Islam edia .co - Sebulan sudah umur ta’arufnya dengan seorang akhwat nun jauh di sana. Ta’aruf yang begitu singkat bagai kilat itu masi...
Islamedia.co - Sebulan sudah umur ta’arufnya dengan
seorang akhwat nun jauh di sana. Ta’aruf yang begitu singkat bagai kilat itu
masih sangat kuat melekat dalam pikiran
dan seluruh jasad. Terngiang-ngiang di telingannya kata-kata lembut bagai
aliran susu menyirami kerongkongan yang tercekik dahaga cinta. Indah suaranya
belum pernah ia dengar sebelumnya. Ini adalah suara terindah yang pernah
menyapa lembut gendang telinganya. Suara yang nantinya ia harapkan selalu menyapa
menghiasi canda hari-harinya, di rumahnya, dalam kehidupannya.
Suaranya terdengar tapi tak terlihat
wajah cantik empunya. Terpaut jarak ribuan mil nun jauh tak terjangkau dan
terlihat mata. Dia ada di ruangan kamarnya yang hanya berukuran dua kali tiga
meter, sedangkan akhwat yang bersuara indah itu berada di negri tirai bambu.
Mereka berbincang ala ta’aruf hanya bermediakan telpon genggam. Didampingi
murobbi masing-masing mereka saling berbincang, saling bertanya dan memberi
jawaban. Berusaha mencari kesamaan visi dan misi dalam kehidupan. Merajut bersama
dan melukis indah dalam bingkai pernikahan.
Dia sudah yakin bahwa inilah
jodohnya. Ia tak sedikit pun ragu, cinta dan rindunya membuncah menggebu.
Seolah jiwanya kini saling bersatu. Keyakinannya tumbuh sejak sedari awal
wanita itu memberi salam. Suara lembutnya memberi sejuk kedamaian. Terasa
perjalanan jiwa cinta sejatinya menemukan peraduan. Bak musafir menemukan oase
dalam terik panasnya panggang matahari membakar kerongkongan. Inilah wanita
yang menjadi bukti bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan.
Inilah tulang rusuk yang telah dua puluh delapan tahun menghilang. Kini dia
sudah semakin dekat masanya, walau masih begitu jauh jarak lintasnya. Tapi dia
punya keyakinan. Suatu saat pasti mereka bisa bersatu. Dia akan mampu menyeberangi
lautan. Menaklukkan gagahnya pegunungan.
“Gunung kan ku daki lautan ku
sebrangi” ucap batinnya
dalam sunyi. Jangankan negri China, ujung dunia pun akan dia jemput
bidadarinya.
Ini lukisan sanubarinya. Ini
rajut-rajut kain dalam renda cintanya. Namun dalam batinnya masih menyisakan
sebuah tanda tanya yang menjadi beban menggelayuti pikiran di setiap hela nafasnya:
“Adakah kesamaan rasa dalam jiwa yang
ia rindukan?”
pikirannya melayang menjelajah setiap ruang langit-langit angan kosong. Menembus
sekat-sekat ruang tak terpikirkan. Inilah sumber bayang-bayang keraguan itu
berakar. Di sesi akhir ta’aruf, terucap kata bernada kecewa dari balik tabir
hanphonnya bersuara :
“Sebenarnya tidak apalah, tapi yang
namanya ta’aruf itukan biar kenal. Dan bagian dari perkenalan itu bisa melihat
satu dengan yang lain. Karena skypenya tak berfungsi kalau memungkinkan lain
hari kita ulang lagi.” Suara akhwat yang tegas dan lugas itu yang terus menghantuinya.
Dia mampu membaca bahwa jiwa yang ia
rindu tak menyatu. Cintanya mungkin tak bersambut.
“Tapi aku laki-laki, tak masalah bila
memang ta’aruf ini harus kandas di kemudian hari” hibur hatinya.
Namun ada secercah cahaya harapan di
sini, saat sang murobbiyah memecah ketegangan:
“Oke.. semuakan sudah saling kenal,
kalau ikhwannya menghendaki berlanjut, nanti proses selanjutnya bisa diusahakan
secepatnya.”
Kata ini memberi harapan, tapi juga
masih mempunyai banyak tafsir-tafsir kemungkinan. Terlalu umum, masih jauh dari
devinitif. Yang ia harapkan adalah satu kata saja dari dua pilihan: “iya
atau tidak” yang tak mengandung banyak tafsir dan persepsi.
Kini jiwanya tidak kosong. Ada jiwa
yang ia ingat dalam senyumnya. Ada wajah yang selalu terlihat dalam pejamnya.
Harinya penuh canda ria, bahagia, bertabur bunga. Tapi tetap ada benih cemas tersisa
dalam lubuk hatinya. Dalam jiwa yang penuh harap dan doa. Kini Ia beranikan
diri melangkah pasti. Ia tidak ingin berlama-lama berjalan dalam proses
ta’arufnya. Ia utarakan niat suci untuk segera mengkhitbah harapan jiwanya:
“As-Salamu ‘alaikum Mas..” ia kirim sms ke kakak laki-laki
Zahra. Kakak yang memang mewakili pihak keluarga Zahra sekaligus sebagai
walinya.
“Untuk kelanjutan proses ta’aruf yang
sudah berjalan, ana
berniat untuk mengkhitbah secara resmi adik Zahra ke orang tua di Jakarta.
Bagaimana dengan adik Zahra apakah
memang sudah yakin dan tidak ada kebimbangan? Atau ada hal-hal yang mau
disampaikan lagi? Kalau memang bersedia mungkin nanti perlu dicari waktu yang
pas untuk itu. bagaimana dengan pendapat dik Zahra dan keluarga semua?”
Lama smsnya tak berbalas. Ia nantikan
dengan penuh cemas. Setiap detik ia buka telpon gengam bututnya. Teriring doa membasahi
mulut dan iba kepada Rabbnya. Keningya ia dekatkan dengan tempat sujud. Ia
berlama-lama i’tikaf tak beranjak dari masjid.
Jantungnya berdegub kencang. Pikirannya
kosong. Jiwanya guncang. Emosinya menegang. Ia bak si buta kehilangan tongkat
pegangan. Saat sms yang ia kirim tak segera berbalas jawaban. Seharian ia
nantikan sms itu datang, apapun jawabnya. Tak henti ia tengadahkan wajah
hinanya ke langit. Tinggi-tinggi kedua tangannya ia angkat. Ia terus menanti sejak
subuh hingga menjelang maghrib.
Kini sms pertanyaannya terjawab.
Kalaupun itu adalah suatu jawaban, tapi itu bukanlah jawaban yang ia harapkan:
“Wa’alaikum salam ya akhi” sms balasan dari kakak laki-laki
Zahra mewakili keluarga. “afwan baru balas. Jadi kondisinya saat ini
keluarga ana masih sedikit agak berat akh, terutama mengenai kehidupan nanti
setelah di China. Kalau mulai dari nol agak berat memang. Jadi sekarang ana
mewakili keluarga dan dik Zahra meminta waktu untuk kami bicarakan pelan-pelan
di internal keluarga. Mungkin sekitar dua minggu. Nanti ana kabari lagi.
Wassalamu alaikum.”.
Ia tersenyum. Senyum hibur ia
persembahkan untuk hatinya yang sedang hancur. Kristal kebahagiannya melebur.
Warna indah lukisan cinta pada dambaan hatinya luntur. Bunga-bunga rindu yang
telah tumbuh subur dalam lubuk hatinya layu, kering-kerontang. Tapi jiwanya
dekat dengan yang menciptakan cinta. Yang membagi dan menyirami bunga-bunga
bahagia. Yang membolak-balikkan hati manusia. Sekali lagi ia mengiba, mendekat
sedekat-dekatnya dengan pemilik jiwa. Ia tersungkur di gelap malam yang mulai buta.
Saat mata terlelap lalai dari yang maha kuasa. Saat makhluk tak lagi bernyawa.
Doanya masih saja sama:
“Ya Rabb..” dia menyeru Tuhannya.
“Ya.. Rabb.. Jika memang dia jodohku,
dekatkan. Dan jika bukan, jauhkan.”
Dua pekan adalah penantian sangat
panjang. Menanti yang tak pasti. Seolah ini adalah penyiksaan terhadap jiwa
perindu cinta. Ia segera mencari tempat mencurahkan hati. Ia tuju sang murobbi
berbincang untuk mencari solusi. Perasaan halusnya ia kedepankan. Ia mulai
meraba mentafsirkan yang bukan-bukan. Prasangkanya mulai menguasai dirinya:
“Ini adalah alasan, ini sekedar alasan
seorang yang tidak menemukan kecocokan, tidak lagi menemukan kesamaan. Ini
adalah penolakan.”
Murobbinya kembali menenangkan. Ia
begitu faham tentang perasaan muridnya tersayang. Kebimbangannya lenyap
seketika. Terhapus oleh nasehat yang begitu lembut menyentuh jiwa, membelai
hatinya:
“Akhi…” seru murobbinya lembut.
“jangan terburu-buru” murobbinya melanjutkan.
“Menikah itu tidak untuk sehari dua
hari. Ia akan sampai ke akhirat nanti. Saya tidak melihat sedikit pun Zahra
ingin mengulur waktu akhi. Dia sudah terima antum lillahi ta’ala, dengan segala
kelebihan yang antum miliki.”
“Dan ingat menikah itu hakikatnya
bukan hanya menyatukan dua manusia, tapi menyatukan dua keluarga. Kita tunggu
Zahra meyakinkan keluarganya, bahwa antumlah jodohnya.”
Hatinya berbunga kembali tersiram air
sejuk nasehat sang murobbi.
“Lama atau sebentar itu relatif. Dan
dua pekan itu waktu yang singkat. Proses ta’aruf saya dulu malah enam bulan.” Murobbinya membandingkan
****************
Ia menanti. Berharap semoga jawaban
yang nanti datang adalah kebahagiaan. Doa, tasbih dan istighfar tak henti ia
lantunkan dalam sunyi. Setiap pagi menjelang, matanya sembab oleh air mata berlinangan
semalaman. Saat adzan subuh menggaung, suaranya parau tak seindah biasanya ia kumandangkan.
Dua pekan menanti adalah penantian panjang.
*****************
Hari pertama telah hengkang.
Tiba-tiba hp-nya berdering. Ada sms dari teman sekelasnya saat sama-sama duduk
di bangku S 2. “Akhi, ada muhaffidhoh”. Ia membaca sms itu, sedang
dadanya kempis kembang. “Siap antum menikah?” ia melanjutkan. Tak
disebutkan usia dan kecantikannya. Atau dia lulusan universitas mana? Tapi
baginya seorang muhaffidhoh melebihi segala-galanya. Cukup menutupi
seluruh isi dunia yang ada. “ini adalah ujian keteguhan” batinnya
meronta. Ia lebih mempertahankan kesetiaannya untuk menunggu keputusan pihak
keluarga Zahra. Apapun keputusannya!
*****************
Hari-harinya kini penuh doa. Akun
facebooknya kini selalu ia buka saat usai sholat atau saat-saat istirahat.
Berharap mendapat pesan dari kakak laki-laki Zahra atau pihak keluarganya. Yang
ia tunggu kini benar-benar datang. Inbox Facebooknya ada pesan. Pesan cinta
dari seorang wanita yang tidak asing baginya. Pesan yang ia telah faham isi
kontennya. Pesan bergambar; foto sepiring “kue berbentuk hati.”
Ia segera konfirmasi, “gambar ini
untuk siapa?” tanyanya, lalu ia kirim ke pesan lewat facebook miliknya.
“Untuk kakak” jawab wanita itu.
Hatinya berbunga tapi lagi-lagi ini
ujian. Ujian penantian. Wanita itu bukan Zahra.
“Ya Allah jangan beri aku beban
melebihi kemampuan punggungku.” Pintanya.
*****************
Dengan kepenatan penantian yang ada.
Sejenak ia mencoba bernostalgia. Berbincang dan bertukar pikiran dengan
kawan-kawan di S 1-nya dulu. Mereka berkelakar, tertawa lapas tanpa beban.
Whatsapp miliknya kini tak pernah sepi dari pesan-pesan nasehat, hikmah dan
berbagai informasi. Ia dikejutkan dengan pesan whatsaap dari nomer yang tak
bertuan. Nomer yang aneh yang belum pernah ia lihat. Kodenya +966! Pikirannya
beputar melayang-layang mencoba menemukan kode nomer apa ini? Tak lama ia
segera menemukan ini nomer telpon Madinah, Saudi Arabia.
“Ini siapa? Ammar?” ia menebak-nebak.
“Iya.. Muammar Madinah.”
Whatsappnya berbalas.
“Akhi..” pesan dari Muammar.
“Antum belum daftar wisuda? Uangnya
masih kurang berapa?” inilah seorang sahabat sejatinya. Dia selalu tau apa yang sedang terjadi
dan dialami saudara seperjuangannya. Walaupun ia nun jauh di kota Madinah. Tapi
pesan-pesan dan ungkapan hati persaudaraannya selalu ia sampaikan.
“He..he.. Insya Allah nunggu
rezeki kiriman Allah bulan depan akh..” balasnya sambil mengiba pada yang
maha memberi rezeki pada makhluq alam raya.
“Ada hafidhoh mau?” dia mirip seperti
antum, akhwat militan tak pernah mundur dari perjuangan. Keinginan belajarnya
keras seperti antum. Dia sedang S 2 juga.”. pesan Muammar yang menginginkan sahabat sejatinya
segera mempunyai pendamping diri.
Ia bimbang kembali. Inilah ujian
kesetiaannya kepada Zahra. “Ya Allah berilah aku yang terbaik dari
hamba-hambamu yang kelak menjadi pendamping perjuanganku.” rintihnya.
*****************
Bebarapa hari kemarin dia sedang
tugas menjadi imam Ramadhan di salah satu masjid Jami’ di Bandung. Telpon
genggamnya berdering. Telpon dari seorang Ustadz Pimpinan pondok pesantren di
salah satu kota di Ujung Sumatra. Lama mereka berbincang. Sampai Utadznya menanyakan
dan meminta ia segera pulang kampung.
“Kapan kuliyah S 2 mu selesai?
cepat segeralah pulang”. Tanya sekaligus permintaan ustdaznya
“Insya Allah secepatnya ustadz. Mohon
doa antum.” Jawabnya minta doa.
“Siap menikah?” Sang Ustadz bertanya lagi.
Ia jawab dengan senyuman, “Hemm..
nanti setelah wisuda ustadz..”.
“Kalau siap, ada akhwat luar biasa.
Dulu dia murid pesantren lulusan terbaik, baik secara akademik maupun
akhlaknya. Hafalan qur’annya tak usah ditanya. Dia sedang kuliyah di Jakarta.
Dia sedang duduk di semester dua. Antum orang yang cocok untuknya”. Ustadznya mengenalkan.
“Ya Allah ujian apalagi ini?”
dalam hatinya.
*****************
Ujian kesetiaan yang bertubi seolah
memintanya berteguh hati. Sejauh mana komitmennya mempertahankan janji. Janji
untuk menanti sampai kapan pun jawaban itu diberikan. Seperti apapun; baik
menyenangkan maupun menyakitkan. Janji yang nanti akan menghantarkan dia pada
bingkai sebuah pertunangan.
Dan kini seorang muridnya yang dulu
ia kenalkan dengan dakwah menyapanya lewat dunia maya. Murid yang luar biasa
dalam seluruh aktifitas dakwah di kampusnya. Murid militan yang pernah ia didik
saat dulu merintis dakwah di kampong halaman. Mail box facebooknya berisi pesan
dari seorang akhwat didikannya saat dia mengajar di pesantren. Kini dia datang
dengan membawa dan mengenalkan teman sekampusnya yang lebih militan dari
dirinya,
“Afwan ustadz boleh nanya, tapi
afwan mungkin kurang Ahsan.” Tanyanya sopan.
“Tafadhol gak papa” dia coba
menjawab dengan berhati-hati.
“Afwan Ustadz udah mau walimah belum?
“Belum.. Masih nyelesaikan tesis
dulu.. kenapa? Jawabnya ringan.
“Owh ana ada temen di Pesantren Qur'an
yang siap menikah, insyallah sholehah dan juga luar biasa. Ana pengenya dan kalau
Allah mengizinkan, beliau dengan antum.” Pujinya.
“Afwan kalau bahasanya kurang ahsan. Ana
bingung mau nyampeinya.
Ana ingin sekali beliau dibimbing oleh orang luar biasa yg qowwam.” Harapan
pada gurunya.
“Ya semoga Allah berikan yg terbaik. Beliau penyayang, lembut dan
cerdas. Akhwat mandiri dan sholehah banget, tidak seperti akhwat lain pada
umumnya.” Pesan mail
box di facebooknya datang dengan derasnya.
***************
Doanya tak henti. Memohon petunjuk
ilahi. Diberikan yang terbaik untuk menjadi pendamping diri. Hari-harinya penuh
haru. Memuji kuasa yang maha pencipta. Yang menciptakan jodohnya. Yang
menumbuhkan cinta dan rindunya. Dia yakin, bila dia tak bergeming dari janji
awal masa ta’arufnya. Debu-debu itu akan terbang mengangkasa. Pada akhirnya
akan terlihat indah lukisan cinta dalam bingkai pertunangan pada nantinya.
Dia lebih memilih setia pada janji
menanti Zahra. Apa pun keputusan Zahra dan keluarga. Hingga Allah yang memberi
keputusan bahwa Zahra adalah tulang rusuknya.
Dia hanya berbekal yakin kepada janji
Rabbnya. Dia tadabburi janji yang maha kuasa : “Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita
yang baik. (Qs. An-Nur : 26) Ia mendekat dengan Tuhan sedekat dekatnya. Segala yang haram
dijauhinya. Membina diri memperindah hiasan akhlak dan kepribadiannya.
Rasul
panutannya telah memerintahkan para wali wanita untuk menikahkan anak
perempauan mereka pada laki-laki sholeh dan yang baik akhlaqnya, yang lahir
dari rahim ummatnya: “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya
(untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya
akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ia segera sadar, masih jauh dia dari
kesalihan. Doanya kini tertuju pada pribadinya. “Ya Rabb.. kuatkan pijakan
kakiku untuk berdiri di barisan hamba-hamba-Mu yang sholeh. Kuatkan hatiku
untuk tetap dalam ketaatan dan agamamu.”
Ya Allah berikan yang
terbaik untuk mereka yang tak pernah durhaka. Tak pernah mencari cinta kecuali
pada makhluk-Mu demi cinta-Mu yang satu.
[M.
Khumaidi/Islamedia]