Islamedia.co - Suaminya ingin menikah lagi. Gara-gara dirinya tidak bisa memberikan anak dalam pernikahan. Perempuan ini hanya bisa mengelus dada, menangis, bersabar, dan berdoa tiada henti. Ketidakmampuan memberikan anak tentu bukan sesuatu yang dikehendaki. Semua jalan sudah ditempuh dari mulai periksa ke dokter sampai pengobatan alternatif.
Suaminya tak sabar bahkan
berhubungan intens dengan seorang janda. Diingatkan pelan-pelan bahkan dengan
cara yang lebih tegas, dirinya malah dimarahi balik oleh sang suami. Ia
menyimpulkan kalau-kalau sang suami sudah kena sihir dari janda itu. Apalagi
yang harus dilakukan agar ia tetap menjadi istri yang baik buat suaminya?
Pertanyaan itu masuk di komentar
tulisan lama saya di blog. Judul tulisannya “Kisah Nyata: Lakukan Ini JikaIngin Punya Anak”. Sebuah cerita tentang sahabat saya yang punya anak setelah
melakukan dua hal yang disarankan di sana. Banyak komentar yang masuk. Sebagian
besar berisikan permintaan doa agar bisa memiliki keturunan. Sebisa mungkin
saya membalasnya walau terkadang hanya menuliskan kata amin. Tapi yakinlah ini
setulus-tulusnya doa dan bukan basa-basi hanya sekadar membalas komentar.
Pertanyaan dari perempuan yang
tidak saya kenal ini membuat saya berpikir. Bahkan menarik saya ke dalam
situasi seandainya saya menjadi perempuan itu. Apa yang bisa dilakukan? Ini
empati. Menjawabnya mungkin saya hanya bisa meminta kepadanya untuk bersabar.
Sebuah nasihat biasa tapi kata Rasulullah saw tanda keimanan seorang hamba adalah
kesabarannya. Sudah banyak nasihat tentang sabar yang diucapkan dan ditulis
oleh para ulama. Kiranya saya tak perlu mengulanginya kembali.
Mungkin juga saya akan tetap
meminta kepada perempuan ini untuk tetap ikhtiar dan doa terus menerus karena
Allah senang melihat hamba-Nya
memohon-mohon dan memelas dengan penuh pengharapan. Di titik tertinggi dari
kelemahan, ketidakberdayaan, dan kepasrahan itu biasanya Allah turunkan
pertolongan yang tidaklah terduga. Menguatkan dan membahagiakan. Itu saja. Sembari
saya juga berdoa agar Allah memberikan kemudahan dan jalan keluar atas setiap
permasalahan perempuan ini. Yakinlah
Allah akan ganti dengan kebaikan lain yang berlipat ganda.
Karenanya saya memberikan respek
tidak terhingga kepada para suami yang mampu memberikan sikap dan cinta terbaiknya
buat sang istri. Ketika ia sadar istrinya tidak mampu memberikan keturunan ia
tetaplah sabar. Walaupun ia juga berhak mendapatkan anak sebagai penerusnya dari
perempuan lain. Tapi ia tepis kesempatan itu agar tidak menyakiti perasaan
istrinya. Bahkan ia mampu menjaga lisan dan amarahnya. Ia tahu sebaik-baik
manusia adalah yang paling baik kepada keluarganya.
Suami yang hebat dengan sabarnya
ini bisa jadi memiliki kesabaran setingkat para tabi’in (generasi setelah sahabat Rasulullah saw) ketika ia mampu
sabar dengan tidak mengeluhkan kepada siapa pun tentang keadaan dirinya yang
belum memiliki anak atau istrinya yang belum atau tidak hamil-hamil juga.
Suami yang hebat dengan sabarnya
ini juga bisa memiliki kesabaran setingkat orang-orang yang zuhud ketika ia
menyadari bahwa ketidakmampuan istrinya mempunyai anak ini adalah ketetapan
Allah. Dalam benaknya anak sekadar amanah dan urusan duniawi. Orang zuhud tidak
mempedulikan masalah duniawi. Balasan
buat orang-orang yang zuhud adalah cintanya Allah dan Allah akan ringankan
dirinya atas segala musibah.
Suami yang hebat dengan sabarnya
ini bisa memiliki kesabaran setingkat para shiddiqin
(orang-orang yang benar imannya) ketika ia menerima keadaannya dengan senang hati karena menganggap semua itu dari Allah
belaka. Tempat bagi para shiddiqin iniadalah bersama para nabi, syuhada, dan shalihin.
Kalaulah saya menemukan orang
itu, saat ini izinkan saya mencium tangannya sebagai tanda
hormat. Saya harus belajar banyak kepadanya. Kepada perempuan yang bertanya,
***
Riza Almanfaluthi
02 Mei 2014