita berihram memakai niqab…)” Namun ia tidak membiarkan saya menyempurnakan hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW[1], dan ia langsung memotong saya : “Ini adalah khilafiyyah!” Maka saya berkata : “Masalahnya bukan pada wajah wanita yang bercadar (yang menjadi khilafiyyah -pen), tetapi memakai cadar bagi wanita yang berihram.” Tapi ia tidak sedikitpun memperhatikan saya dan terus berlalu serta bersa’i dengan wanita tersebut.
KETIGA, pada tahun itu juga setelah umrah saya diundang untuk mengunjungi kawasan Timur Saudi, saya sampaikan disana beberapa ceramah dan saya jawab beberapa pertanyaan hadirin baik laki-laki maupun wanita yang disampaikan baik tertulis maupun via telpon. Lalu saya mendapat informasi bahwa beberapa wanita yang konsisten dengan cadar saat saya beritahu dengan hadits : “Laa tantaqibul mar’atul muhrimatu…” Mereka malah menyerukan : “Kami akan tetap bercadar dan tidak akan menyingkap wajah kami! Teruskan bercadar!!!”
Subhaanallah! Kebodohan apa yang telah dilakukan oleh pengikut Muhammad SAW?! Padahal ALLAH SWT telah memberikan mereka jalan keluar untuk menutup wajah mereka dengan menjulurkan ujung jilbab mereka. Namun sebagaimana saya katakan bahwa pengaruh sikap keras para Syaikh di negara-negara tersebut sudah terlalu kuat tertanam di dalam diri mereka, sehingga merekapun mengabaikan peringatan tentang sisi-sisi lain yang berkaitan dengan masalah ini serta dispensasinya menurut syariat.
Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Dikutip dan diringkas oleh Aba Abdullah dari khatimah Kitab Syaikh Albani berjudul : Ar-Radd al-Mufhim ‘ala man Khalafa al-’Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al-Mar’ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Awjaba walam Yaqtani’ bi Qawlihim innahu Sunnatun wa Mustahabbun.
Dipublikasikan oleh www.al-intima.com
[1] Sikap berani mendebat hadits Nabi SAW apalagi memotongnya seperti itu adalah berdosa besar, karena kita diperintahkan untuk tidak mengangkat suara melebihi Nabi SAW dan tidak mendahului Nabi SAW dalam hukum-hukum syari’at, lihat juga hukum ini dalam tafsir awal-awal QS Al-Hujurat (pen)
“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam beragama! Sesungguhnya orang sebelum kalian binasa karena berlebih-lebihan dalam beragama.” (Diriwayatkan oleh para penyusun hadits shahih : Ibnu Khuzaimah, Ibnu Habban, Al-Hakim, Adh-Dhiya’ dan lainnya, tercantum dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, No. 1283);
“Janganlah kalian memperberat diri kalian sendiri, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena memperberat diri mereka sendiri dan akan kamu temui sisa-sisa mereka dalam gubuk-gubuk peribadatan serta gereja-gereja.” (HR Bukhari dalam At-Tarikh dan lainnya, saya telah mentakhrijnya dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, No. 3124).
Jika memang demikian permasalahannya tentu pembaca telah bisa membaca dan memperhatikan kristalisasi perilaku ekstremisme beragama di dalam ragam pendapat dan pernyataan kalangan oposan ekstrem yaitu pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya hingga ke kuku-kukunya dan keharusan ini hingga dalam shalat sekalipun. Hal tersebut disebutkan pula dalam bentuk sikap “memaksa-diri” mereka untuk meng-counter dalil-dalil yang berstatus qath’i yang menyatakan pemberlakuan menyingkap wajah pada masa-masa yang disebut oleh Nabi SAW sebagai “Abad-abad Terbaik” juga kesaksian para sahabat dan tabi’in dan para Imam Mujtahid akan bolehnya hal tersebut.
Pernyataan Imam Malik, – Imam Darul Hijrah – kiranya tidak terlalu jauh dari ingatan pembaca, bahwa wanita dibolehkan atau tidak apa-apa ikut duduk makan-makan bersama laki-laki asing / ajnabi yang bukan mahramnya sepanjang didampingi suaminya, disamping pernyataan-pernyataan tegas beliau lainnya yang menyatakan bahwa wajah bukanlah termasuk aurat wanita.
Semua ini rupanya tidak menyurutkan Syaikh At-Tuwaijiri (lawan perdebatan Syaikh Albani dalam masalah ini -pen) untuk menuding sesat orang-orang yang memegang pendapat di atas, sebagaimana telah kami kutip pada awal halaman kitab ini, bahkan ia mendiskreditkan hal tersebut sebagai bentuk “Pengingkaran ayat-ayat ALLAH” lalu ia juga tidak malu-malu mengklaim bahwa telah ijma’ wajah wanita adalah termasuk aurat!
Padahal ia sendiri menyebutkan bahwa jumhur ulama berpendapat sebaliknya, patut disayangkan pula bahwa para muqallid Syaikh tersebut dalam aksi ekstremisme ini ternyata cukup banyak. Dari segi ilmiah telah saya bantah dalam kitab saya ini dan dapat diketahui oleh setiap orang yang memperhatikan pendapat-pendapat dan pernyataan-pernyataan mereka. Adapun dari sisi amaliah (praktek), masalahnya ternyata jauh lebih aneh lagi, saya telah menemukan tiga kasus dalam masalah ini :
PERTAMA, menantu saya bercerita ia pernah bermaksud berkunjung ke seorang Syaikh terkemuka (yang termasuk kalangan ekstrem ini), namun ternyata sang Syaikh sama sekali tidak menyambut apalagi mempersilakannya, hanya karena istri menantu saya tersebut (yaitu anak saya sendiri) bertelanjang muka (tidak bercadar -pen), meski ia telah menutup seluruh anggota tubuh lainnya dengan hijab sesuai syara’.
Padahal konon sang Syaikh terkenal dengan sikap tawadhu’ dan kesopanan akhlaqnya! Lalu dimanakah posisi orang ini terhadap ucapan Imam Ahmad – yang telah saya kutip sebelumnya – : “Tidak boleh seorang faqih menyalahkan manusia karena (perbedaan) madzhabnya!”
KEDUA, saat saya berumrah bersama istri saya, Ummu Al-Fadhl pada tahun 1401 H, kami telah melihat banyak sekali wanita bersa’i dengan menggunakan niqab (cadar), lalu saya menasihati yang laki-laki, sementara istri saya menasihati yang wanita, bahwa hal tersebut hukumnya tidak boleh! Jika memang harus menutup muka maka tutuplah muka dengan mengulurkan jilbab (bukan dengan memakai niqab), kami paparkan hadits shahih yang menyatakan demikian, namun kami tidak mendapat respon dari mereka. Saya menduga ini merupakan pengaruh ekstremitas sebagian Syaikh (di Saudi Arabia -pen) dalam masalah wajah wanita, seharusnya jika para Syaikh tersebut berpendapat wanita menutup wajah, maka mereka tetap berkewajiban memberi informasi tentang larangan menggunakan cadar bagi wanita yang sedang ihram.
Karena fenomena ini sudah sangat kronis dan saya sering menyaksikannya saat jama’ah hajji dan umrah saya, suatu hari saya melihat seorang pemuda bersa’i bersama seorang wanita bercadar, saya dekati dia lalu saya tanya : “Apakah ia (wanita disebelahmu) sedang berihram juga?” Pemuda itu menjawab : “Ya, benar!” Saya katakan : “Nabi SAW bersabda : Laa tantaqibul mar’atul muhrimatu… (Janganlah seorang wanita berihram memakai niqab…)” Namun ia tidak membiarkan saya menyempurnakan hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW[1], dan ia langsung memotong saya : “Ini adalah khilafiyyah!” Maka saya berkata : “Masalahnya bukan pada wajah wanita yang bercadar (yang menjadi khilafiyyah -pen), tetapi memakai cadar bagi wanita yang berihram.” Tapi ia tidak sedikitpun memperhatikan saya dan terus berlalu serta bersa’i dengan wanita tersebut.
KETIGA, pada tahun itu juga setelah umrah saya diundang untuk mengunjungi kawasan Timur Saudi, saya sampaikan disana beberapa ceramah dan saya jawab beberapa pertanyaan hadirin baik laki-laki maupun wanita yang disampaikan baik tertulis maupun via telpon. Lalu saya mendapat informasi bahwa beberapa wanita yang konsisten dengan cadar saat saya beritahu dengan hadits : “Laa tantaqibul mar’atul muhrimatu…” Mereka malah menyerukan : “Kami akan tetap bercadar dan tidak akan menyingkap wajah kami! Teruskan bercadar!!!”
Subhaanallah! Kebodohan apa yang telah dilakukan oleh pengikut Muhammad SAW?! Padahal ALLAH SWT telah memberikan mereka jalan keluar untuk menutup wajah mereka dengan menjulurkan ujung jilbab mereka. Namun sebagaimana saya katakan bahwa pengaruh sikap keras para Syaikh di negara-negara tersebut sudah terlalu kuat tertanam di dalam diri mereka, sehingga merekapun mengabaikan peringatan tentang sisi-sisi lain yang berkaitan dengan masalah ini serta dispensasinya menurut syariat.
Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Dikutip dan diringkas oleh Aba Abdullah dari khatimah Kitab Syaikh Albani berjudul : Ar-Radd al-Mufhim ‘ala man Khalafa al-’Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al-Mar’ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Awjaba walam Yaqtani’ bi Qawlihim innahu Sunnatun wa Mustahabbun.
Dipublikasikan oleh www.al-intima.com
[1] Sikap berani mendebat hadits Nabi SAW apalagi memotongnya seperti itu adalah berdosa besar, karena kita diperintahkan untuk tidak mengangkat suara melebihi Nabi SAW dan tidak mendahului Nabi SAW dalam hukum-hukum syari’at, lihat juga hukum ini dalam tafsir awal-awal QS Al-Hujurat (pen)