Islamedia.co - Kegigihan dan keuletannya menuntut ilmu tak ada bandingnya.
Didukung dengan segenap kemampuan dan usaha keras orang tuanya yang memang dari
keluarga peduli pendidikan dan dari keluarga berkecukupan. Baru saja dia sukses
menyelesaikan program masternya di negri Sakura. Dan sebentar lagi dia akan
mengambil program doktoralnya di salah satu Universitas International di negri
tirai bambu. Belum lama ini, juga sudah ada tawaran beasiswa menempuh program
doktoral di Amerika. Sederet tawaran sudah ada di pelupuk mata. Itu karena
kegigihan dan kecerdasannya yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dia telah menyabet seabreg penghargaan baik nasional maupun
internasional. Tak ayal kecerdasan dan kecantikannya membuat semua mata sejuk
saat memandang. Berderet-deret kaum adam datang hendak meminang. Satu persatu
mereka harus merelakan pujaan hatinya menyelesaikan pendidikan. Jawabannya
tetap sama, sebisa mungkin tidak menggores luka di dalam dada-dada mereka; “Maaf, aku masih ingin belajar.”.
Adalah Zahra, seorang gadis berprestasi setinggi mentari,
menembus lagit-langit nan tinggi. Kini dia baru tersadar. Suksesnya Zahra di bidang akademis, malah membuat orang
tuanya cemas. Bukan hanya orang tuanya, dirinya sendiri pun telah memahami
betul bahwa sorang wanita tidak sepantasnya belajar di negri orang tanpa
pendamping. Tanpa ada pasangan atau mahram yang menjaganya dari fitnah lawan
jenis.
Kini Zahra belum juga menikah di usianya yang memasuki
kepala tiga. Di awal keberangkatannya ke negri Sakura, dua tahun lalu sebenarnya
dia sudah berniat untuk melepas masa lajangnya, namun yang datang selalu saja
belum memenuhi kriteria. Jiwanya kini mulai
bimbang dihadapkan pada pilihan mengejar cita-cita atau segera membina rumah tangga.
Dia selalu termenung dalam lamunan-lamunan panjang;
“Adakah laki-laki yang berani mengajukan diri? Bila ada
tentu orang ini bukan orang biasa! Namun, adakah di dunia ini orang luar biasa
itu? Sedang usiaku semakin hari semakin berlari.” hayalnya terus menghantui.
Demi mengurus orang tua, dia memutuskan pulang kampung. Dia hanya
menjadi dosen di sebuah universitas di kampung sendiri walaupun berderet
beasiswa doktoral telah menunggunya. Dia
berharap sepulangnya nanti, segera ada yang datang menjemputnya mengakhiri
perjalanan panjang memenuhi cita-cita membina rumah tangga.
Hari demi hari aktifitasnya makin sibuk, namun tetap saja
dalam jiwanya meronta. Tak putus dalam doa-doanya mengiba. Ibunya semakin khawatir
jika semasa hidupnya tidak sempat menyaksikan Zahra bersuami dan sang ibu ingin segera menimang cucu. Apalagi bila
melihat anak-anak tetangga seusia Zahra, mereka sudah memiliki dua bahkan tiga
buah hati yang menyejukkan mata.
Satu prinsip yang terus ia pegang dalam memilih pasangan.
Bukan kedudukan dan ketampanan. Bukan harta dan bukan pula terhormatnya
keturunan. Yang ia utamakan adalah ketaatan pada agama dan kebenaran keyakinan,
ya… kesholihan. Ia akan memilih imam bagi dirinya yang tau tentang agama dan
berpegang teguh dengan ajaran-ajarannya. Dia yakin sepenuhnya bila itu yang
jadi ukuran, Allah akan mengirim laki-laki terbaik yang ada di alam raya. Ia
terus berusaha sekuat tenaga untuk bersabar menanti janji Allah yang akan mengirimkan
sang pujangga hatinya.
Doanya terjawab. Kini datang kepadanya seorang yang
berkedudukan terhormat. Berpendidikan tinggi selangit. Ketampanannya selalu
menjadi pikat buat semua mata kaum hawa yang melihat. Kedua orang tua Zahra pun
sangat bangga dan bahagia. Kini anak sulungnya segera akan menikah. Telah
datang laki-laki yang menjabat sebagai rektor di universitas terkenal di dalam
negri. Sebenarnya Zahra juga jatuh hati, namun Zahra kenal betul siapa yang
datang?
Dia adalah rektor di universitas tempat ia mengajar. Zahra faham betul
perangai dan kebiasaan bersama mahasiswi yang mengelilingi kehidupan laki-laki
itu. Dengan modal jabatan, harta dan ketampanannya, dia bisa mendekat kepada
semua wanita idamannya. Batinnya meronta, ini masalah prinsip agama, dia tak
boleh menuruti nafsu yang selalu berbisik menerima lamarannya. Dengan sangat
hati-hati berharap tidak ada hati yang tersakiti dia tolak lamaran atasannya.
Alasan moral.
Suatu ketika Zahra pun minta saran kepada Murobbiyahnya.
Ia berikan sebuah amplop berisi biodata. Berharap ada solusi di sana. Ia masih
terdiam mendengar putuah sang murobbiyah tentang keutamaan menikah.
Menata hati, meluruskan niat yang haqiqi. Dari sini harapan itu tumbuh. Zahra
dipertemukan dengan seorang pemuda yang dari sisi pekerjaan kurang sepadan. Bila
diukur dengan materi kurang prestius dan tidak menjanjikan. Hanya seorang guru
kampung yang gajinya hanya cukup untuk makan. tapi Zahra merasa cocok. Tak ada kebimbangan
dan alasan sedikit pun untuk menolak. Ia terima dengan sangat bangga bahwa
inilah jodoh yang dikirimkan Allah untuk dirinya. Laki-laki lulusan pesantren
yang sederhana. Tidak larut dalam hiruk-pikuk hedonisme dan kehidupan modern
yang cenderung meralutkan identitas seorang muslim pada umumnya.
Kini hatinya tak lagi kosong. Ada wajah yang selalu
terbayang dalam lamunan. Ada senyum yang selalu menyirami sejuk hati yang
selama ini kering kerontang. Cintanya tumbuh subur dalam sanubari terdalamnya. Harinya penuh canda, bertabur bunga. Bahagia
menyelimuti bingkai seluruh aktifitasnya. Mentari paginya selalu cerah. Cahaya
cintanya merekah. Terlihat warna merah merekah disetiap senyum kembangnya
membuncah.
Allah menyiapkan kehendak yang lain. Dia benar-benar menguji
prinsip hambanya yang beriman. Semakin pohon iman seorang hamba tertancap mengakar
kuat, semakin ia akan diterpa dengan berbagai angin badai ujian melantakkan. Orang
tua laki-laki Zahra tidak setuju!
Mendengar itu,
langit seakan runtuh, menimpa jasad sang gadis yang ringkih. Langit hatinya mendung kembali, warna awan harapan
menjadi kelabu. Matahari hanya muncul sebentar dalam hidupnya. Malu-malu dan
kemudian hilang lagi bersembunyi. Saat itu Zahra merasa sudah mati. Tak ada
kehidupan dalam kembang kempis nafasnya. Dadanya sempit terhimpit. Dia hanya
bisa menyerahkan semua kepada yang memegang kendali semua makhluk. Ratapan-ratapan
kecil selalu saja menghiasi lamunannya. Namun dia masih punya banyak sahabat,
yang dulu sama-sama aktif di organisasi saat masih menimba ilmu di kampus. Mereka
menjadi tempat tupahan rasa dan asanya saat berkunjung membesuk Zahra atau
sekedar berbagi rasa lewat dunia maya.
Hari –harinya
kini ia gunakan untuk bekerja. Mengajar dan melakukan yang ia bisa. Berdoa dan
meminta dikuatkan punggungnya berjalan di atas ujian yang terus datang tak
kenal henti. Terus menarik-narik tubuhnya yang sudah mulai lelah tak bertenaga.
Memintanya berlari dan menyeret-nyeret.
Tahun baru, ya
sekarang tahun telah berganti. Bertambah lagi satu tahun usianya menanti. Tiada
sama sekali yang berganti, malah semakin lama- semakin bertambah umur panjang
ia melajang. Kenapa selalu saja ada ujian sebagai penghalang saat ia akan
melangkah kaki.
Dalam penantian,
Zahra mulai menguatkan kembali pijakan. Menggali memperdalam iman dalam diri.
Menancapkannya kuat-kuat dalam sanubari. Ia baca kisah Rithah seorang perawan dari Bani
Ma’zhum yang patah hati saat ditinggal lari suami. Ia tak mau seperti Rithah
yang tak punya iman dalam menentukan jodoh dan pilihan. Keluhan Rithah terngiang
saat dia menanti jodoh tak kunjung datang;
“Oh ibu, usiaku sudah lanjut, namun belum
datang seorang pemuda pun meminangku. Apakah aku akan menjadi perawan seumur
hidup?”.
Kisahnya tragis, di ujung penantiannya yang panjang. Berakhir dengan penghianatan seorang
suami yang tak berakhlak membawa lari harta kekayaan.
Kini Zahra segera sadar. Allah punya kehendak yang
lain. Dia telah menyiapkan jodoh terbaiknya di belakang nanti. Ia tak boleh
patah hati. Ia menghibur diri dengan doa yang ditulis oleh Khoirul Anwar dalam
bait-bait puisi;
Tuhanku
Dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu
Walau susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk.
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu
Walau susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk.
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Muhammad
Khumaidi
Praktisi Pendidikan SMAIT Nur Hidayah Surakarta
Alumnus
Ma’had Aly An-Nu’aimy Jakarta
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta