Populisme dan Reposisi Ekonomi Islam -->

Populisme dan Reposisi Ekonomi Islam

Zaid A
Senin, 09 Juni 2014
Islamedia.co -“ mereka yang benar-benar peduli dengan keadilan sosial, seringkali merasa sedang melakukan dialog dengan orang tuli,“ Michael Prowse


Ungkapan tadi dinukil oleh DR Umer Chapra dalam salah satu buku nya yakni “Islam and The Economic Challenge” ketika memulai tulisannya mengenai negara kesejahteraannya, konsep negara kesejahteraan jika dirunut asal teori dan konsep nya sebenarnya bisa ditemukan dalam salah satu teori ekonomi pembangunan yaitu teori radikal, menurut Prof Didin S Damanhuri dalam buku nya Ekonomi Politik dan Pembangunan (2010) teori radikal muncul sebagai kritikan  tajam terhadap teori liberal yang sudah lebih dahulu ada dan menjadi sebuah reaksi terhadap era industrialisasi, seperti halnya Karl Mark ketika menulis Das Capital nya yang ditujukan kepada kaum buruh sedunia yang menjadi korban industrialisasi, Karl Marx memposisikan diri nya sebagai antitesa teori-teori pasar bebas yang sudah lebih dahulu didengungkan oleh Adam Smith, David Ricardo, Jean Baptise Say, tetapi justru dari David Ricardo, Karl Marx membangun teori surplus values nya, di saat yang sama memprediksikan kematian kapitalisme dan ide “kemakmuran  universal “ akan berada di bawah ide marxisme nya,

Ramalan Karl Marx tersebut ternyata tidak benar, seperti yang diungkapkan oleh bekas pemimpin partai komunis Polandia, ramalan Karl Marx “kemakmuran universal” yang diidamkan oleh Adam Smith tercapai di bawah komunisme mengalami sebaliknya, kelas pekerja justru tidak semakin menderita,dan upah pekerja naik secara substansial, masyararakat sosialis utopia tidak berkembang, ketika Karl Marx wafat tidak banyak buruh yang menangisi kepergiannya pun demikian buku nya yang sudah kadung dianggap gospel di kalangan penganut sosialisme marxis jika bukan kecekatan tangan Friedrich Engels, sahabat karib Karl Marx, niscaya tidak pernah ada yang sudi membaca nya hatta, ekonom yang muncul di tengah abad depresi besar, John Maynard Keyness, menyindir ajaran sosialisme nya Marx sebagai “yang terburuk dan didirikan di atas kesalahan teori nilai kerja Ricardo”

Setelah mengetahui sosialisme ala Karl Marx tidak akan berumur panjang untuk bisa diadopsi sebagai sistem dan ideology yang menyelamatkan perekonomian umat manusia, beberapa intelektual sosialisme Karl Marx mengevaluasi dan mengkaji ulang gagasan yang ditelurkan oleh Karl Marx bahkan tidak sedikit dari intelektual sosialisme Marxis beralih semula kembali pada teori liberal dan mendukung kebebasan pasar atau Laissez fair seperti halnya Whitaker Chamber, Mark Blaug,dan Thomas Sowwel, Paul Sweezy, yang terakhir malah kembali menjadi pengajar teori ekonomi keynessian namun pada tahun 1942, Paul Sweezy bekerja sama dengan Joseph Schumpeter, seorang ekonom yang lahir setelah era nya Keyness, menulis sebuah buku berjudul “The Theory of Capitalist Development, “(1942)) Sweezy sepakat dengan Schumpeter akhirnya kapitalisme akan jatuh dan sosialisme menunjukkan superioritasnya. Pasca robohnya Uni Sovyet, teori sosialisme marxis benar-benar menggelepar maka kapitalisme pun kembali menunjukkan kepongahannya sebagai sistem yang diterima umat manusia,

Pasca robohnya Uni Sovyet, muncul sejumlah kalangan yang benar-benar ingin merevisi teori radikal nya sosialisme marxis, menurut Umer Chapra, karena kegagalan kapitaiisme sebenarnya terletak pada wilayah distribusi maka tugas sosialisme adalah menghapuskan ketidakadilan dan kesenjangan internal dalam sistem kapitalisme, namun kalangan yang merevisi juga menyadari ilmu ekonomi modern bawaannya cenderung dengan semangat kapitalisme, yang saat itu masih diidentikkan dengan kebebasan indivual, pasar, minimalisir peran negara, dan  pro industri, maka solusi yang ditawarkan sebagai bentuk revisi tersebut muncul konsep ekonomi campuran, konsep ekonomi campuran itulah yang akhirnya melahirkan negara kesejahteraan dan teori radikal yang reborn yaitu sosialisme demokrat, tokoh-tokoh yang mengusung dan membesarkan teori negara kesejahteraannya di daratan Eropa antara lain Walras, Pareto, Edgeworth pada generasi pertama dan dari nama Pareto ditemukan teori Pareto Optimum, John Hicks, Kenneth Arrow, Paul Samuelson, dari tangan Leon Walras dan Pareto teori radikal menjadi lebih sedikit scientific, Leon Walras menjelaskan kalau ekonomi kesejahteraan tujuanya adalah justru untuk menunjukkan kebaikan gagasan Laissez Faire dengan dasar adanya efisiensi dan keadilan dan menunjukkan pasar “ yang bersaing bebas” akan memaksimalkan utilitas sosial ( tingkat kepuasan dalam berkonsumsi barang publik ) dari kedua belah pihak melalui serangkaian pertukaran, itulah sebabnya kita menemukan dalam program pelayanan publik yang dewasa ini digencarkan di DKI Jakarta dan menjadi bahan pemanis kampanye Cagub dan Cawagub di Jawa Barat sesungguhnya merujuk pada nilai dari pelayanan publik yakni value for money yang terdiri dari efektif, efisien dan ekonomis, nilai tadi merujuk pada teori radikal sosialisme demokrat yang paling tua sepanjang sejarah ilmu ekonomi.

Pada tahun 1895, Vilvredo Pareto menggantikan Leon Walras di Universitas Laussane, dan dari tangan Vilvredo Pareto memperbaharui teori radikal sosialisme demokrat nya Walras, dan dari itulah muncul teori yang dikenal sangat popular dalam ilmu ekonomi barat yakni teori Optimalitas Pareto, dalam teorinya tersebut Vilvredo Pareto menunjukkan bahwa ekonomi dengan persaingan sempurna, mencapai level keadilan ekonomi yang optimal dimana alokasi sumber daya tidak dapat diubah untuk membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa perlu mengorbankan orang lain. namun cacatnya teori negara kesejahteraan ini dari awal yakni mereka kembali mengimpikan berada di negara yang penuh idealitas tanpa mempertimbangkan trade off dalam kehidupan ekonomi, kebijakan-kebijakan makroekonomi sosialisme demokrat yang diadopsi dalam bentuk subsidi, penetapan pajak progressive, sistem jaminan sosial, serikat buruh, dll kandas dan itulah aspek yang tertimpa dari gulungan krisis keuangan satu daratan Eropa, untuk menutupi lubang hutang negara dalam APBN sejumlah pos belanja harus diketatkan, subsidi yang sudah terlalu berat, fiscal cliff yang dalam ambigu dan sistem jaminan sosial yang harus dipotong dan dipangkas agar tidak membebani APBN adalah bencana nyata negara kesejahteraan,

Kalau negara kesejahteraan popular diadopsi di negara-negara Eropa, maka sesungguhnya hal yang sama juga sedang terjadi di daratan Amerika Latin, para ekonom menyebutkan model negara kesejahteraan Amerika Latin sebagai populisme, secara definitif populisme bermakna sebuah ideology yang dalam jumlah berapapun dari gerakan politik yang meminta redistribusi kekuasaan,dominasi ekonomi,dan kepemimpinan dari yang selama ini dianggap sebagai rezim yang korup, tamak, manipulatif, sepaham dengan Washington Consensus, kepada gerakan urban dan pemberdayaan rakyat banyak, kalau Alan Greenspan dalam buku nya “The Age of Turbulance “ (2007) mendefinisikan Populisme sebagai filsafat politik yang mendukung hak dan kekuasaan rakyat, konkretnya pemerintah sebagai regulator mengabulkan semua kemauan rakyat tanpa banyak mempertimbangkan tantangan dan realitas pembangunan negara nya, perbedaan sederhana dengan konsep negara kesejahteraan jika yang pertama yakni negara kesejahteraan membawa ilmu ekonomi mempertemukan pasar dengan kepentingan publik, maka Populisme hanya posisi pemerintah bersama rakyat untuk mewujudkan kesejahteraannya, agak mirip dengan sosialisme Marx memang tetapi penganutnya menolak jika populime, gaya berekonomi khas Amerika Latin tersebut, sepakat dengan sosialissme Marx, populisme dianggap sebagai sebuah bentuk perlawanan negara-negara berkembang terhadap Washington Consensus yang mencengkram dan berkonfrontasi dengan IMF yang dianggap bagian vital Washington Consensus, walaupun kalangan populis ini tidak menampik lembaga keuangan berperan penting mengalirkan “darah perekonomian “ menuju pasar dan sistem politik yang dianutnya,Robert Kauffman dan Barbara Stallings dalam buku nya The Macroeconomic of Populism in Latin America( 1990) membuat sebuah tabel mengenai bentuk dan pola sistem politik dan kepartaian yang dianut di sejumlah negara Amerika Latin berikut perbandingan distribusi pendapatannya, rasio perbandingan distribusi pendapatan di negara-negara Amerika Latin yang menganut Populisme ternyata memiliki trade off yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara Asia, seperti halnya Ekuador yang memiliki rasio sebesar 40.0 Peru dengan icon populis nya  Alan Garcia (1985-1990) memiliki rasio perbandingan distribusi pendapatan sebesar 32.1 Colombia juga memiliki rasio yang cukup besar berkisar di angka 21.2 padahal dari sana Colombia pertama kali konsep new public management dan anggaran kinerja diadopsi, bahkan Venezuela yang banyak diklaim oleh para pengagum sosialisme demokrat sebagai negara yang paling berhasil menerapkan konsep negara kesejahteraan dalam bentuk ekonomi populis di bawah kepemimpinan Hugo Chavez, Hugo Chavez yang berkuasa sejak tahun 1990, menasionalisasi industry minyak Venezuela, tanpa banyak publikasi kemampuan produksi minyak mentah Venezuela menurun dari rata-rata 3,2 juta barel per hari di tahun 2000 menjadi 2,4 juta barel per hari di tahun 2007 (Greenspan : 2007)menurunnya tingkat produksi minyak mentah Venezuela bertemu muka dengan boomingnya harga minyak yang waktu itu sempat menjadi wacana kenaikan harga BBM di tanah air.

Bagi Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Populisme seolah-olah membayangkan dunia yang lebih sederhana atau sama dengan tata buku satu lajur yang dicatat hanya sisi kredit yakni sisi pendapatan dan modal tanpa mencatat sisi debet, mengakui beban, mengakui biaya, mengakui piutang usaha dan sebagainya, tetapi agaknya Greenspan juga berlebihan dan overconvidence, bahwa Amerika Serikat tidak pernah mencoba populisme ekonomi dan para pemimpinnya tidak pernah akan meniru jejak Peron atau Hugo Chavez karena yang terjadi sebenarnya setelah partai Demokrat berkuasa, kebijakan ekonomi Amerika Serikat justru oleh para ekonom dinilai cenderung lefthis atau kekiri-kirian, dapat disimak dengan UU Reformasi Kesehatan yang telah disahkan oleh parlemen Amerika Serikat, dan seperti itu juga gambaran bahwa rakyat Amerika mulai berfikir utama nya disadarkan oleh krisis keuangan bahwa Amerika Serikat tidak bisa benar-benar menjadi penganut kapitalis murni dan sudah saatnya negara diberikan keterlibatan yang besar untuk mengambil alih krisis yang disebabkan ulah para banker dan corporate swasta,

Dimanakah sebenarnya posisi sistem Ekonomi Islam saat ini ? pertanyaan sederhana ini berimplikasi pada pembedaan dan penentuan bahwa ekonomi islam merupakan sebuah nizham dan mabda yang berdiri sendiri, tidak mengatasnamakan keinginan manusia tetapi tidak juga mengedepankan rasionalitas di atas segalanya, melainkan sebuah sistem ekonomi berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan petunjuk Baginda Nabi SAW. Dalam hal pengentasan kemiskinan negara juga memiliki andil tidak saja memperberat alokasi belanja di APBD/APBN dengan tagihan belanja subsidi, belanja sosial, tetapi juga meramu ulang struktur APBN/APBD dengan memasukkkan Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf sebagai salah satu pos nya, sehingga ZISWAF menjadi instrument efektif dalam mengurangi kemiskinan dan memperbesar orang yang mampu berzakat sehingga anggaran negara seimbang dan mengurangi beratnya pertimbangan antara pos belanja modal/ barang  dengan pos belanja sosial, dalam gambaran ilmu ekonomi barat, sebagamana yang diungkapkan Prof Hendrawan Supratikno dalam buku nya “ Ekonomi Nurani Vs Ekonomi Naluri “ dalam pertumbuhan ekonomi yang bagus pendekatan yang digunakan Laissez Faire jika ekonomi sedang kolaps maka yang digunakan pendekatan Keynessian demikian pula dalam hal pelayanan publik dengan permintaan pasar, jika pertumbuhan ekonomi sedang booming seperti yang dialami Indonesia saat ini maka belanja sosial didorong untuk memperbesar dan jika sedang dalam krisis keuangan semakin banyak subsidi yang dicabut dan dialokasikan dalam bentuk yang lain, jadi instrument yang harus diingat untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesehatan serta menaikkan tingkat indeks pendidikan bukan dari kartu jamkesda,gakin, JPK Gakin yang sekarang sudah berubah menjadi kartu Jakarta Pintar, Jakarta Sehat dan sebagainya tetapi semangat berzakat dan berinfaq yang dinaikkan, porsi struktrural APBD/APBN yang diubah dan kebijakan makroekonomi yang berpihak maslahah, jika sudah terimplemntasikan cita-cita Ekonomi Islam mewujudkan masyarakat yang falaah sudah diambang pintu, InshaAllah

Willy Mardian