
Kita mengetahui bahwa Shalat adalah
ibadah yang telah ditentukan waktunya. Waktu-waktu itu, sudah diterangkan
secara rinci dalam As Sunah, dan diisyaratkan pula dalam Al Quran.
Tak terkecuali shalat subuh. Shalat subuh dimulai dari terbitnya
fajar shadiq (langit sudah mulai agak terang di ufuk secara
merata) hingga terbitnya
matahari. Hal ini berdasarkan hadits Jibril ‘Alaihissalam berikut (haditsnya
cukup panjang, saya kutip bagian waktu shalat subuh saja):
ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ
حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ
“Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk shalat subuh
ketika langit terang, lalu dia berkata: “Bangunlah dan shalatlah!” maka Beliau
(Rasulullah) melaksanakan shalat subuh.” (HR. An Nasa’i No. 526 , Ahmad No. 14011,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No.
526)
Dalam hadits ini disebutkan: “Hiina asfara Jiddan” (ketika
langit benar-benar menguning), maksudnya ketika langit benar-benar terang.
Inilah yang disebut dengan fajar shadiq dan inilah dimulainya waktu
subuh. Tetapi disukai untuk menyegerakannya.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
بتدئ الصبح من طلوع الفجر الصادق ويستمر إلى طلوع الشمس، كما تقدم في
الحديث.
استحباب
المبادرة لها
“Shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq dan terus
berlangsung hingga terbit matahari, sebagaimana yang telah lalu dijelaskan
dalam hadits. Dan disukai untuk menyegerakannya.” . (Fiqhus Sunnah,
1/104. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Disunahkan untuk disegerakan, yakni ketika masih gelap
berdasarkan riwayat shahih berikut:
Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
وَصَلَّى
الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ
صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Dan Beliau (Rasulullah) shalat subuh di saat gelap pada akhir
malam, kemudian beliau shalat pada kesempatan lain ketika mulai terang. Kemudian setelah itu
shalat beliau dilakukan saat gelap dan itu dilakukannya sampai wafat, dan Beliau tidak lagi melakukannya di
waktu hari telah terang.” (HR. Abu Daud No. 394, dihasankan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 394, s hadits ini
juga diriwayatkan oleh sahabat lainnya
yakni Jabir dengan sanad shahih, Abu
hurairah dengan sanad hasan, dan
Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash dengan
sanad hasan)
Ada pihak yang menyalah-nyalahkan shalat subuh ketika masih
gelap, padahal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam hingga wafatnya, dan itulah yang mayoritas dilakukan di
negeri-negeri muslim, dan itulah pendapat sebagian sahabat, seperti Umar,
Utsman, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Zubeir, Abu Musa, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud,
penduduk Hijaz, dan dikalangan imam kaum muslimin seperti Malik, Asy Syafi’I,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’I, Daud, dan Abu Ja’far Ath Thabari. Sayangnya dengan ringan kenyataan ini
dikatakan oleh mereka sebagai pendapat yang keliru! Namun, demikian kami tidak menyalahkan
mereka, karena pendapat yang mengatakan bahwa ketika terang adalah lebih utama
adalah pendapat sebagian salaf dan fuqaha, seperti Ali, Ibnu Mas’ud, Abu
Hanifah dan sahabatnya, Sufyan Ats
Tsauri, dan mayoritas penduduk Iraq . Tetapi, sikap mereka yang
menyalah-nyalahkan yang lain –padahal begitu kuat dalilnya- adalah sikap
melampaui batas dan tidak mengetahui etika khilaf fiqih di antara ulama. Dan, ini sungguh mengherankan!
Hadits di atas jelas-jelas menyebutkan Rasulullah Shalat
subuh saat ghalas. Apakah ghalas? ghalas
adalah akhir kegelapan malam. Imam Ibnul Atsir mengatakan ghalas
adalah kegelapan malam bagian akhir ketika akan bercampur dengan terangnya
pagi. (‘Aunul Ma’bud, 2/45. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Perhatikan ucapan Imam
Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah ketika mensyarah hadits di
atas:
وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى اِسْتِحْبَاب التَّغْلِيس وَأَنَّهُ أَفْضَل
مِنْ الْإِسْفَار وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمَا لَازَمَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى مَاتَ ، وَبِذَلِكَ اِحْتَجَّ مَنْ قَالَ بِاسْتِحْبَابِ التَّغْلِيس
. وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ فَذَهَبَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد
وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَالْأَوْزَاعِيُّ وَدَاوُدُ وَأَبُو جَعْفَر الطَّبَرِيُّ
وَهُوَ الْمَرْوِيّ عَنْ عُمَر وَعُثْمَان وَابْن الزُّبَيْر وَأَنَس وَأَبِي مُوسَى
وَأَبِي هُرَيْرَة إِلَى أَنَّ التَّغْلِيس أَفْضَل وَأَنَّ الْإِسْفَار غَيْر مَنْدُوب
، وَحَكَى هَذَا الْقَوْل الْحَازِمِيُّ عَنْ بَقِيَّة الْخُلَفَاء الْأَرْبَعَة وَابْن
مَسْعُود وَأَبِي مَسْعُود الْأَنْصَارِيّ وَأَهْل الْحِجَاز ، وَاحْتَجُّوا بِالْأَحَادِيثِ
الْمَذْكُورَة فِي هَذَا الْبَاب وَغَيْرهَا ، وَلِتَصْرِيحِ أَبِي مَسْعُود فِي هَذَا
الْحَدِيث بِأَنَّهَا كَانَتْ صَلَاة النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّغْلِيس
حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى الْإِسْفَار . وَقَدْ حَقَّقَ شَيْخنَا الْعَلَّامَة
السَّيِّد مُحَمَّد نَذِير حُسَيْن الْمُحَدِّث هَذِهِ الْمَسْأَلَة فِي كِتَابه مِعْيَار
الْحَقّ : وَرَجَّحَ التَّغْلِيس عَلَى الْإِسْفَار وَهُوَ كَمَا قَالَ . وَذَهَبَ
الْكُوفِيُّونَ أَبُو حَنِيفَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ وَأَصْحَابه وَالثَّوْرِيُّ وَالْحَسَن
بْن حَيّ ، وَأَكْثَر الْعِرَاقِيِّينَ وَهُوَ مَرْوِيّ عَنْ عَلِيّ وَابْن مَسْعُود
إِلَى أَنَّ الْإِسْفَار أَفْضَل .
“Hadits ini menunjukkan bahwa disunahkannya (shalat subuh) pada
saat gelap, dan ini lebih afdhal dibanding ketika terang. Seandainya tidak
demikian, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya hingga
beliau wafat, dan dengan inilah hujjah orang-orang yang mengatakan disukainya
waktu gelap (akhir malam). Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat Imam Malik, Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’i, Daud, Abu
Ja’far Ath Thabari, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu
Zubeir, Anas, Abu Musa Al Asy’ari, dan Abu Hurairah, bahwa ketika gelap adalah
lebih utama, sedangkan ketika terang tidaklah dianjurkan (ghairu mandub). Secara kuat disebutkan bahwa ini juga
pendapat khulafa’ur rasyidin lainnya, juga Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud Al Anshari,
dan penduduk Hijaz. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang telah disebutkan
dalam masalah ini dan hadits lainnya, dan juga penjelasan Abu Mas’ud dalam
hadits ini bahwa shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dalam
keadaan gelap (At Taghlis) dilakukannya sampai beliau wafat, dan dia
tidaklagi melakukan dalam keadaan terang. Syaikh kami Al ‘Allamah As Sayyid
Muhammad Nadzir Husain telah meneliti masalah ini dalam kitabnya, Mi’yar Al
Haq: Bahwa beliau menguatkan shalat ketika gelap dibanding terang, dan pendapat itu sebagaimana yang dikatakan. Ada
pun kalangan Kuffiyyin (penduduk kufah), seperti Abu Hanifah dan para sahabatnya,
Ats Tsauri, Al Hasan bin Hay, kebanyakan penduduk Iraq, dan itu juga
diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud, bahwa shalat ketika terang adalah lebih
utama.” (‘Aunul Ma’bud, 2/45. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah
mengatakan:
وإنما فعله في بعض الأحيان لبيان الجواز ولبيان أن ذلك سائغ، ولكن الذي
داوم عليه والمعروف من فعله صلى الله عليه وسلم أنه كان يصليها بغلس.
“Sesungguhnya perbuatan Nabi pada sebagian waktu (melakukan saat
terang) sebagai penjelas kebolehannya dan menjelaskan bahwa hal itu mudah,
tetapi yang menjadi rutinitasnya dan diketahui sebagai perbuatannya Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah bahwa Beliau shalat subuh pada saat masih gelap.” (Syaikh
Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud No. 60. Maktabah
Misykah)
Demikian. Wallahu A’lam
Farid Nu'man Hasan