Islamedia.co -“
mereka yang benar-benar peduli dengan keadilan sosial, seringkali merasa sedang
melakukan dialog dengan orang tuli,“ Michael Prowse
Ungkapan
tadi dinukil oleh DR Umer Chapra dalam salah satu buku nya yakni “Islam and The Economic Challenge”
ketika memulai tulisannya mengenai negara kesejahteraannya, konsep negara
kesejahteraan jika dirunut asal teori dan konsep nya sebenarnya bisa ditemukan
dalam salah satu teori ekonomi pembangunan yaitu teori radikal, menurut Prof
Didin S Damanhuri dalam buku nya Ekonomi
Politik dan Pembangunan (2010) teori radikal muncul sebagai kritikan tajam terhadap teori liberal yang sudah lebih
dahulu ada dan menjadi sebuah reaksi terhadap era industrialisasi, seperti
halnya Karl Mark ketika menulis Das Capital nya yang ditujukan kepada kaum
buruh sedunia yang menjadi korban industrialisasi, Karl Marx memposisikan diri
nya sebagai antitesa teori-teori pasar bebas yang sudah lebih dahulu didengungkan
oleh Adam Smith, David Ricardo, Jean Baptise Say, tetapi justru dari David
Ricardo, Karl Marx membangun teori surplus values nya, di saat yang sama
memprediksikan kematian kapitalisme dan ide “kemakmuran universal “ akan berada di bawah ide marxisme
nya,
Ramalan
Karl Marx tersebut ternyata tidak benar, seperti yang diungkapkan oleh bekas
pemimpin partai komunis Polandia, ramalan Karl Marx “kemakmuran universal” yang
diidamkan oleh Adam Smith tercapai di bawah komunisme mengalami sebaliknya,
kelas pekerja justru tidak semakin menderita,dan upah pekerja naik secara
substansial, masyararakat sosialis utopia tidak berkembang, ketika Karl Marx
wafat tidak banyak buruh yang menangisi kepergiannya pun demikian buku nya yang
sudah kadung dianggap gospel di
kalangan penganut sosialisme marxis jika bukan kecekatan tangan Friedrich Engels,
sahabat karib Karl Marx, niscaya tidak pernah ada yang sudi membaca nya hatta,
ekonom yang muncul di tengah abad depresi besar, John Maynard Keyness,
menyindir ajaran sosialisme nya Marx sebagai “yang terburuk dan didirikan di
atas kesalahan teori nilai kerja Ricardo”
Setelah
mengetahui sosialisme ala Karl Marx tidak akan berumur panjang untuk bisa
diadopsi sebagai sistem dan ideology yang menyelamatkan perekonomian umat
manusia, beberapa intelektual sosialisme Karl Marx mengevaluasi dan mengkaji
ulang gagasan yang ditelurkan oleh Karl Marx bahkan tidak sedikit dari
intelektual sosialisme Marxis beralih semula kembali pada teori liberal dan
mendukung kebebasan pasar atau Laissez fair seperti halnya Whitaker Chamber,
Mark Blaug,dan Thomas Sowwel, Paul Sweezy, yang terakhir malah kembali menjadi
pengajar teori ekonomi keynessian namun pada tahun 1942, Paul Sweezy bekerja
sama dengan Joseph Schumpeter, seorang ekonom yang lahir setelah era nya
Keyness, menulis sebuah buku berjudul “The
Theory of Capitalist Development, “(1942)) Sweezy sepakat dengan Schumpeter
akhirnya kapitalisme akan jatuh dan sosialisme menunjukkan superioritasnya. Pasca
robohnya Uni Sovyet, teori sosialisme marxis benar-benar menggelepar maka
kapitalisme pun kembali menunjukkan kepongahannya sebagai sistem yang diterima
umat manusia,
Pasca
robohnya Uni Sovyet, muncul sejumlah kalangan yang benar-benar ingin merevisi
teori radikal nya sosialisme marxis, menurut Umer Chapra, karena kegagalan
kapitaiisme sebenarnya terletak pada wilayah distribusi maka tugas sosialisme
adalah menghapuskan ketidakadilan dan kesenjangan internal dalam sistem
kapitalisme, namun kalangan yang merevisi juga menyadari ilmu ekonomi modern
bawaannya cenderung dengan semangat kapitalisme, yang saat itu masih
diidentikkan dengan kebebasan indivual, pasar, minimalisir peran negara,
dan pro industri, maka solusi yang
ditawarkan sebagai bentuk revisi tersebut muncul konsep ekonomi campuran,
konsep ekonomi campuran itulah yang akhirnya melahirkan negara kesejahteraan
dan teori radikal yang reborn yaitu sosialisme demokrat, tokoh-tokoh yang
mengusung dan membesarkan teori negara kesejahteraannya di daratan Eropa antara
lain Walras, Pareto, Edgeworth pada generasi pertama dan dari nama Pareto
ditemukan teori Pareto Optimum, John Hicks, Kenneth Arrow, Paul Samuelson, dari
tangan Leon Walras dan Pareto teori radikal menjadi lebih sedikit scientific,
Leon Walras menjelaskan kalau ekonomi kesejahteraan tujuanya adalah justru
untuk menunjukkan kebaikan gagasan Laissez
Faire dengan dasar adanya efisiensi dan keadilan dan menunjukkan pasar “
yang bersaing bebas” akan memaksimalkan utilitas sosial ( tingkat kepuasan
dalam berkonsumsi barang publik ) dari kedua belah pihak melalui serangkaian
pertukaran, itulah sebabnya kita menemukan dalam program pelayanan publik yang
dewasa ini digencarkan di DKI Jakarta dan menjadi bahan pemanis kampanye Cagub
dan Cawagub di Jawa Barat sesungguhnya merujuk pada nilai dari pelayanan publik
yakni value for money yang terdiri dari efektif, efisien dan ekonomis, nilai
tadi merujuk pada teori radikal sosialisme demokrat yang paling tua sepanjang
sejarah ilmu ekonomi.
Pada
tahun 1895, Vilvredo Pareto menggantikan Leon Walras di Universitas Laussane,
dan dari tangan Vilvredo Pareto memperbaharui teori radikal sosialisme demokrat
nya Walras, dan dari itulah muncul teori yang dikenal sangat popular dalam ilmu
ekonomi barat yakni teori Optimalitas
Pareto, dalam teorinya tersebut Vilvredo Pareto menunjukkan bahwa ekonomi
dengan persaingan sempurna, mencapai level keadilan ekonomi yang optimal dimana
alokasi sumber daya tidak dapat diubah untuk membuat seseorang menjadi lebih
baik tanpa perlu mengorbankan orang lain. namun cacatnya teori negara
kesejahteraan ini dari awal yakni mereka kembali mengimpikan berada di negara
yang penuh idealitas tanpa mempertimbangkan trade
off dalam kehidupan ekonomi, kebijakan-kebijakan makroekonomi sosialisme
demokrat yang diadopsi dalam bentuk subsidi, penetapan pajak progressive,
sistem jaminan sosial, serikat buruh, dll kandas dan itulah aspek yang tertimpa
dari gulungan krisis keuangan satu daratan Eropa, untuk menutupi lubang hutang
negara dalam APBN sejumlah pos belanja harus diketatkan, subsidi yang sudah
terlalu berat, fiscal cliff yang dalam ambigu dan sistem jaminan sosial yang
harus dipotong dan dipangkas agar tidak membebani APBN adalah bencana nyata
negara kesejahteraan,
Kalau
negara kesejahteraan popular diadopsi di negara-negara Eropa, maka sesungguhnya
hal yang sama juga sedang terjadi di daratan Amerika Latin, para ekonom
menyebutkan model negara kesejahteraan Amerika Latin sebagai populisme, secara
definitif populisme bermakna sebuah ideology yang dalam jumlah berapapun dari
gerakan politik yang meminta redistribusi kekuasaan,dominasi ekonomi,dan kepemimpinan
dari yang selama ini dianggap sebagai rezim yang korup, tamak, manipulatif,
sepaham dengan Washington Consensus, kepada gerakan urban dan pemberdayaan
rakyat banyak, kalau Alan Greenspan dalam buku nya “The Age of Turbulance “ (2007) mendefinisikan Populisme sebagai
filsafat politik yang mendukung hak dan kekuasaan rakyat, konkretnya pemerintah
sebagai regulator mengabulkan semua kemauan rakyat tanpa banyak
mempertimbangkan tantangan dan realitas pembangunan negara nya, perbedaan
sederhana dengan konsep negara kesejahteraan jika yang pertama yakni negara
kesejahteraan membawa ilmu ekonomi mempertemukan pasar dengan kepentingan
publik, maka Populisme hanya posisi pemerintah bersama rakyat untuk mewujudkan
kesejahteraannya, agak mirip dengan sosialisme Marx memang tetapi penganutnya
menolak jika populime, gaya berekonomi khas Amerika Latin tersebut, sepakat
dengan sosialissme Marx, populisme dianggap sebagai sebuah bentuk perlawanan
negara-negara berkembang terhadap Washington Consensus yang mencengkram dan
berkonfrontasi dengan IMF yang dianggap bagian vital Washington Consensus,
walaupun kalangan populis ini tidak menampik lembaga keuangan berperan penting
mengalirkan “darah perekonomian “ menuju pasar dan sistem politik yang
dianutnya,Robert Kauffman dan Barbara Stallings dalam buku nya The Macroeconomic of Populism in Latin
America( 1990) membuat sebuah tabel mengenai bentuk dan pola sistem politik
dan kepartaian yang dianut di sejumlah negara Amerika Latin berikut
perbandingan distribusi pendapatannya, rasio perbandingan distribusi pendapatan
di negara-negara Amerika Latin yang menganut Populisme ternyata memiliki trade off yang jauh lebih besar
dibandingkan negara-negara Asia, seperti halnya Ekuador yang memiliki rasio sebesar
40.0 Peru dengan icon populis nya Alan
Garcia (1985-1990) memiliki rasio perbandingan distribusi pendapatan sebesar
32.1 Colombia juga memiliki rasio yang cukup besar berkisar di angka 21.2
padahal dari sana Colombia pertama kali konsep new public management dan
anggaran kinerja diadopsi, bahkan Venezuela yang banyak diklaim oleh para
pengagum sosialisme demokrat sebagai negara yang paling berhasil menerapkan
konsep negara kesejahteraan dalam bentuk ekonomi populis di bawah kepemimpinan
Hugo Chavez, Hugo Chavez yang berkuasa sejak tahun 1990, menasionalisasi
industry minyak Venezuela, tanpa banyak publikasi kemampuan produksi minyak
mentah Venezuela menurun dari rata-rata 3,2 juta barel per hari di tahun 2000
menjadi 2,4 juta barel per hari di tahun 2007 (Greenspan : 2007)menurunnya
tingkat produksi minyak mentah Venezuela bertemu muka dengan boomingnya harga minyak
yang waktu itu sempat menjadi wacana kenaikan harga BBM di tanah air.
Bagi
Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Populisme
seolah-olah membayangkan dunia yang lebih sederhana atau sama dengan tata buku
satu lajur yang dicatat hanya sisi kredit yakni sisi pendapatan dan modal tanpa
mencatat sisi debet, mengakui beban, mengakui biaya, mengakui piutang usaha dan
sebagainya, tetapi agaknya Greenspan juga berlebihan dan overconvidence, bahwa Amerika Serikat tidak pernah mencoba populisme
ekonomi dan para pemimpinnya tidak pernah akan meniru jejak Peron atau Hugo
Chavez karena yang terjadi sebenarnya setelah partai Demokrat berkuasa,
kebijakan ekonomi Amerika Serikat justru oleh para ekonom dinilai cenderung lefthis atau kekiri-kirian, dapat
disimak dengan UU Reformasi Kesehatan yang telah disahkan oleh parlemen Amerika
Serikat, dan seperti itu juga gambaran bahwa rakyat Amerika mulai berfikir
utama nya disadarkan oleh krisis keuangan bahwa Amerika Serikat tidak bisa
benar-benar menjadi penganut kapitalis murni dan sudah saatnya negara diberikan
keterlibatan yang besar untuk mengambil alih krisis yang disebabkan ulah para
banker dan corporate swasta,
Dimanakah
sebenarnya posisi sistem Ekonomi Islam saat ini ? pertanyaan sederhana ini berimplikasi
pada pembedaan dan penentuan bahwa ekonomi islam merupakan sebuah nizham dan
mabda yang berdiri sendiri, tidak mengatasnamakan keinginan manusia tetapi
tidak juga mengedepankan rasionalitas di atas segalanya, melainkan sebuah
sistem ekonomi berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan petunjuk Baginda Nabi SAW.
Dalam hal pengentasan kemiskinan negara juga memiliki andil tidak saja
memperberat alokasi belanja di APBD/APBN dengan tagihan belanja subsidi,
belanja sosial, tetapi juga meramu ulang struktur APBN/APBD dengan memasukkkan
Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf sebagai salah satu pos nya, sehingga ZISWAF
menjadi instrument efektif dalam mengurangi kemiskinan dan memperbesar orang
yang mampu berzakat sehingga anggaran negara seimbang dan mengurangi beratnya
pertimbangan antara pos belanja modal/ barang
dengan pos belanja sosial, dalam gambaran ilmu ekonomi barat, sebagamana
yang diungkapkan Prof Hendrawan Supratikno dalam buku nya “ Ekonomi Nurani Vs
Ekonomi Naluri “ dalam pertumbuhan ekonomi yang bagus pendekatan yang digunakan
Laissez Faire jika ekonomi sedang kolaps maka yang digunakan pendekatan
Keynessian demikian pula dalam hal pelayanan publik dengan permintaan pasar,
jika pertumbuhan ekonomi sedang booming seperti yang dialami Indonesia saat ini
maka belanja sosial didorong untuk memperbesar dan jika sedang dalam krisis
keuangan semakin banyak subsidi yang dicabut dan dialokasikan dalam bentuk yang
lain, jadi instrument yang harus diingat untuk mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesehatan serta menaikkan tingkat indeks pendidikan bukan dari
kartu jamkesda,gakin, JPK Gakin yang sekarang sudah berubah menjadi kartu
Jakarta Pintar, Jakarta Sehat dan sebagainya tetapi semangat berzakat dan
berinfaq yang dinaikkan, porsi struktrural APBD/APBN yang diubah dan kebijakan
makroekonomi yang berpihak maslahah, jika sudah terimplemntasikan cita-cita
Ekonomi Islam mewujudkan masyarakat yang falaah sudah diambang pintu,
InshaAllah